Memilih benih jagung yang baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, jika salah pilih, sesal kemudian tiada berguna.
Produksi tinggi dan hasil panen berkualitas sesuai dengan permintaan pasar, tentunya menjadi tujuan utama dalam budidaya. Tidak terkecuali pada jagung. Kuncinya, pilih benih unggul dengan potensi hasil tinggi. Walaupun masih banyak tindakan budidaya yang harus dilakukan, langkah tepat dalam memilih benih memberikan jaminan setidaknya 50% terhadap keberhasilan budidaya.
Seperti yang diungkapkan Mardahana, General Manager Seed PT DuPont Indonesia di Jakarta. “Ibaratnya, kalau mau minum kita bisa pilih gelas yang kecil, sedang, atau besar. Ini kita asosiasikan dengan potensi genetik benih. Kalau potensi genetiknya kecil, mau kita pupuk secara optimum, dipelihara secara intensif, hasilnya ya maksimal segitu-segitu aja. Kalau kita mau mencapai produksi yang tinggi, tentu saja pilihlah gelas yang besar,” paparnya.
Bicara benih jagung, pasti benih komposit dan hibrida yang menjadi pilihan. Pengguna kedua jenis benih ini di lapangan, menurut Mardahana, masih sama banyak. Peningkatan penggunaan benih hibrida selama beberapa tahun terakhir menjadi salah satu program Kementerian Pertanian (Kementan) dalam rangka meningkatkan produksi jagung nasional.
Edukasi Petani
Secara teori, potensi hasil benih jagung hibrida jauh lebih tinggi jika dibandingkan benih jagung komposit. Jika benih jagung komposit hanya bisa menghasilkan sekitar 3 - 4 ton/ha, maka benih jagung hibrida dapat memproduksi 8-10 ton/ha, bahkan lebih pada wilayah tertentu.
Banyak alasan mengapa petani masih menggunakan benih komposit kendati produksinya lebih rendah dari hibrida. Salah satunya alasan keterbatasan informasi. “Tidak semua petani tahu kalau benih hibrida itu lebih tinggi dari komposit. Apalagi petani-petani di pelosok,” terang Marda.
Tidak hanya itu, sebagian petani justru khawatir dengan potensi hasil yang tinggi. “Banyak yang justru khawatir, kalau dia produksi melimpah, nanti yang beli siapa. Kalau panen banyak, fasilitas pascapanennya bagaimana,” tambahnya lagi. Dia mencontohkan, di sentra pabrik pakan seperti Jawa Timur misalnya, dengan akses pasar yang jelas dan dukungan infrastruktur menunjang, penggunaan benih jagung hibrida cukup tinggi.
Bambang Budhianto, Direktur Perbenihan Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, menuturkan, benih hibrida yang beredar saat ini kebanyakan hibrida silang tunggal atau single cross hybrids. Jenis ini adalah hibrida persilangan antara dua galur murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Hasilnya akan lebih vigor dan produktif ketimbang tetuanya.
Namun, dibandingkan varietas hibrida terdahulu yang merupakan jenis silang ganda atau double cross, hibrida silang tunggal membutuhkan teknik budidaya lebih intensif. “Jenis single cross itu, kalau budidayanya tidak pas, potensinya bisa tidak muncul. Bahkan, produksinya jadi jelek dan hasilnya drop. Sedangkan dulu masih ada double cross yang kalau budidayanya kurang pas, masih bisa berproduksi,” papar Bambang.
Perubahan kebiasaan budidaya inilah yang menurut doktor bidang teknologi perbenihan dari Massey University, Selandia Baru tersebut masih perlu diperkenalkan secara bertahap kepada petani. “Yang biasa menanam komposit, dibiarin aja bisa panen, tiba-tiba harus berubah jadi budidaya intensif. Itu juga yang memberatkan petani,” katanya.
Masih ada lagi yang membuat penggunaan benih komposit belum tergantikan dengan hibrida, yaitu tipe usaha petani. Apakah petani itu menanam jagung sebagai tanaman utama atau hanya sekedar tanaman sela di antara musim tanam padi. Biasanya, petani yang memang bertanam jagung sebagai tanaman utama akan memilih benih dengan potensi hasil lebih tinggi, yang bisa dipenuhi oleh benih hibrida. “Tidak perlu ragu, mereka pasti pilih yang terbaik. tapi kalau ditanam hanya sebagai tanaman kedua atau bahkan ketiga, ya mereka nggak akan mau disuruh beli benih yang mahal-mahal,” tukas pria asal Yogyakarta ini.
Seperti yang disampaikan ahli benih IPB Samsoe’oed Sadjad, pemilihan benih oleh petani akan berjalan selaras dengan tingkat budidaya. Tingkat budidaya yang sudah maju akan mendorong petani untuk memilih benih yang bagus dan tidak akan enggan membayar lebih mahal. Sebaliknya, bagi petani dengan kemampuan budidaya yang masih seadanya, benih yang bagus dan mahal bukan menjadi prioritas utama.
Pilih-Pilih Hibrida
Saat ini, pasar benih jagung hibrida di Indonesia bersaing secara ketat. Perusahaan-perusahaan benih lokal dan multinasional menawarkan benih-benih hibrida unggul untuk dipilih petani. Bambang menyebutkan, terdapat 9 perusahaan yang bergerak di perbenihan jagung.
“Kalau bicara jagung hibrida, ada BISI (PT BISI International) dan Pioneer (PT DuPont Indonesia). Kemudian ada Monsanto (PT Monsanto Indonesia), Syngenta (PT Syngenta Indonesia). Lalu ada AHSTI (PT Asian Hybrid Seed Technology Indonesia), SHS (PT Sang Hyang Seri), Pertani, dan perusahaan benih lokal Agri Makmur Pertiwi. Ada juga yang mengembangkan benih-benih dari Litbang Kementan seperti Saprotan Utama dan Golden Indonesian Seed,” paparnya.
Marda mencontohkan, hingga kini benih jagung hibrida Pioneer sudah memiliki sekitar 31 varietas, seperti P4, P7, P11, P12, P13, P21, P23, P25, P27, P29, dan P31 yang masih diproduksi dan dipasarkan. “Disesuaikan dengan segmennya. Ada segmen yang memang untuk dataran tinggi, ada yang cocok di lahan sawah setelah padi, ada juga yang umur pendek sehingga bisa cepat panen,” jelasnya.
Lalu, bagaimana memilih benih yang tepat? Ada tiga hal yang penting diperhatikan. Selain potensi hasil benih, kualitas benih yang biasanya tercantum dalam label juga penting untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan tanam seperti kadar air atau daya tumbuhnya.
“Yang ketiga, karena benih ini produk teknologi, maka diperlukan technical service untuk membantu petani mendapatkan hasil yang optimum sesuai potensi benih itu sendiri. Harus ada tenaga lapang yang membantu petani,” tegas lulusan Agronomi, Institut Pertanian Bogor (IPB), ini.
Pilihan dikembalikan ke petani, disesuaikan dengan kebutuhan petani setempat, apakah itu kondisi tanah, air, hama dan penyakit, atau umur panen. Yang pasti, tidak mungkin punya satu varietas benih yang bagus di segala kondisi dan segala tempat. Bijak memilih benih yang beredar di pasaran, menentukan keberhasilan panen empat bulan berikutnya.
Renda Diennazola, Hermai Nini, Untung Jaya
Kabar dari Transgenik Satu lagi harapan bagi dunia perbenihan jagung, yaitu benih transgenik. Benih hasil rekayasa teknologi ini hingga sekarang masih menunggu persetujuan keamanan lingkungan dari Komisi Keamanan Hayati. Padahal, aplikasi produk hasil rekayasa genetika di Indonesia diperbolehkan dengan kehati-hatian sesuai Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik dan Peraturan Menteri Pertanian No. 61 Tahun 2011 tentang Pengujian, Penilaian, dan Penarikan Varietas. “Tahapannya, setelah ada persetujuan dari Komisi Keamanan Hayati, akan ada uji adaptasi untuk pelepasan varietas. Tapi kalau yang diuji ini adalah varietas yang sudah dilepas, hanya di-insert dengan gen baru, itu nggak perlu uji adaptasi,” Bambang menerangkan. Benih transgenik, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian, Kementan, Haryono, sudah menjadi kebutuhan di tengah perubahan iklim, pertambahan jumlah penduduk, dan mewujudkan ketahanan pangan. “Transgenik sebagai produk rekayasa gen, kita butuhkan. Kenapa? Karena kita mengharapkan peningkatan produktivitas yang signifikan, kemudian kita juga mampu meng-create varietas-varietas baru yang mempunyai fungsi tertentu,” tegasnya. Bambang membenarkan, benih transgenik menjadi suatu keniscayaan karena kita membutuhkan teknologi benih yang adaptif dalam waktu singkat. “Dengan persilangan normal, itu menunggu berapa musim baru bisa ketemu. Padahal kita tantangannya di depan mata. Kita butuh cepat. Secara teknologi sih tidak ada masalah,” tandasnya. Namun, lolosnya benih transgenik dari uji keamanan hayati juga bukan menjadi langkah akhir. Setelah disetujui untuk uji adaptasi ataupun ditanam di lahan uji terbatas, pengaturan isolasi lahan dibutuhkan untuk mencegah potensi pencemaran. Tepung sari tanaman jagung transgenik tidak boleh menempel atau mencemari tanaman jagung non-transgenik. “Ini yang belum ada aturannya. Kalau di Amerika itu strict, nggak mungkin di sini dibebasin. Saat diuji harus benar-benar diatur jaraknya dengan tanaman non-transgenik agar tidak mencemari. Tidak semudah itu juga. Jadi sementara kita menunggu izin, kita persiapkan dulu semuanya,” pungkas Haryono. Renda Diennazola |