Meski beberapa tahun terakhir tengah lesu, para pelaku usaha perunggasan tetap menatap harapan baru
Iklim bisnis perunggasan terus mengalami pasang surut. Masih segar dalam ingatan, pada 2016 sebanyak 13 perusahaan yang terhimpun dalam Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Indonesia dikenai tuduhan kartel.
Belum lagi harga pokok penjualan (HPP) broiler dan layer yang masih di bawah harga acuan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan. Sementara, penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter–AGP) total dihentikan pada 2018. Peternak harus putar otak agar bisnis mereka tetap menemui jalan terang.
Ketua Umum GPPU, Krissantono mengungkapkan, sepanjang September 2016 – September 2017 merupakan tahun keprihatinan bagi pelaku pembibitan unggas. Pasalnya, dalam kurun waktu itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyematkan tuduhan kartel kepada beberapa perusahaan. Tuduhan tersebut otomatis membuat semangat para pelaku usaha pembibitan jatuh.
“Oktober 2017 kita diputuskan bersalah. Keputusan ini bikin semangat kita down sebagai peternak dan pebisnis. Namun the show must go on. Kita harus bangkit, 2018 bisnis unggas akan bergerak meskipun tidak terang,” ungkap Staf Khusus Menteri Perdagangan RI periode 2004-2009 ini.
Berfokus pada Oversuplai, Bukan Hilir
Kris, sapaan akrabnya, menyebut, apa yang akan terjadi pada 2018 tidak bisa lepas dari yang sudah terjadi pada 2017. Tahun lalu, tuturnya, banyak regulasi yang mengikat para pembibit. Melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, pemerintah masih memandang masalah utama di perunggasan adalah terjadinya oversuplai.
Padahal, jabar Kris, permasalah perunggasan tidak bisa dinilai dari satu aspek saja, melainkan keseluruhan. Mulai dari bibit, pakan, budidaya, sampai pengolahan dan proses input.
Mata rantai ini yang nampaknya putus karena pemerintah hanya berfokus pada kelebihan pasokan. Hilir tidak pernah disentuh. “Semua kebijakan itu dibuat agar oversuplai menjadi seimbang. Bagaimana pengaruh para broker dan apa sanksinya. Mereka tidak tersentuh,” cetusnya.
Merunut data Direktorat Perbibitan dan Produksi, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, potensi produksi anak ayam umur sehari (Day Old Chicken–DOC) 2017 berkisar 62,6 juta ekor/minggu.
Sementara, permintaan berkisar 55 juta ekor/minggu. Artinya, masih ada kelebihan produksi. Kris mengkritisi, pemerintah menghitung suplai berdasarkan potensi produksi dan bukan angka realisasi.
Tahun ini, menurut Kris, potensi produksi kurang lebih sama dengan 2017, dikisaran 3.4 miliar – 3,5 miliar ekor/tahun. Untuk itu, peran pemerintah tetap diharapkan dalam mengantisipasi oversuplai maupun menjaga stabilitas harga ayam hidup di tingkat peternak.
HPP di Bawah Acuan
Bukan hanya di sektor pembibitan, masalah di sektor perunggasan pun terletak pada HPP yang dinilai masih rendah. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Eddy Wahyudin mengungkapkan, HPP broiler dan layer masih di bawah harga acuan sebesar Rp18.000/kg yang ditetapkan Kementerian Perdagangan.
Harga acuan tersebut, jelas Eddy, memang 10% di atas HPP dengan HPP broiler Rp17 ribu/kg dan HPP telur Rp15 ribu/kg. namun, ia berujar, harga broiler di atas HPP hanya terjadi dua bulan saja selama 2017. Yakni, Mei dan Juni dengan kisaran harga Rp19 ribuan/kg. Sedangkan telur yang di atas HPP terjadi pada Mei, Juni, Agustus, dan September.
Ia menduga, gejolak harga broiler masih tinggi lantaran peternak masih fokus dalam memproduksi. Ketika peternak sudah berorientasi memproduksi daging ayam maka akan masuk ke gudang pendingin dan tidak bersesakan di pasar becek. Akan tetapi, simpulnya, ”Kapasitas rumah potong unggas belum dimiliki dan cold storage lebih banyak. Harga jadi terjun bebas.”
Prospek 2018
Kris menggarisbawahi, pada 2018 ada dua hal yang akan menjadi perhatian. Pertama, tahun politik. Meskipun perunggasan tidak berhubungan langsung dengan politik dan bukan merupakan kekuatan politik, tapi sedikit banyak industri perunggasan akan terpengaruh hangatnya suasana perpolitikan nasional.
Kemudian, 2018 akan diwarnai oleh realisasi akibat kekalahan Indonesia atas Brasil, Amerika Serikat, dan Selandia Baru dalam sengketa WTO. Menghadapi hal tersebut, ia mengimbau, para pemangku kepentingan serta berbagai asosiasi perunggasan agar kompak dan meningkatkan kerja sama.
Sementara Eddy meyakini, produksi akan mengarah ke penggunaan closed house seirama dengan pelarangan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP). Closed house akan menambah produksi daging dan telur, baik kualitas maupun kuantitas. Tetapi keberhasilan itu diduga belum akan diimbangi dengan meningkatnya permintaan pasar. Sehingga, pasar broiler dan layer belum melampaui harga acuan.
“Perunggasan tetap prospektif seiring dengan pertumbuhan pasar. Kita juga perlu mengampanyekan konsumsi daging ayam dan telur yang sehat karena masih ada persepsi daging broiler masih disuntik obat,” ajaknya.
Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB), Arief Daryanto mengatakan, perunggasan Indonesia harus berbenah agar ke depannya lebih baik.
Dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing, baik yang bersifat on farm maupun off farm, para pelaku usaha membutuhkan lingkungan bisnis kondusif yang sering disebut Business Enabling Environment (BEE).
BEE ini merupakan intervensi pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. “Pemerintah dapat berperan sebagai regulator, fasilitator, dan promotor,” papar Dosen senior di bidang ekonomi dan manajemen IPB itu.
Try Surya Anditya, Windi Listianingsih