Sistem rantai dingin membutuhkan investasi yang tidak sedikit, tetapi manfaat yang didapatkan pun melimpah.
Industri ayam merupakan industri paling lengkap dan kompleks. Banyaknya pelaku membuat persaingan yang cukup ketat antara satu dengan yang lain. Mereka berlomba-lomba untuk paling murah dan efisien.Utamanya di bidang budidaya, alat pakan dan minum dibuat sedemikian rupa sehingga meminimalkan adanya yang terbuang.
Sayangnya, selepas dari budidaya masih banyak kelemahan industri ini. Transportasi merupakan salah satu sumber inefisiensi dalam peternakan. “Nggak efisien jual ayam hidup. Lost-nya 2% siapa yang menanggung?” kata Ir. RP Bugie Pudjotomo, Direktur PT United Refrigeration, perusahaan penyedia sarana rantai dingin di Bekasi, Jabar. Memang tidak dapat dipungkiri, selama perjalanan ada risiko, baik itu berupa susut berat badan maupun kematian.
Sepertinya angka 2% kecil, tetapi jika satu truk mengangkut tiga ton ayam, maka akan ada 60 kg yang hilang. Bila 1 kg dibandrol Rp16 ribu, sejumlah Rp960 ribu “dimakan hantu”. Belum lagi masalah pemotongan dan pemasaran.
Sampai saat ini, hampir 85% ayam masuk ke pasar tradisional. Parahnya, kondisi pasar memang benar-benar tradisional. Pemotongan serampangan, rumah potong yang belum terstandar, dan pemasaran karkas selama berjam-jam tanpa menggunakan pendingin. Kondisi ini tentu jauh dari kata ideal bahkan bisa dikatakan sebagai sisi hitam industri unggas.
Rantai Dingin
Sebenarnya sudah ada solusi yang bisa ditawarkan, yaitu berupa sistem pemasaran rantai dingin. Tak dapat dipungkiri, untuk menerapkan rantai dingin diperlukan investasi yang tidak sedikit. Diperlukan mobil berpendingin, Rumah Potong Ayam (RPA) yang memenuhi standar, dan juga cold storage.
Untuk mobil berpendingin, lanjut Bugie, “Nambah Rp100 juta, tetapi biaya akan hilang dengan sendirinya bila semula bawa 2 ton ayam hidup, jadi 3 ton ayam karkas, pasti lebih murah.” Tak perlu mengkhawatirkan bensin, pasalnya menurut Bugie antara mobil truk berpendingin dan mobil truk biasa tidak jauh berbeda.
Perbedaan nampak pada kapasitasnya. Bila mengangkut ayam hidup, membutuhkan ruang yang lebih besar. Misalnya, membawa 3 ton karkas hidup, maka berubah jadi karkas 2 ton belum ditambah adanya susut di jalan. Beda halnya dengan pengangkutan karkas, bila berangkat membawa 3 ton, maka sampai lokasi tetap 3 ton.
Ayam yang dibawa di mobil berpendingin, sebelumnya telah didinginkan dengan blast freezer dan disimpan di cold storage. Sedangkan investasi untuk pembuatan cold storage, bebernya, “Rata-rata Rp1,8 miliar - Rp2 miliar untuk bangunan cold storage dan mesinnya, belum tanah. Bila ditambah Bangunan sipil, pendingin, pengolahan limbah dan instalasi air biayanya Rp3,5 miliar.”
Perlunya Cold Storage
Ada beberapa tahap sebelum ayam bisa disimpan di cold storage. Secara ringkas, Eko Wahyudi, General Manager RPA PT Reza Perkasa, di Surabaya, Jatim, menyampaikan, “Pembekuan ayam dilakukan dalam waktu cepat sekitar 12 jam dengan suhu -40°C, nanti karkasnya akan mencapai -15°C. Kemudian di-packing terus disimpan dalam cold storage pada suhu -20°C.” Selama tidak ada perubahan suhu yang ekstrem, karkas tersebut mampu bertahan berbulan-bulan.
Lamanya daya simpan tersebut memiliki banyak arti, baik bagi peternak maupun pedagang. Dengan pengalaman dan jam terbang bertahun-tahun, PT Reza mampu mengirimkan karkas ayamnya sampai ke Maluku (Ambon), Sulawesi Utara (Manado), dan Papua. “Kalau dikirim ke Indonesia Timur, butuh waktu lama, makanya ayam ini kita dinginkan. Jadi waktu ngirim harus dalam keadaan beku,” terang Eko.
Memang saat ini hampir 80% pemasaran dilakukan di luar pulau, sisanya mereka jual dalam bentuk segar ke high level market seperti hotel, restoran supermarket, dan ritel–ritel besar seperti Giant dan Carrefour. Dengan strategi ini, PT Reza mampu mengatasi ketatnya persaingan di Pulau Jawa. Bahkan dalam satu hari 40 ton ayam keluar dari penyimpanannya.
Rantai dingin pun membawa berkah bagi Suparno atau akrab dipanggil Bang Nojeng di Jakarta Timur. Rantai ayam dingin membuat omzetnya naik berkali-kali lipat. Dari keuntungannya berjualan ayam dingin dua tahun kini Nojeng telah memiliki cold storage sendiri dengan besar investasi Rp250 juta.
Nojeng tak segan merogoh kocek lumayan itu untuk berinvestasi cold storage. “Dengan rantai dingin, bila harga ayam lagi murah kita bisa simpan. Otomatis kalau harga ayam mahal kita bisa jual,” bebernya. Strategi tersebut membuatnya mampu bersaing dengan pedagang ayam hangat (segar). Melalui sistem subsidi silang ini, ia dapat menjual ayam dengan harga Rp25 ribu – Rp26 ribu/kg. Padahal harga ayam di pasar tradisional bisa mencapai Rp30 ribu/kg. Ia sengaja tidak mengambil untung terlalu besar karena ia berpendapat lebih baik untung sedikit tetapi menjual lebih banyak ketimbang untung banyak tetapi hanya menjual sedikit.
Untuk menjaga kesinambungan pasokan Nojeng n bekerjasama dengan peternak yang telah memiliki fasilitas penyimpanan dingin. “Ternyata sepanjang rantai dingin itu nggak ada tengkulak, nggak ada broker, dan rakyat bisa senang,” celotehnya. Bahkan untuk menambah daya tampungnya, tahun ini Nojeng berencana menyewa satu unit alat penyimpanan dingin lagi.
Tak terlalu berlebihan kata-kata Nojeng mengenai rakyat bisa senang. “Tata niaga ayam selama ini ada pengepul satu, ada pengepul dua ada trader satu, ada trader dua, ada tempat penampungan ayam, ada trader lagi, baru di ritel. Ini ada 4-6 middle man (perantara) sehingga rantai suplainya terlalu panjang,” ujar Desianto Budi Utomo, Ketua Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI).
Bila masing-masing perantara ini mengambil keuntungan Rp1.000/kg bisa dibayangkan berapa nilai yang harus dibayar oleh konsumen akibat panjangnya rantai perantara ini. Tapi bila rantai dingin diterapkan, panjangnya rantai pun dapat terpotong. Peternak mengangkut ayamnya ke RPA terdekat, kemudian langsung disembelih dan disimpan di cold storage.
Ternyata hantaman harga murah bertubi-tumbi membuat peternak pelan-pelan sadar bahwa mereka butuh tempat penyimpanan yang dapat meminimalkan kerugian. Hitungan secara kasar, bila seorang peternak memiliki alat penyimpanan dingin berkapasitas 100 ton, maka bila harga jatuh smapai pada titik Rp9.000/kg seperti beberapa waktu lalu, maka dia bisa menghindarkan ayamnya terjual dengan harga Rp900 juta.
Dan pada saat harga membaik, harga pada posisi Rp16 ribu/kg, dia bisa melepas dengan omzet Rp1,6 miliar. Dengan kata lain, berkat adanya cold storage dia mampu mencegah kehilangan uang sebesar Rp700 juta setiap satu siklus ayam jatuh. Bila satu tahun ada dua siklus, atau tiga siklus, berapa rupiah yang berhasil dia selamatkan?
Keuntungan tersebut membuat United Refrigeration dalam satu tahun rata-rata mendapat delapan order pembangunan cold storege. Padahal sampai saat ini diperkirakan ada 40 perusahaan cold storage di Jakarta. Bila masing-masing mendapat pesanan dalam jumlah sama, berarti saat ini sudah ada 320 peternak yang memiliki clod storage dengan spesifikasi berbeda-beda.
Perlu Pembinaan
Walaupun telah tampak gambaran cerah dengan adanya penyimpanan dingin, ternyata masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang perlu digarap, terutama dari sisi konsumen. “Karena untuk pasar bawah di Surabaya, Jawa Timur ini masih belum bisa menerima ayam beku. Mereka lebih senang yang fresh,” ujar Eko.
Tak hanya di Surabaya, sepertinya tingkat pemahaman konsumen mengenai ayam dingin atau beku di berbagai kota besar pun tak jauh beda. Padahal bila dibandingkan dengan karkas hangat, karkas dingin jauh lebih baik. Pasalnya, perlakuan dingin mencegah jumlah bakteri yang ada pada ayam bertambah dan tentunya karkas dingin jauh lebih higienis.
“Penjual karkas dingin harus lebih mendekati konsumen. Beri edukasi bahwa cold chain itu jangan di-thawing (dicairakan) kemudian diambil separuh, di-freezer lagi. Edukasinya harus bener,” tandas Desianto. Jadi, bila konsumen hari ini ingin masak setengah kilogram ayam, dan lusa setengah kilogramnya lagi, maka konsumen harus membaginya ke dalam dua wadah yang berbeda lalu dinginkan.
Sedikit berbeda kondisi di Jakarta, sebagai Ibu Kota Negara dengan berbagai kemudahan informasi, menurut Nojeng, sekarang lebih banyak orang yang tahu apa itu ayam dingin. Namun, “Permasalahannya pasar itu belum ada karena persiapan pendukung ayam beku cost-nya tinggi,” timpalnya.
Itulah kelemahan kita. “Kita lemahnya di manajemen implementasi. Bagaimana bringing regulation down to earth supaya benar-benar terlaksana,” tukas Desianto. Pemerintah mungkin bisa membelokkan usaha para perantara ayam hidup ini menjadi penjual-penjual karkas, atau mungkin penjual jasa pemotongan karkas.
Alumnus Fakultas Kedokteran Hewan IPB itu menambahkan, “Nanti tujuan jauh menengahnya adalah bagaimana yang jual ayam segar juga jual ayam beku. Dengan untung yang cukup banyak sehingga mereka tergiur untuk menjual ayam beku.”
“Kalau orang Jakarta tidak mau diubah, ya sudah kita ubah saja peternaknya,” kata Bugie lugas. Menurut analisis Bugie, bila peternak sudah mengerti nikmatnya menjual ayam beku, maka mereka tak akan lagi menjual ayam hidup. Kondisi ini membuat aliran ayam hidup ke Jakarta terhenti. Akhirnya para pengepul pun tak punya pasokan, dan para penjual jasa pemotongan di pasar pun tak bisa memotong.
Peternak
Memang tak semudah itu mengarahkan peternak untuk mendirikan rantai dingin dan cold storage. “Pendekatan kepada satu peternak ayam untuk membuat dia jadi membangun RPA itu satu tahun dan belum tentu dia mau. Tetapi kalau sudah mau, satu kelompoknya akan ikut,” cerita Bugie.
Membangun bisnis baru tentu tak gampang juga. “Rantai dingin itu berarti mengubah bisnis dia, mengubah paradigma pikir dia, dan totally change everything. Kalau kita hanya memasukkan teknologi tanpa ada pendampingan, gegar budaya mereka. Malah nanti ada masalah baru,” jelas Bugie panjang lebar.
Karena itu, Bugie dan timnya tak hanya membangun dan merancang RPA beserta cold storage-nya, tetapi dia pun mau meluangkan waktu untuk mendidik teknisi khusus yanag nantinya melakukan perawatan sehari-hari, membangunkan pasar bagi para peternak. Hal ini dilakukan karena begitu bisnis berjalan, berarti peternak memiliki dua bisnis yang pertama budidaya, dan yang kedua adalah penjualan karkas. Tentu sangat disayangkan bila investasi miliaran harus menganggur karena tidak pahamnya pengusaha terhadap apa yang dimilikinya.
Ratna Budi Wulandari