Senin, 17 Pebruari 2014

LIPUTAN KHUSUS : Rumah Segar, Bermain Kualitas Hotel dan Restoran

Christian Angga dan Gerard Edwin memilih mengambil risiko berwirausaha dibandingkan bekerja memanfaatkan keahliannya dalam bidang informatika.

Dengan mencurahkan sedikit keahlian yang didapatnya di kampus mengenai pembuatan situs, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memulai bisnis Rumah Segar. Rumah Segar merupakan bisnis yang bergerak di bidang layanan pesan antar produk segar langsung ke konsumen. Tangan trampil dan ketekunan mereka membuat bisnis yang berdiri pada pertengahan 2013 ini sekarang berkembang cukup pesat.

Siapa sangka bisnis yang kini menjadi tumpuan hidup 15 orang karyawan ini berawal dari iseng-iseng saja. “Kita bikin ini cuma satu minggu langsung on-line. Terus pada kaget, ternyata ada order.  Nah akhirnya pesanan mulai naik, ya kita mulai fokus dan benahi semua manajemen,” kenang Christian.

Porsi mereka lebih banyak yang melakukan tugas lapangan, seperti kurir sebanyak empat orang dan bagian pembelian produk yang mencapai lima orang. Sisanya bagian sales dan maintenance. Bagian pembelian menduduki peringkat jumlah pekerja tertinggi karena produk yang mereka tawarkan sangat bervariasi.

Awalnya memang hanya berupa produk segar, tetapi permintaan pelanggan berkembang sampai ke bumbu, bahkan roti, susu, dan sereal. Tak pelak mereka harus melebarkan jangkauan pasar mereka kepada seluruh produk grocery yang bisa dimakan.  “Kita fokus untuk produk yang bisa dimakan. Kita mau bikin one stop shopping  untuk kebutuhan rumah tangga,” beber Chris, demikian sapaan pria kelahiran Bandung 11 Februari 1990.

Pemasaran

Pelanggan Rumah Segar tak melulu ibu-ibu rumah tangga. Hotel dan restoran pun telah banyak yang menggunakan jasa perusahaan yang berkantor di bilangan Jakarta Selatan ini. “Standar kita standar restoran. Restoran punya QC (quality control), dia bisa nge-reject barang yang nggak qualified, makanya kita pukul rata semua barang biar qualified bisa masuk ke restoran. Untuk ritel pun kita samain, jadi bisa dibilang barang premiumlah. Dan kalau emang jelek, di-reject aja waktu sampai tempat. Kita ada garansi,” ujar Chris panjang lebar.  Dengan prinsip itu, mereka mengambil motto Quality is Our First Priority.

Saat ditanya tentang omzet, Chris sempat kerepotan saat menyebutkannya. “Kalau dalam rupiah nggak bisa ngomong. Bukannya rahasia tetapi kita melayani corporate juga. Corporate itu tiba-tiba bisa order Rp30 juta, tiba-tiba  order Rp50 juta,” kilahnya.

Hitungan Chris, jumlah pelanggan mereka mencapai 1.000 orang. Rata-rata sehari ada 30 pelanggan yang harus dilayani. Asumsinya, bila setiap pelanggan tidak ada yang dihitung ganda, artinya setiap pelanggan yang sama, baik yang sering order maupun tidak sering, dihitung satu.

Pelanggan dapat memilih waktu kedatangan barang. Rumah Segar membagi pengiriman dua kali shift, pagi antara pukul 06.00 - 09.00 WIB dan siang pukul 09.00 - 13.00 WIB. Kondisi ini memudahkan pelanggan dalam mengatur jadwal hariannya. Berbagai kemudahan yang ditawarkan membuat Rumah Segar mencapai persebaran pelanggan yang cukup luas. “Di manapun bisa, makanya kita akan sampai buka ke Jawa Barat seperti Bekasi, ke BSD, Tangerang, dan Depok” tandas Chris. Dengan minimum order Rp150 ribu, lanjut dia, “Pengiriman gratis! Kurang dari itu Rp10 ribu - Rp15 ribulah ongkos kirimnya, nggak akan terlalu gede juga karena takut membebani customer.”

Tantangan

Pilihan pengantaran yang diterapkan Rumah Segar kadang menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pasalnya, tak jarang pelanggan mengorder pada waktu yang bersamaan. “Kadang pengin pagi semua, siang kosong. Kadang banyak yang siang, pagi kosong,” ujar Chris.

Selain itu, menurutnya, “Penetrasi customer kita terhadap internet dan belanja on-line masih terbatas.” Hal ini sedikit banyak merepotkan bagi Rumah Segar yang lapak utamanya di situs internet. Mereka memang hanya membidik konsumen kalangan muda. “Bagi ibu-ibu yang baru punya anak atau berumur sekitar 30-40 tahun, penetrasi internet sudah biasa. Tetapi  untuk ibu-ibu umur 40 atau 50 ke atas? Mereka nggak bisa belanja di internet, akhirnya tolong dong inputin datanya. Kalau umpamanya 1.000 customer begitu semua, berapa  CS (customer service) yang harus kita siapkan?” ujarnya menyudahi wawancara.

Ratna Budi Wulandari

Christian Angga dan Gerard Edwin memilih mengambil risiko berwirausaha dibandingkan bekerja memanfaatkan keahliannya dalam bidang informatika.

Dengan mencurahkan sedikit keahlian yang didapatnya di kampus mengenai pembuatan situs, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memulai bisnis Rumah Segar. Rumah Segar merupakan bisnis yang bergerak di bidang layanan pesan antar produk segar langsung ke konsumen. Tangan trampil dan ketekunan mereka membuat bisnis yang berdiri pada pertengahan 2013 ini sekarang berkembang cukup pesat.

Siapa sangka bisnis yang kini menjadi tumpuan hidup 15 orang karyawan ini berawal dari iseng-iseng saja. “Kita bikin ini cuma satu minggu langsung on-line. Terus pada kaget, ternyata ada order.  Nah akhirnya pesanan mulai naik, ya kita mulai fokus dan benahi semua manajemen,” kenang Christian.

Porsi mereka lebih banyak yang melakukan tugas lapangan, seperti kurir sebanyak empat orang dan bagian pembelian produk yang mencapai lima orang. Sisanya bagian sales dan maintenance. Bagian pembelian menduduki peringkat jumlah pekerja tertinggi karena produk yang mereka tawarkan sangat bervariasi.

Awalnya memang hanya berupa produk segar, tetapi permintaan pelanggan berkembang sampai ke bumbu, bahkan roti, susu, dan sereal. Tak pelak mereka harus melebarkan jangkauan pasar mereka kepada seluruh produk grocery yang bisa dimakan.  “Kita fokus untuk produk yang bisa dimakan. Kita mau bikin one stop shopping  untuk kebutuhan rumah tangga,” beber Chris, demikian sapaan pria kelahiran Bandung 11 Februari 1990.

Pemasaran

Pelanggan Rumah Segar tak melulu ibu-ibu rumah tangga. Hotel dan restoran pun telah banyak yang menggunakan jasa perusahaan yang berkantor di bilangan Jakarta Selatan ini. “Standar kita standar restoran. Restoran punya QC (quality control), dia bisa nge-reject barang yang nggak qualified, makanya kita pukul rata semua barang biar qualified bisa masuk ke restoran. Untuk ritel pun kita samain, jadi bisa dibilang barang premiumlah. Dan kalau emang jelek, di-reject aja waktu sampai tempat. Kita ada garansi,” ujar Chris panjang lebar.  Dengan prinsip itu, mereka mengambil motto Quality is Our First Priority.

Saat ditanya tentang omzet, Chris sempat kerepotan saat menyebutkannya. “Kalau dalam rupiah nggak bisa ngomong. Bukannya rahasia tetapi kita melayani corporate juga. Corporate itu tiba-tiba bisa order Rp30 juta, tiba-tiba  order Rp50 juta,” kilahnya.

Hitungan Chris, jumlah pelanggan mereka mencapai 1.000 orang. Rata-rata sehari ada 30 pelanggan yang harus dilayani. Asumsinya, bila setiap pelanggan tidak ada yang dihitung ganda, artinya setiap pelanggan yang sama, baik yang sering order maupun tidak sering, dihitung satu.

Pelanggan dapat memilih waktu kedatangan barang. Rumah Segar membagi pengiriman dua kali shift, pagi antara pukul 06.00 - 09.00 WIB dan siang pukul 09.00 - 13.00 WIB. Kondisi ini memudahkan pelanggan dalam mengatur jadwal hariannya. Berbagai kemudahan yang ditawarkan membuat Rumah Segar mencapai persebaran pelanggan yang cukup luas. “Di manapun bisa, makanya kita akan sampai buka ke Jawa Barat seperti Bekasi, ke BSD, Tangerang, dan Depok” tandas Chris. Dengan minimum order Rp150 ribu, lanjut dia, “Pengiriman gratis! Kurang dari itu Rp10 ribu - Rp15 ribulah ongkos kirimnya, nggak akan terlalu gede juga karena takut membebani customer.”

Tantangan

Pilihan pengantaran yang diterapkan Rumah Segar kadang menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pasalnya, tak jarang pelanggan mengorder pada waktu yang bersamaan. “Kadang pengin pagi semua, siang kosong. Kadang banyak yang siang, pagi kosong,” ujar Chris.

Selain itu, menurutnya, “Penetrasi customer kita terhadap internet dan belanja on-line masih terbatas.” Hal ini sedikit banyak merepotkan bagi Rumah Segar yang lapak utamanya di situs internet. Mereka memang hanya membidik konsumen kalangan muda. “Bagi ibu-ibu yang baru punya anak atau berumur sekitar 30-40 tahun, penetrasi internet sudah biasa. Tetapi  untuk ibu-ibu umur 40 atau 50 ke atas? Mereka nggak bisa belanja di internet, akhirnya tolong dong inputin datanya. Kalau umpamanya 1.000 customer begitu semua, berapa  CS (customer service) yang harus kita siapkan?” ujarnya menyudahi wawancara.

Ratna Budi Wulandari

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain