Senin, 2 Desember 2013

LIPUTAN KHUSUS : Harapan Besar pada Revitalisasi Teh

Revitalisasi teh digadang bisa meningkatkan produksi dan mutu teh rakyat yang dinilai rendah. Bagaimana caranya?

Bergairahnya industri hilir teh belum diikuti sektor hulu. Prof. Dr. Bustanul Arifin, pakar agribisnis menuturkan, di hulu terjadi penurunan produksi sekitar 2,7% per tahun karena turunnya produktivitas dan alih fungsi lahan. Belum lagi, terlambatnya peremajaan dan penelitian bibit unggul.

Perlu Revolusi

Mengatasi kondisi demikian, Bustanul menyarankan, perlunya revolusi baik di sisi hulu (on farm) maupun hilir (off farm). Perlu program khusus rehabilitasi teh nasional untuk meningkatkan produksi dan perbaikan mutu. Alih fungsi lahan perkebunan teh bagi kepentingan lain harus dipersulit,” ucap Guru Besar Universitas Lampung tersebut.

Program rehabilitasi teh, sambungnya, perlu kredit berbunga rendah dengan masa pengembalian jangka panjang karena produksi teh perlu waktu lebih lama. Termasuk penataan manajemen perusahaan guna mengefisienkan produksi teh.

Menurut ekonom senior Indef ini, program tersebut lebih mudah dilakukan pada komoditas teh dibandingkan kopi lantaran hampir 100% dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Mudah bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola perusahaan, meningkatkan mutu dan memberikan kredit. Dengan adanya sumber dana murah, perusahaan perkebunan bisa fokus pada peremajaan, perbaikan mutu, peningkatan produktivitas dan penelitian tentang bibit unggul serta perbaikan mutu,” urainya.

Revitalisasi Teh

Di lain kesempatan, Rusman Heryawan, Wakil Menteri Pertanian menjelaskan, pemerintah mendorong peningkatan produksi melalui program revitalisasi teh dengan alokasi dana mencapai Rp48 miliar. Kegiatan ini menyasar perkebunan rakyat untuk mendongkrak produksi dan mutu teh yang dihasilkan.  Sebab, produksi teh perkebunan rakyat cukup rendah, sekitar 700 kg teh kering/ha/tahun, sedangkan produksi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) mencapai 1.500-1.700 kg/ha/tahun. Sementara, produksi teh di Kenya misalnya, jauh lebih tinggi,  3.000-5.000 kg/ha/tahun.

Agus Supriyadi, Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri – Dalam Negeri, Dewan Teh Indonesia (DTI) menerangkan, produksi teh rakyat paling rendah, hanya 25% dari total produksi nasional. Sementara dari sisi kontribusi areal tanamnya paling tinggi, mencapai 47% dari luas perkebunan teh nasional. Dan jumlah pelaku usaha perkebunan teh rakyat mencapai 250 ribu rumah tangga. Produksi teh PTPN lebih dari 50% dengan kontribusi luasan area kebun sebesar 30%. Sedangkan produksi teh swasta sekitar 23% dan area tanamannya 22%.      

Menurut Rusman, pelaksanaan revitalisasi teh tidak dengan penambahan luas areal tanam tetapi meningkatkan kualitas teh secara intensifikasi melalui pergantian atau peremajaan tanaman. Serta peningkatan kapasitas kelembagaan petani untuk meningkatkan kualitas SDM. Revitalisasi teh secara tidak langsung juga berfungsi membendung importasi teh yang semakin membesar. “Sekarang ini kita nggak bisa melarang teh masuk (impor). Ya jawabannya dengan kualitas. Kita tingkatkan kualitas teh supaya bisa dibeli oleh bangsa kita sendiri,” tandas Rusman.

Dalam revitalisasi teh, imbuh Agus, DTI mengusulkan beberapa kegiatan yang harus dilakukan untuk mendorong kebangkitan industri teh nasional yang disebut Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN). Yaitu, peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi perkebunan teh rakyat; peremajaan pabrik pengolahan, penerapan standar kualitas teh, pengaturan impor, dan pemberian insentif ke pelaku bisnis yang mengekspor teh bernilai tambah. “Sri Lanka itu melarang ekspor dalam bentuk bulk tea (curah). Semua ekspornya harus dalam bentuk kemasan sehingga nilai tambahnya terjadi di dalam negeri,“ ulasnya.

Pemetaan Wilayah

PTPN VIII selaku perusahaan negara yang salah satu usahanya bergerak dalam industri teh juga melakukan revitalisasi internal untuk meningkatkan mutu dan produktivitas. Menurut Dadi Sunardi, Direktur Utama PTPN VIII, luas perkebunan teh PTPN VIII sekitar 26 ribu ha dari luas lahan perkebunan sebesar 114 ribu ha. “Produksinya 30 ribu ton setahun sekarang ini. Tapi sasaran kita 50 ribu ton. Dibandingkan tahun kemarin ada peningkatan, sudah mulai bergerak maju lagi,” paparnya.

Lebih Dadi mengatakan, teh termasuk tanaman yang berasal dari daerah beriklim sedang sehingga ketika ditanam di daerah beriklim tropis, penanamannya harus di dataran tinggi. Karena itu, PTPN VIII mulai memetakan wilayah-wilayah yang cocok ditanami teh. Ia mengakui luas lahan teh di PTPN VIII memang mengalami penurunan akibat pemindahtanaman teh ke lahan dataran tinggi yang menyesuaikan kecocokan lingkungan budidaya teh. “Produktivitasnya akan lebih cepat tinggi. Itu peningkatannya sangat signifikan,” tukasnya. 

Untuk mendukung pemasaran teh, PTPN VIII juga lebih gencar bergerak di sektor hilir. “Kita melakukan ekspor langsung ke pembeli luar. Kita juga sedang merancang agar bisa ekspor dalam bentuk brand atau kita akan bangun pabrik ke luar untuk brand Walini,” ujar pria kelahiran Sumedang, Jabar, 3 Maret 1961 itu.

Selama ini PTPN VIII sudah melakukan ekspor bulk tea ke negara-negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, Hongkong, Taiwan; negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika. “Sementara ini Eropa paling besar,” pungkas Dadi.

Jadi, mari berbenah!

Windi Listianingsih, Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain