Daripada mengobati ayam yang sakit kena aflatoksikosis, mendingan mencegat sumber toksin mulai dari bahan baku pakannya.
Demikian prinsip Ferry Purnama, Ph.D., nutrisionis PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk., salah satu pabrik pakan ternak terbesar di Indonesia, ketika berbincang tentang penanganan mikotoksin (racun cendawan) dalam pakan ternak. Bahkan, saking besarnya perhatian terhadap kualitas jagung, pihaknya berani berinvestasi besar-besaran untuk mendirikan pengering jagung (corn dryer). Pengering ini didirikan di sentra-sentra jagung yang produksinya bakal diserap Japfa sebagai bahan baku utama pakan unggasnya.
Tak berhenti di situ. “Kita juga terapkan QC (kontrol kualitas) ketat sekali. Kalau kita bicara jagung lokal, masih ada (kandungan aflatoksin) 100-150 ppb. Riset kita banyak membuktikan itu. Karena itu kita ayak jagung yang kita dapat dari pemasok/petani. Itu karena concern kita lebih baik mencegah daripada mengobati symptom (gejala aflatoksikosis),” ujar Ferry kepada AGRINA melalui telepon.
Lebih jauh Ferry menjelaskan, pengayakan jagung dapat memilah biji utuh dari biji pecah, biji berjamur, juga kotoran. “Kenapa kita ayak? Aflatoksin itu datang dari biji pecah dan kotoran. Nah, kalau ini kita singkirkan, itu sudah reduce aflatoksin 65%. Jagung utuh lalu kita grading lagi menjadi A, B, dan C. Kelas C ini kita treatment lagi aflatoksinnya,” ulas nutrisionis yang sudah menjalani profesinya selama 21 tahun tersebut.
Di samping bahaya aflatoksin, biji jagung yang rusak juga mengandung lebih sedikit energi. Jagung utuh dan segar mengandung 3.300 kalori, sedangkan yang pecah dan tidak segar bisa-bisa tinggal 1.800 kalori. Ini jelas harus diperhitungkan dalam meracik pakan.
Ancaman si Toksin
Menurut A. Harris Priyadi, Country Manager PT Trouw Nutrition Indonesia, produsen imbuhan pakan, mikotoksin yang paling banyak ditemukan di Indonesia dalam bahan baku pakan, khususnya jagung, adalah aflatoksin. Toksin ini terutama dikeluarkan oleh cendawan Aspergillus flavus. Kondisi lingkungan di negeri kita yang tropis memang sangat cocok untuk pertumbuhan cendawan ini. Misalnya, suhu udara 20o-35oC, kelembapan udara tinggi di atas 80%, dan pH netral. Celakanya, aflatoksin ini bersifat stabil, tahan pemanasan, tidak bisa dikeluarkan, dan bertahan dalam tubuh ayam secara akumulatif.
Mengapa aflatoksin harus dikendalikan? “Dampaknya bagi ayam bermacam-macam. Yang kena organ vital, seperti hati, pankreas, dan limpa. Kalau bicara hati saja, ini ‘kan organ pencernaan, mula-mula mengalami pembengkakan tapi setelah kronis menjadi susut (atropi). Kalau organ pencernaan terganggu, ya pertumbuhan terhambat. FCR-nya (konversi pakan) besar,” urai Harris saat menerima AGRINA di kantornya, Kota Industri 2100 Cikarang Barat, Bekasi, Jabar.
Sementara itu, Lulusno Dihardjo, Sales Manager PT Ceva Animal Health Indonesia menambahkan, dampak cemaran mikotoksin dalam pakan dirasakan peternak dengan kacamata yang praktis saja. “Mereka lihat biasanya ayam umur 30 hari, bobotnya 1,3 kg bisa dipanen. Ini kok nggak sampai dan ayam gampang sakit?” ucapnya menirukan perkataan peternak. Sementara pada ayam layer, tampak lebih pucat, mencret (wet dropping), kualitas kerabang telur tidak bagus, dan produksi telur tidak maksimal.
FCR yang seharusnya 1,6 meningkat menjadi 1,65 akan mengakibatkan peternak membutuhkan lebih banyak pakan berarti biaya produksi meningkat. Tambahan lagi, dalam waktu pemeliharaan yang sama, total bobot ayam hasil panen kurang dari target. Ujung-ujungnya, hasil penjualan berkurang. Rugilah peternak.
Menimpali ucapan kolega kantornya, Ayatullah M. Natsir, “Mikotoksin juga menyebabkan imunosupresi (menekan kekebalan tubuh), jadi kalau saat itu kita melakukan vaksinasi dengan vaksin sebagus apapun tidak efektif.” Walhasil, tingkat kematian meningkat. Ini jelas bisa menjatuhkan reputasi produk vaksin. Ayat, demikian sapaan Technical & Marketing Manager Ceva itu, menegaskan, bisnis utama Ceva adalah vaksin. Namun, karena toksin bisa membuat kerja vaksin tidak maksimal, maka pihaknya juga menaruh perhatian besar terhadap mikotoksin.
Tiga Faktor
Risiko ayam terhadap bahaya aflatoksin, menurut pandangan Harris, cenderung kian besar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu kondisi genetik ayam, penyakit, dan bahan baku pakan. “Pertama, ayamnya sendiri. Ayam broiler sekarang umur 24 hari sudah sekilo. Dulu waktu saya kuliah, ya 35 hari. Jadi, ayam sekarang masih bayi masih rentan sekali. Kalau kena aflatoksin, pencernaan terganggu, pertumbuhan terganggu, FCR meningkat.”
Kedua, penyakit semakin banyak. Sementara aflatoksin terbukti mengganggu kinerja sel-sel limfosit penghasil antibodi sehingga sekarang ayam lebih rentan. Sementara broiler harus menghasilkan daging sekaligus membentuk imunitas. Kalau kena aflatoksin, orang berpikir itu vaksinnya yang kurang bagus. Ganti vaksin masih begitu juga. Ternyata jagungnya mengandung aflatoksin. Jadi, ayam nggak bisa santai, harus memproduksi respon antibodi secepatnya.
Ketiga, kualitas bahan baku pakan. “Situasi lingkungan sekarang yang dipengaruhi global warming dan kebutuhan jauh meningkat, kadang membuat peternak dan pabrik pakan nggak bisa memilih. Ayam ‘kan nggak bisa disuruh puasa,” ucap alumnus Fakultas Kedokteran Hewan IPB sembari tertawa. Apalagi, menurut Lulus, sejak akhir tahun lalu, pabrikan pakan menghadapi masalah kualitas bahan baku yang kurang bagus. Pantauan staf Ceva di lapangan mengindikasikan dengan adanya kasus-kasus aflatoksikosis di kalangan peternak masih saja terjadi.
Ragam Penangkal
Melihat potensi bahaya aflatoksin bagi industri pakan ternak, produsen vaksin, dan peternak, maka berkembanglah produk-produk untuk menangkalnya. Menurut Ayat, ada tiga konsep produk. Spektrum sempit bersifat hanya mengikat toksin (toxin binder) dalam pakan. Diharapkan, alam kondisi terikat, toksin akan keluar lagi dari tubuh ayam melalui kotoran. Konsep kedua, spektrum luas, selain mengikat toksin, juga mengandung bahan untuk menekan pertumbuhan si cendawan penghasil toksin.
Ayat mencontohkan produk Ceva, yaitu Mycotox NG. Kandungannya terdiri dari tiga komponen. Pertama, pengikat anorganik yang sifatnya hanya mengikat toksin. Kedua, thymol yang bermanfaat menekan pertumbuhan cendawan dan mengontrol produksi toksinnya dengan merusak enzim pada cendawan, terutama Aspergillus spp. dan Fusarium spp. Ketiga, micronized yeast mengandung Vitamin B dan oligosakarida untuk mengatasi toksin yang terlewat dan meningkatkan kekebalan.
Sementara itu Trouw Nutrition mengandalkan Toxo MX dan Toxo XL. Menurut Harris, keduanya mengandung mineral pengikat bentonite. Mineral ini hanya terdapat dalam tanah liat di Amerika Serikat dan Perancis. Yang Toxo XL mengandung tambahan betaglukan. Betaglukan ini diambil dari kulit yeast bagian tengah. “Orang sudah melihat toksin sebagai penurun performance dan juga men-depress immunity. Imunitas sudah menjadi kebutuhan. Nah untuk toksin yang lolos, ya ada betaglukan yang memproteksi sel imun. Jadi, selling point Toxo MX, daya ikat terhadap aflatoksinnya paling kuat. Ikatan ini ‘kan bisa terlepas. Berdasarkan riset, ada produk yang kuat pada pH asam, pada pH basa terlepas lagi. Ada yang kuat pada pH basa, tapi pada pH asam belum bekerja. Padahal usus ayam di bagian depan asam, tengah netral, dan belakang basa. Produk kita ini ikatannya stabil pada berbagai pH,” promosinya.
Keputusan Penggunaan
Beragam produk itu member pilihan kepada nutrisionis pabrik pakan dan peternak, khususnya petelur yang mengandalkan pakan hasil racikan sendiri (self-mixing). Tentunya keputusan dan pilihan produk yang mereka ambil tak terlepas dari hitung-hitungan ekonomis.
Ferry misalnya, jelas berhitung cermat untuk menggunakan produk yang harganya berkisar US$2-US$4/kg/ton pakan. “Toxin binder itu ‘kan harganya US$2/kg untuk satu ton pakan. Kalau kita produksi pakan 1 juta ton, lha itu ‘kan butuh US$2 juta. Karena mahal itulah kenapa kita jagain dari yang paling awal, yaitu jagungnya. Dalam silo, jagung yang sudah kita grading dengan kadar air 14% tadi diperlakukan dengan antijamur. Kita sampling lagi secara cermat. Kita nggak mungkin juga sampling semua jagung itu. ‘Kan biaya sekali tes saja Rp300 ribu. Nah, untuk toksin yang terlewat tidak terikat, kita pakai aditif berbahan asam propionat,” bebernya sembari menegaskan, nutrisionis pabrik pakan harus tahu persis profil bahan baku yang digunakan sehingga bisa memutuskan dengan tepat.
Dosis umum pemanfaatan berbagai penangkal aflatoksin tadi 1-5 kg/ton pakan, tergantung besarnya ancaman. “Kalau yakin bahan bakunya aman dari aflatoksin, nggak pakai juga nggak apa-apa. Kalau ada 100 ppb, untuk pengikat dosisnya 1 kg/ton pakan. Untuk 200 ppb, ya bisa 2 kg/ton pakan. Pokoknya ya tergantung ancaman,” saran Harris.
Mengenai anjuran untuk peternak, Ferry menyatakan, sebaiknya mereka mempertimbangkan kondisi tempat penyimpanan pakan dan jagung. Jika lembap, sebaiknya kemasan pakan ditaruh di atas pallet dan tidak menyimpan terlalu lama.
Peni Sari Palupi, Untung Jaya