Pengusaha perikanan dan nelayan meminta pada Pemerintah untuk tetap mendapatkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi kapal penangkap ikan berkapasitas lebih dari 30 GT dengan memberlakukan kembali Permen No. 8/2012.
Permintaan ini, kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perikanan dan Kelautan Yugi Prayanto, karena terkait adanya larangan dari pemerintah melalui Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas bumi ( BPH Migas ) yang tertuang dalam Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 Tanggal 15 Januari 2014, diteruskan kepada PT Pertamina, PT Aneka Kimia Raya dan PT Surya Parna Niaga agar dalam mendistribusikan jenis BBM tertentu tidak menyalurkan dan/atau tidak melayani penyaluran jenis BBM tetentu pada konsumen pengguna usaha perikanan dengan ukuran kapal diatas 30 GT.
"Saat ini ada lebih kurang 10.000 kapal ikan di atas 30 GT yang tidak bisa melaut, karena harus membeli BBM Solar Non-subsidi yang harganya tidak terjangkau, yakni dua kali lipat dari harga subsidi,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perikanan dan Kelautan Yugi Prayanto di Jakarta, (5/1/2014).
Pihaknya akan menunggu kebijakan pemerintah untuk memberikan solusi yang terbaik karena masalah seperti itu akan berdampak negatif pada produktivitas dan penghasilan para nelayan.
Selain itu pada akhirnya akan berpengaruh pada kegiatan perdagangan ikan di pasar ikan, industri perikanan dan pengolahan ikan tradisional serta usaha kecil yang berkaitan dengan hasil perikanan.
“Memang ironis, pemerintah masih bisa melakukan subsidi konsumsi BBM jenis premium milik pribadi di darat, sementara nelayan yang sangat memerlukan justru dihapus dari prioritas,” ungkap dia.
Yugi mengatakan, Kadin beserta asosiasi-asosiasi terkait akan melakukan pendekatan kembali dengan pemerintah, terutama dengan Menteri Koordinator Perekonomian untuk menindaklanjuti permasalahan itu. “Kita prihatin atas hal ini, kita juga akan menanyakan larangan ini kepada Kementerian ESDM”.
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf Solichien mengatakan, kapal-kapal ikan di atas 30 GT rata-rata diawaki oleh 30-50 orang Nelayan. Maka jika 10.000 kapal ikan di atas 30 GT yang tidak melaut, berarti ada lebih kurang 500.000 orang nelayan yang akan kehilangan pekerjaan.
Dia memaparkan, penghasilan nelayan sangat ditentukan oleh sistem bagi hasil sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan yang hingga saat ini masih berlaku. Undang-Undang itu mengamanatkan bahwa pembagian penghasilan antara Nelayan Pemilik dan Nelayan Pekerja diatur dengan sistem bagi hasil yang menguntungkan bagi Nelayan Pekerja pada kapal ikan tanpa memandang bobot GT kapalnya.
“Ketika biaya operasional kapal ikan bertambah besar dengan 50%-70% biaya operasional digunakan untuk membeli BBM Solar, maka dengan sendirinya penghasilan Nelayan akan berkurang, karena harga ikan tetap dan nelayan tidak dapat menaikan harga ikan karena ditentukan oleh pasar,” ungkap Yussuf.
Tri Mardi Rasa