Minggu, 12 Mei 2013

LIPUTAN KHUSUS : Terobosan untuk Si Capit Panjang

Karena permintaan yang tinggi, suplai udang galah pun selalu dinanti. Terobosan budidaya pendongkrak produksi patut diikuti.

Siapa tidak tergiur menyantap Si Bongkok bertubuh bongsor itu? Rasanya yang gurih dan manis dengan postur tubuh jumbo membuat ketagihan para penggemar seafood.

Tidak mengherankan jika restoran penyaji menu si capit panjang selalu diramai dikunjungi penikmat udang. Salah satunya adalah resto Mang Engking, spesialis penyaji menu udang galah atau resto Gubug Udang, penyaji menu masakan udang di kawasan Cibubur, Jakarta Timur yang selalu kebanjiran pelanggan. Ritel modern pun kerap menjual udang galah segar dalam jumlah terbatas. 

Sayangnya, suplai udang galah tidak selancar permintaan yang mengalir deras. Gubug Udang misalnya, sehari-hari memerlukan 30 kg udang galah. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu, kebutuhannya melonjak  hingga 100 kg.

Terbatasnya stok komoditas air tawar ini memaksa pelaku usaha resto mengganti dengan udang jenis lain. Selain terjadi rebutan bahan baku, harga jual udang galah pun cukup tinggi, sekitar Rp65 ribu–Rp70 ribu/kg. Di Sukabumi, Jawa Barat, misalnya, harga di level pembudidaya sebesar Rp60 ribu/kg.

Tiga Terobosan

Budidaya udang galah memang cukup sulit lantaran sifat kanibalnya yang cukup tinggi dan ketersediaan benihnya pun masih terbatas. Meski begitu, menurut Ir. H. Sarifin, MS., Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar  (BBPBAT) Sukabumi, udang galah sangat prospektif dikembangkan sebagai komoditas andalan air tawar mengingat harga jualnya menggiurkan. Selama ini budidaya udang galah sudah dilakukan masyarakat secara tradisional dengan padat tebar rendah, antara 1-5 ekor/m2.

Sekarang budidaya pemilik nama ilmiah Macrobrachium rosenbergii ini semakin mudah dengan terobosan teknologi yang dikembangkan Sarifin dan timnya. Setidaknya tiga terobosan teknologi budidaya udang galah sukses dikembangkan pria yang sebelumnya menjabat Kepala Balai Budidaya Laut Lombok ini, yaitu Ugadi, Ugamedi (Uggadi), dan udang galah sistem intensif.

Ugadi kependekan dari udang galah – minapadi, yakni budidaya terpadu antara udang galah dengan padi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah. Ugamedi atau Uggadi singkatan dari udang galah, gurame, dan padi, yaitu budidaya terpadu antara udang galah, gurami, dan padi guna meningkatkan produktivitas lahan sawah. Baik Ugadi maupun Ugamedi diaplikasikan pada lahan sawah. Sedangkan udang galah sistem intensif dilakukan di kolam budidaya dengan padat tebar tinggi, sekitar 50 ekor/m2.

Sementara itu, permasalahan benih udang galah diatasi dengan membentuk jejaring pemuliaan benih. BBPBAT Sukabumi akan mengirimkan calon induk udang galah berumur 45 hari untuk balai benih di daerah. Selanjutnya, balai benih itu akan memproduksi benih atau menghasilkan tokolan. “Ini akan lebih bagus karena teknologinya sangat mudah. Ini juga bisa dikembangkan di setiap balai. Syarat kuncinya, saat mijah perlu air payau satu bulan, salinitas antara 10-15 promil,” terang Sarifin.

Ugadi dan Ugamedi

Awalnya, Ugadi diterapkan pada lahan seluas 4.000 m2 yang terbagi dalam empat petak, masing-masing berukuran 1.000 m2 dengan padat tebar udang 5-10 ekor/m2. Kelangsungan hidupnya (survival rate, SR) mencapai 70%.

Menurut Haryo Sutomo, perekayasa di BBPBAT Sukabumi, penebaran 5.000 ekor tokolan (udang galah ukuran 6-8 gr/ekor) di lahan 1.000 m2 menghasilkan 100 – 150 kg udang size 30 dalam waktu 3 bulan pemeliharaan. Jika dikalikan harga jual Rp60 ribu/kg, 100 kg udang galah akan bernilai Rp6 juta. Kalau dipelihara pada lahan seluas satu hektar, hasil panen udang galahnya saja mencapai Rp60 juta – Rp90 juta. Selain itu, panen padi yang dihasilkan sama dengan lahan non-Ugadi meskipun lahannya berkurang untuk memelihara udang. Produksi gabahnya 700 kg per 1.000 m2.

Sementara Ugamedi pada luasan lahan yang sama, udang ditebar sebanyak 10 ekor/m2 dengan penambahan gurami umur satu bulan (seukuran kuku) sebanyak 2 ekor/m2. Gurami dan udang galah dibudidaya selama 3 bulan dan dipanen bersamaan. Gurami dipanen pada ukuran silet/rokok, sedangkan udang galah berukuran 30-35 ekor/kg.

Pada sistem Ugamedi, SR udang dan gurami mencapai 70%. Udang galah yang dipanen sekitar 100-200 kg/siklus, sementara gurami berjumlah 1.400 ekor/siklus. Harga beli benih gurami Rp500/ekor dan harga jual panen sebesar Rp3.000-Rp5.000/ekor.      

Mengolah lahan Ugadi dan Ugamedi sama seperti mengolah sawah pada umumnya. Hanya saja, varietas yang ditanam harus tahan genangan air sejak awal tanam hingga panen, seperti Inpari 13 atau Inpara 5. Lahan dibuatkan saluran keliling (lebar 100 – 200 cm, kedalaman 50 cm), pematang (tinggi 100 cm, lebar dasar 100 cm, lebar atas 75 cm), dan kobakan (100 cm x 100 cm x 20 cm) yang dilengkapi pipa air. Kemudian, batang bibit padi ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pupuk diberikan saat awal saja, sebanyak 1,5 kg NPK tiap 100 m2.

Sewaktu padi sudah berumur 10 hari, air mulai dimasukkan ke sawah. Tinggi air mengikuti tinggi padi dan dipertahankan hingga 20 cm saat padi dipanen. Lalu, benih udang dan gurami ditebar ke sawah. Karena udang galah bersifat teritorial, untuk memperluas daerah kekuasaan sekaligus sebagai tempat berlindung (shelter), sebarkan daun kelapa di kobakan. Udang diberi pakan pellet berprotein 30%  sebanyak dua kali sehari. Dosisnya 4% pada bulan pertama, 3% bulan kedua, dan 2% bulan ketiga. Sedangkan gurami cukup memangsa hama padi berupa jentik serangga dan ulat. Setelah dipelihara selama 3 bulan, udang galah dan gurami siap dipanen.

Tertantang mencoba?

Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain