Selasa, 30 April 2013

LIPUTAN KHUSUS : Budidaya Tepat, Produksi Meningkat

Demi mencapai produksi maksimal, diperlukan aplikasi tepat mulai pembibitan, pemeliharaan tanaman, yaitu pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.

 Dengan mengusung visi 35/26, yang bermakna produktivitas 35 ton dan rendemen 26%, industri sawit terus berbenah untuk bisa memenuhi target produksi 34 juta ton crude palm oil (CPO) pada 2020. Sejauh ini, perkembangan industri sawit terbilang menawan. Indonesia kini menjadi raja dari “emas cair” dunia itu. Berdasarkan riset Rabobank 2012, Indonesia berkontribusi pada pemenuhan 48% total volume minyak sawit dunia, sedangkan Malaysia hanya menyumbang 37%.

Persentase ini diperoleh dari 8,992 juta ha lahan, dengan produksi 23,096 juta ton CPO. Menurut Statistik Perkebunan Indonesia, luas lahan perkebunan rakyat pada 2011 sekitar 3,752 juta ha dengan produksi 8,797 juta ton CPO. Sedangkan perkebunan swasta seluas 4,561 juta ha dengan produksi 12,253 juta ton. Sementara luas perkebunan negara berkisar 0,678 juta ha dengan produksi 2,045 juta ton.

Guna memenuhi target 34 juta ton itu, jelas kita tak bisa terus-menerus mengandalkan ekstensifikasi. Apalagi, saat ini berembus kabar, moratorium hutan yang segera berakhir pada 20 Mei 2013 bakal diperpanjang. Kini, intensifikasi adalah solusi. Menurut Dr. Ir. Herdrajat Natawidjaya, M.Sc., Direktur Tanaman Tahunan, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), “Intensifikasi itu berupa pemberian agro input yang baik, mulai dari pembibitan, pemupukan,  dan pemeliharaan tanaman.”

Bibit

Ditengarai, 40% bibit yang ditanam di perkebunan rakyat tidak bersertifikat alias palsu. “Dari 3,752 juta ha dikurangi 1 juta ha (program revitalisasi yang dilakukan Kementan) yang sudah diperbaiki, berarti tinggal 2,752 juta ha. Nah, 40% dari 2,752 juta ha itu tidak bersertifikat atau benih palsu yang harus diganti,” hitung Ir. Murdwi Astuti, M.M., Kasubid Budidaya Tanaman Tahunan, Ditjenbun, Kementan.

Satu kerugian jika menggunakan benih palsu sudah jelas, yaitu hanya 50% populasi tanaman (tenera) yang berproduksi dengan baik. Artinya, terjadi penurunan produksi potensial sebesar 50%. Selain itu, buah dari pohon dura tidak diterima pabrik karena bercangkang tebal dan hasil minyaknya kurang. Pohon pisifera tidak berbuah dan terjadi kehilangan hasil sebanyak 250 ton tandan buah segar (TBS)/ha selama 30 tahun umur tanaman. “Di lapangan, pesifera mudah gugur, dia tak jadi buah. Yang jadi buah yang cangkang tebal (dura),” tegas Tuti.

Guna memperbaiki kondisi bibit petani itu, “Beberapa kegiatan kami tahun ini, antara lain, mengadakan penggantian bibit palsu dengan bibit bersertifikat. Kami selalu mengingatkan petani untuk membeli bibit dari sumber-sumber yang dianjurkan,” beber Herdrajat. Memang tidak banyak, tahun ini hanya ada 1.000 ha lahan yang bakal direvitalisasi.

Saat ini, benih bersertifikat dibandrol Rp6.000– Rp9.000/butir. Terdapat 10 produsen yang sekarang tergabung dalam Forum Komunikasi Produsen Benih Sawit Indonesia (FKPBSI). Yaitu, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Socfindo, London Sumatera (Lonsum), Bina Sawit Makmur (Sampoerna Agro), Dami Mas (Sinar Mas Agro Resources and Technology), Tunggal Yunus Estate (Asian Agri Group), Tania Selatan (Wilmar International), Bakti Tani Nusantara, Sarana Inti Pratama (Salim Grup), dan Sasaran Eksan Mekarsari (Mekarsari).

Mereka mampu memproduksi 230 juta kecambah/butir tahun ini. Tetapi, berdasarkan hitungan, benih yang akan diproduksi tahun ini sejumlah 174 juta kecambah. “Di kebun sawit, 200 butir untuk satu ha. Jadi, 174 juta itu untuk 820 ribu ha. Benih itu untuk perluasan, juga termasuk replanting,” terang Tuti.

 Pupuk

Selain benih, pupuk amat penting dan tak boleh terlupakan. “Bila sama sekali tidak mupuk, tahun pertama memang poduksinya tak terlalu terpengaruh. Tetapi, dalam tiga tahun sudah pasti 30%-40% terpotong produksi,” ucap Pahala Simanjuntak, S.P., Sales Agronomist PT Meroke Tetap Jaya, distributor pupuk di Jakarta.

Secara umum, tambah Tuti, kebutuhan pupuk sawit untuk tanaman menghasilkan (TM) sebesar 6–10 kg/pohon. Dengan pupuk tunggal, sambung Pahala, “Untuk TM, KCl butuh 3 kg/tanaman tiap tahun, rock phosphate 1,5 kg/tanaman, urea 2,5–3 kg/tanaman, kieserit 1 kg/tanaman, dan borat 100 gr/tanaman setiap tahun.”

Pahala melanjutkan, “Yang kami segmenkan di sawit dan yang paling banyak dipakai adalah ESTA Kieser. Itu paling dikenal oleh pekebun. Tetapi, selain itu, kami punya yang namanya KCl Jerman. Kami juga punya Korn-Kali + B, ini gabungan antara KCl plus kieserit plus boron. Kelebihannya, kalau biasanya mereka aplikasi pupuk tunggal KCl dua kali, kieserit satu kali, dan borat satu kali. Dengan  pupuk ini, sekali aplikasi saja sudah selesai.”

Untuk pupuk NPK, PT Meroke memiliki YaraMila Palmae 13-11-21+2MgO+0,2B. Setiap butiran prill dari pupuk ini mengandung lima hara penting, yaitu N, P, K, Mg, dan B. Aplikasi YaraMila Palmae ini disesuaikan dengan umur tanaman, mulai 0,1 kg/tanaman untuk umur dua bulan, sampai dengan 2 - 2,25 kg/tanaman untuk umur 8-16 tahun.

Selain itu, PT Agricon juga punya NPK. Produk mereka ini diberi nama Rosasol. Rosasol terdiri dari empat jenis, yaitu Rosasol Green untuk pupuk yang tinggi N, Rosasol Red untuk pupuk yang tinggi K, Rosasol Orange untuk pupuk tinggi P, dan Rosasol Blue yang diperuntukkan bagi tanah latosol dengan kandungan NPK masing-masing 18-18-18.

“Cara penggunaannya ada dua, yaitu disemprot atau dengan dikocor. Kalau semprot, artinya hanya dua kali penyemprotan masing-masing 2,5 gr. Tetapi kalau dikocor, aplikasi satu kali di awal,” jelas Djoko Sunarno, Product Manager of Herbicide & Speciality Product PT Agricon. Untuk satu hektar dibutuhkan satu sampai dua botol kemasan berukuran 500 gr. Dengan kata lain, satu tanaman hanya membutuhkan 5 gr.  

“Jika Rosasol digunakan di pembibitan akan membuat bibit tumbuh lebih cepat, lebih kokoh, serta daun lebih hijau dan tebal. Itu dapat terjadi karena Rosasol tidak hanya sebagai pupuk tetapi juga suplemen bagi tanaman,” lanjut Djoko. Hal tersebut dapat mempersingkat waktu pembibitan. Jika biasanya bibit dipindah ke lapangan umur 9 – 12 bulan, dengan Rosasol bisa 6 bulan.

OPT

Terkait organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya penyakit, “Nomor satu itu ganoderma,” kata Dr. Agus Susanto, Ketua Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman. Sedangkan hama paling utama adalah Oryctes rhinoceros (kumbang tanduk), ulat api, ulat kantong untuk daerah-daerah yang sudah ditanami kelapa sawit. Untuk daerah pengembangan, babi hutan cukup mengganggu.

Daerah endemis ulat api terletak di Ogan Komering Ulu (OKU), Riau, dan daerah Sumatera Utara. “Bila terserang dalam dua minggu daunnya habis,” kata Djoko. Keberadaan hama ini bisa menyebabkan daun sawit hilang sebesar 46% sehingga hasil pun turun sebesar 10%-20%.

Untuk mengendalikannya, PT Agricon mengandalkan Takumi. Pengendalian melalui cara fogging  dengan dosis 225 gr per alat fogging,” lanjut Djoko. Satu alat fogging itu bisa melayani dua hektar kebun artinya mampu mengendalikan ulat pada 300 tanaman.

OKU, Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan juga merupakan daerah endemis ulat kantong. Untuk mengendalikannya, PT Agricon meluncurkan Spontan. Aplikasinya dengan melarutkan 7,5 ml Spontan ke dalam 7,5 ml air. Harus dilarutkan, kalau tidak dilarutkan bisa kuning daunnya.

Selain serangga, hama yang juga menghantui petani sawit adalah tikus. “Untuk mengendalikan tikus kami memiliki rodentisida Ratgone,” promosi Bayu Nugroho, Marketing Manager PT Agricon. Bahannya dari beras pecah kulit asli. Selain itu, bentuknya yang kotak sehingga mudah dipegang tikus dan warna biru terangnya menjadi favorit tikus. Satu kilo Ratgone berisi 300-320 kotak, yang artinya bisa digunakan untuk 300-320 tanaman sawit. Dan hasil uji lapangan, Ratgone paling lama hancur dibandingkan rodentisida lain.

Tidak hanya OPT berupa hama, ada pula gulma pada kebun kelapa sawit yang dapat mengganggu produktivitas panen. “Adanya gulma pada piringan dapat menurunkan hasil produksi sebesar 20%-80%. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kompetisi dalam menyerap unsur hara, air dan cahaya antara tanaman pokok dengan gulma,” terang Andi Sugiri, Crop Manager for Plantations PT Bayer Indonesia.

Untuk piringan, Agricon memiliki Trabas yang relatif aman pada sawit. Bahkan, Trabas pun digunakan untuk mengendalikan rumput teki di daerah rawa. “Purun (teki di Kalimantan) pakai glifosat tak mati, mereka yang mengarah ke RSPO gunakan ini (Trabas),” pungkas Djoko.

Bayer pun telah meluncurkan herbisida baru sebagai senjata untuk mengendalikan gulma-gulma nakal tadi. “Herbisida Becano adalah herbisida pre-emergence yang bisa mengendalikan gulma daun sempit dan daun lebar. Gulma utama seperti Asystasia sp,  Borreria sp, Clidemia hirta, Ageratum conyzoides, Paspalum conjugatum, Cyperus kylingia dapat dikendalikan dengan Becano,“ lanjut Andi.

Becano, herbisida baru ini mengandung Indaziflam yang juga terbilang bahan aktif baru.  Menjadi alat  baru manajemen pengendalian gulma untuk mengantisipasi resistensi dan suksesi gulma terutama terhadap herbisida yang mempunyai mode of action terhadap EPSP synthase inhibitor (Glifosat), ALS inhibitor (Metsulfuron metil), PSII inhibitors (Atrazin).

“Dosis aplikasi Becano sangat rendah, yaitu 100 ml/ha.  Relatif ramah terhadap lingkungan bila digunakan sesuai anjuran dan kompatibel dengan berbagai cara aplikasi, baik menggunakan volume tinggi maupun volume rendah. Selain itu, Becano mampu mengendalikan gulma lebih lama. Lama pengendalian gulma bisa mencapai 8  bulan pada tanaman menghasilkan (TM). Pengaplikasian hanya sekali dalam setahun diikuti oleh rotasi kedua sesuai estate practice,” papar Andi.

Ratna Budi W, Untung Jaya


 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain