Senin, 2 Desember 2013

LIPUTAN KHUSUS : Awas, Pasar Domestik Teh Terancam!

Permintaan terhadap teh domestik terus meningkat. Jika pelaku usaha tidak siap, peluang bisnis teh akan “tersikat”.

Industri hilir teh semakin berkembang. Menurut Agus Supriyadi, Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri – Dalam Negeri, Dewan Teh Indonesia (DTI), pertumbuhan konsumsi teh di Indonesia mencapai 5 juta kg teh kering per tahun. Pada 2011 saja, konsumsi teh dalam negeri mencapai sekitar 85 juta kg teh kering.

Teh dikonsumsi dalam bentuk teh seduh, teh celup, dan teh dalam kemasan siap minum (ready to drink). Tidak hanya merek lokal yang berjaya di pasar domestik. Teh impor juga tengah mengisi pasar Indonesia.

Peluang Besar

Agus menjelaskan, prospek industri teh dalam negeri masih cukup cerah. Pasalnya, sebagai komoditas barang konsumsi, pertumbuhan bisnis teh akan mengikuti perkembangan ekonomi suatu negara. “Jadi kalau ekonomi suatu negara maju, maka konsumsinya akan meningkat. Nah, termasuk juga konsumsi teh ini,” ujarnya.

Produksi teh yang mencapai 85 juta kg teh kering, sambung Agus, dimanfaatkan di dalam negeri untuk konsumsi langsung ataupun dikemas dalam bentuk teh celup dan RTD. “Jadi konsumsi dalam negerinya menjanjikan. Di hilir lebih-lebih lagi, bisa dilihat di hilir itu pertumbuhan teh dalam kemasan juga semakin meningkat. Ini tren anak-anak muda dalam mengonsumsi teh karena lebih praktis, tidak harus nyeduh air, tinggal minum saja,” ulas Agus saat ditemui AGRINA di Jakarta (21/11). Sehingga, lanjut dia, “Prospek ini akan semakin berkembang di masa yang akan datang.”

Dadi Sunardi, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII juga menegaskan hal serupa. Industri hilir teh menjanjikan seiring jumlah penduduk Nusantara yang besar. “Rakyat Indonesia yang banyak itu adalah potensi pasar,” ungkap Dadi dalam wawancara dengan AGRINA di Jakarta (26/11). Apalagi, masyarakat Indonesia cukup familiar mengonsumsi teh.

Terlebih, saat ini posisi konsumsi teh dalam negeri dengan ekspor sudah mulai terbalik (lihat: Tabel Produksi Teh). “Tren penurunan ekspor itu dari mulai 2005 terus menurun sampai tahun yang lalu. Tahun 2011 ini ekspor kita hanya 75 juta kg, sementara sisanya  85 juta kg itu dimanfaatkan di dalam negeri,” timpal Agus. Indonesia mengekspor dalam bentuk bulk tea (teh curah dalam kemasan besar) ke Eropa, Rusia, Timur Tengah, Malaysia, Amerika, dan Pakistan. “Sebagian besar ke Rusia. Peminatnya tinggi,” imbuhnya.

Panggah Susanto, Dirjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian menambahkan, ekspor teh sebanyak 90% dalam bentuk barang mentah ini memberikan kontribusi kecil pada neraca ekspor. “Teh masih kecil sekali, US$3,3 juta untuk nilai ekspor 2012. Nilainya jauh di bawah ekspor crude palm oil (CPO) yang mencapai US$280 miliar. Ini angka yang kecil sekali, saya kira masih ada kesempatan untuk kita dorong. Ditargetkan lebih banyak lagi teh olahan yang dieskpor, tidak lagi bahan baku akrena ekspor bahan baku nilai tambahnya kecil,” terangnya.

Impor Meningkat

Sayangnya, kenaikan konsumsi teh ini juga diikuti peningkatan importasi teh di pasar domestik. “Impor juga semakin meninggkat terus sekarang. Pertumbuhannya sangat signifikan. Dari semula hanya 6 jutaan kg, 2011 meningkat menjadi hampir 20 jutaan kg, 2012 itu sudah mencapai 25 juta kg,” beber Agus. Teh yang diimpor itu sebagian besar dalam bentuk bulk tea dan sekitar 10% dalam bentuk packet tea (teh yang sudah dikemas) dengan merek ternama, seperti Lipton, Twinings, dan Dilmah.

Sementara, laju produksi teh justru mengalami penurunan. Pada 2011 lalu produksi teh anjlok dari sebelumnya 156 juta kg ke 150 juta kg. Penyebabnya adalah anomali iklim. Melihat iklim kemarau basah tahun ini yang serupa dengan 2011, Agus memperkirakan produksi yang terus menurun dan impor akan kembali melonjak.

Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian juga mengungkapkan keprihatinan atas kondisi industri teh Nusantara. “Kalau kita biarkan, dia akan seimbang impor dan ekspornya. Suatu ketika, kita akan defisit dalam neraca perdagangan teh,” ujarnya pada Rapat Anggota Tahunan dan Dialog Pertehan Nasional, Dewan Teh Indonesia, Teh Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Di samping itu, pemerintah juga belum menetapkan aturan importasi teh. “Orang bisa mengimpor jenis apapun juga, dari manapun, dan berapapun volumenya tidak ditentukan. Kelihatannya teh ini mengacu pada pasar bebas. Dibebaskan sama pemerintah,” Agus menyayangkan.

Teh impor ini didatangkan dari Argentina, Turki, Vietnam, dan negara-negara di Afrika. Namun, hampir 90% teh impor itu berasal dari Vietnam. Bagaimana bisa? Penyebabnya, ungkap Agus, “Mereka itu umur tanamannya masih relatif muda dibandingkan tanaman kita. Kita ini terakhir peremajaan awal 1980-an, sedangkan di Vietnam ini 1990-an. Tanaman mereka ini 10-15 tahun lebih muda dari tanaman kita dan produktivitasnya juga tinggi.”

Direktur Komoditi Teh PT Perkebunan Nusantara VIII periode 2007-2012 itu mengungkapkan kekhawatirannya akibat derasnya arus impor dari Vietnam. “Pertama melihat volumenya yang meningkat cukup signifikan dan cukup besar. Kedua, banyak juga yang saya lihat impor dari Vietnam itu bukan kualitas premium. Tapi kualitas rendah yang menyaingi penyerapan teh rakyat. Jadi berhadap-hadapan yang diimpor dari Vietnam dan diproduksi petani,” jabarnya.

Apalagi, harga teh dari Vietnam sangat bersaing. “Yang jelas harganya itu murah, kisaran US$1-US$1,2/kg dan itu hampir sama dengan teh rakyat. Kenpa bisa murah? Secara teknis produktivitasnya masih bagus, efisiensinya juga masih bagus, dan (pekerjanya) disiplin,” terang pria kelahiran Bandung, 27 April 1955.

Yang juga perlu diwaspadai, lanjut dia, teh Vietnam ini kurang bisa masuk pasar dunia lantaran mengandung kontaminasi pestisida yang cukup tinggi. Beberapa bahkan disinyalir mengandung paparan radioaktif sisa-sisa zaman perang. Teh dari Vietnam ini pun sulit masuk ke negara-negara Eropa. Akibatnya, harga jual rendah.

Harga yang rendah diimbangi tiadanya persyaratan importasi teh menyebabkan teh Vietnam sangat mudah mengisi pasar Indonesia. Sementara, ujar Agus, “Teh yang ekspor kita ke Eropa ketat sekali syaratnya. Bukan hanya masalah keamanan pangan tapi juga keamanan lingkungan dan sosial.”

Pasar Bebas ASEAN

Dalam kondisi seperti ini, industri teh dalam negeri juga dihadapkan pada pasar bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area, AFTA) 2015. Berlakunya pasar bebas ASEAN menyebabkan pembebasan tarif bea masuk produk impor dari negara-negara anggota ASEAN. “Untuk pasar bebas ASEAN itu kita sudah tidak mengenakan lagi tariff barrier. Artinya bea masuk antarsesama negara ASEAN sudah tidak ada lagi, nol,” tandas Agus.

Satu-satunya cara untuk mengendalikan importasi teh dengan mekanisme non-tariff barrier, terutama persyaratan kualitas. “Pengaturan non-tariff barrier ini sangat kritikal untuk segera diterapkan dalam rangka memfilter atau mengendalikan impor,” desak Agus.  

Dadi pun sepakat. ”Masuknya teh luar ke sini harus diperlakukan sama seperti kita mengekspor ke luar. Lakukanlah non-tariff barrier, aturan-aturan yang melekat untuk hulu. Ada HACCP, land-forest alliance, itu perlakukan sama, batas ambang aman pestisida itu harus ada,”ujarnya berapi-api.

Persyaratan kualitas teh yang diimpor, sambung Direktur SDM dan Umum PTPN VIII periode 2007-2012 ini, tidak hanya menjaga industri teh dalam negeri. Namun juga menjaga kesehatan kesehatan peminum teh di Indonesia. “Nggak semata-mata bisnis, ada tanggung jawab moral,” imbuhnya. Dadi mengingatkan untuk mengantisipasi ancaman ini dengan memproduksi teh lebih efisien dan mengupayakan harga jual teh lokal yang lebih layak daripada teh impor.

