Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke -9 di Nusa Dua Bali berakhir 7 Desember 2013. Konferensi yang menelan dana Rp109 Miliar selama 4 hari ini hanya mewakili tak lebih dari 10% isu yang diamanatkan Doha Development Agenda (DDA).
Hal tersebut mengemuka dalam keterangan press dari Iman Pambagyo, Direktur Kerjasama Perdagangan International di Jakarta, Selasa (10/12). Ia menambahkan, mengingat kebuntuan yang dialami sejak 2001, di putaran Bali ini hanya memuat tiga elemen dari DDA, yakni perjanjian fasilitas perdagangan, beberapa isu di bawah perundingan sektor pertanian (penambahan general services yang dibebaskan dari ketentuan pembatasan subsidi public stockholdin for food security purposes, pengertian mengenai administrasi Tariff Rate Quota dari perjanjian pertanian, dan persaingan pasar ekspor/subsidi ekspor). Dan isu-isu pembangunan dan negara kurang berkembang (terdiri dari preferensi ketentuan asal barang, operasionalisasi kemudahan akses pasar jasa, akses pasar Duty Free, Quota Free (DFQF), dan mekanisme monitoring penerapan S&D).
Pertanian menjadi elemen perhatian dikarenakan saat ini, beberapa negara berkembang mengalami peningkatan penduduk yang cukup signifikan, kondisi ini diperparah dengan masalah cuaca, dan kegiatan produksi di negara berkembang yang cenderung menurun. Dengan kata lain, kapasitas produksi pertanian dunia tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah penduduk.
Dalam KTM WTO ke -9, kesepakatan mengenai sektor pertanian, tertuang di dalam Proposal G-33 mengenai pembentukan stok pangan dalam rangka ketahanan pangan. Dengan kesepakatan di Bali, maka negara berkembang untuk sementara akan dibebaskan dari tuntutan disiplin apabila subsidi dari total output melampaui 10% sesuai dengan batasan perjanjian pertanian yang ada saat ini.
Hasil itu bisa dibilang kemenangan sementara bagi negara berkembang dan miskin. “Selama empat tahun negara berkembang tidak diganggu-ganggu. Silahkan subsidi, lewat 10% nggak masalah. Sementara itu kita duduk untuk mencari solusi permanennya seperti apa,” ujar Iman Pambagyo.
Kedepannya, lanjut Iman “Perjanjiannya harus realistis. Besar subsidi harus berdasarkan tiga tahun terakhir (saat ini mengacu pada harga 1986 -1988), dan karena ini menyangkut kepentingan negara berkembang, dan subsidi jangan 10% tetapi 15%. Selain itu, produk yang mendapat subsidi jangan mereferensi ke total production tetapi ke jumlah yang memang dibeli oleh pemerintah,” tuturnya. Semoga negoisator kita dapat segera berunding agar nasip petani kedepannya menjadi lebih baik.
Ratna
Budi Wulandari