Di dalam negeri sendiri, pemerintah harus mendorong para produsen untuk mengelola hilir teh melalui pemberian insentif. Menurut Agus, “Pemerintah memberikan insentif kepada pelaku industri hilir teh untuk mendirikan pabrik di sini. Jadi nanti ekspor bulk tea akan semakin berkurang. Syukur kalau kemudian kita memiliki merek-merek yang mendunia.” Jika tidak begitu, buakn tak mungkin bahan baku teh yang kita ekspor akan kembali dalam bentuk produk jadi berupa teh celup atau RTD.  Alih-alih memproleh nilai tambah, Indonesia justru menjadi pasar garapan negara lain.

Inilah yang tengah terjadi pada industri teh RTD. Industri ini menggunakan ekstrak teh sebagai bahan baku pembuat minuman teh kemasan. Sebagian ekstrak teh ini didatangkan dari impor. “Setahu saya industri ekstraksi untuk teh ini di negara kita masih sedikit. Saya banyak mendapat informasi bahwa sebagian bahan baku untuk RTD ini diimpor,” ungkap Agus. Oleh sebab itu, pertumbuhan industru RTD di dalam negeri harus didukung pelaku industri ekstraksi teh. Sementara ini, pelaku ekstraksi di Indonesia tidak lebih dari 5 perusahaan.

Panggah pun menimpali, pemberian insentif atau pelarangan ekspor bahan baku tidak dilarang dalam organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization, WTO). Industri teh juga bisa mendapat fasilitas pembebasan corporate tax dalam 5 atau 10 tahun seperti yang berlaku pada industri pengolahan hasil hutan dan CPO. Menurut Panggah, pihaknya juga berencana mengadakan pelatihan Good Manufacturing Practices pada industri teh; penerapan SNI pada teh oolong, teh putih, teh hijau, dan teh hitam; revitalisasi mesin pengolah teh; dan mendorong industri pengolahan teh rakyat membentuk koperasi dan mitra dengan industri teh olahan besar.  

Berbagi Manfaat

Untuk meningkatkan kualitas dan daya saing teh nasional, sinergi hulu-hilir juga menjadi perhatian Rusman dan Dadi. Menurut Rusman, perkebunan rakyat sebaiknya bersinergi dengan perkebunan swasta dan perkebunan negara dengan konsep win-win atau pareto optimum. “Maksudnya, cobalah perusahaan swasta dan perusahaan negara bagaimana membuat pertanian rakyat itu lebih baik tetapi kita juga tidak menjadi lebih buruk. Itu namanya pareto optimum. Dalam konsep perkebunan ini bisa jalan,” jelasnya.

Wamentan menekankan para pelaku usaha teh untuk saling bekerja sama. “Tolong dipetakan persaingan kita dengan negara lain. Apalagi dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, kita seharusnya bersaing dengan negara lain, bukan bersaing di dalam negeri. Ini sebabnya teh kita tidak terangkat harkat martabatnya,” gugatnya.

Dadi menambahkan, harus ada benang merah yang menyatukan sektor hulu dan hilir sehingga industri ini bisa maju bersama. “Apa yang didapatkan oleh hilir juga harus didapatkan oleh hulu. sehingga kalau bisnisnya ini menjanjikan,  hulu ini nggak akan mengkonversi (lahan). Dia pasti akan kembali ke teh. Tetapi begitu tidak terasa mereka beralih, terutama (perkebunan) rakyat,” ia mewanti-wanti.

Angkat Citra Teh

Pada kesempatan berbeda, Prof. Dr. Bustanul Arifin, pakar agribisnis, juga menyarankan di sektor hilir, pemerintah perlu membenahi pasar lelang teh di Jakarta. Melalui mekanisme dan sistem lelang seperti selama ini sulit mendongkrak harga teh lokal untuk bersaing dengan teh dari negara lain. 

Yang terpenting, sambung Bustanul, mengubah citra teh menjadi minuman bergengsi, seperti di Inggris, China dan Jepang. “Teh bukan lagi minuman orang kampung. Karena itu, acara-acara penting harus menyuguhkan teh. Tentu perlu promosi segenap pihak terkait agar minum teh menjadi life style,” ulasnya.

Selama ini masyarakat menilai teh lokal bermutu rendah, sedangkan teh impor bermutu tinggi. Sebab, selama ini masyarakat meminum teh yang dibuat dari ranting-ranting daun teh. “Ini harus kita ubah. Teh lokal pun bermutu premium dan citarasanya tak kalah dangan teh impor,” saran ekonom senior INDEF itu.

Citra teh juga akan terangkat jika pemerintah dan pelaku usaha terkait menjadikan teh sebagai minuman kesehatan. “Teh itu adalah minuman sehat. Bagaimana minuman sehat ini bisa dibuat oleh kita semua termasuk pemerintah untuk dijadikan minuman kesehatan di masa ini dan seterusnya,” timpal Dadi.   

Jadi, siap bersaing dengan negara lain?

Windi Listianingsih, Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)



 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain