Senin, 15 April 2013

LIPUTAN KHUSUS : “Mesin Pemotong Rumput” di Lahan Sawit

Sistem integrasi sapi-sawit bisa jadi solusi penyediaan bakalan yang kompetitif. Tapi, diperlukan manajemen yang tepat agar semua senang.

Harga daging yang tetap pada kisaran Rp90 ribu-Rp100 ribu mungkin merupakan indikasi kurangnya bakalan atau bisa jadi bukti bahwa manajemen bakalan Indonesia masih tidak efisien. Selama ini, kondisi tersebut tidak terlihat karena kita masih mendapat dukungan Australia. Sayangnya, sampai berita ini diturunkan, peraturan menteri pertanian mengenai betina produktif untuk meningkatkan bisnis pembiakan belum menetas juga.

Industri sapi tentu tak bisa berdiam diri, 245 juta jiwa mulut butuh daging 2,2 kg/kapita/tahun. Dengan konversi dari sapi hidup ke daging sebesar 34%, maka angka itu dapat dipenuhi dengan memotong 3.963.236 sapi berbobot 400 kg. Sapi sejumlah itu harus ada tiap tahun.

Angka tadi berdasar tingkat konsumsi hanya 2,2 kg/kapita/tahun. Tapi, kata Handy Tanusaputra, Direktur Utama PT Kalteng AndiniPalma Lestari Cattle Breeding (PT KAL), perusahaan pelaku integrasi sapi-sawit di Kalimantan Tengah. “Kalau dinaikkan konsumsinya, otomatis kebutuhan sapinya akan banyak. Kalau mau  7 kg seperti Malaysia, Australia juga tak akan sanggup suplai.”

Salah satu solusi mendapatkan bakalan dengan harga bersaing adalah melalui integrasi sapi dan sawit (AGRINA, Edisi 199). Menurut data statistik perkebunan 2010-2012, saat ini lahan sawit kita seluas 9,2 juta ha, dengan pembagian 6,67 juta ha untuk Tanaman Menghasilkan (TM), 2,5 juta ha Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), dan sisanya Tanaman Rusak (TR).

Kebutuhan makan bagi seekor sapi tentu sangat bervariasi, tergantung dari jenis sapi, jenis kelamin, umur, dan lain sebagainya. Menurut Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, “Bila pemeliharaan sapi dilepas, satu hektar bisa menampung dua sampai tiga sapi lokal. Namun, kalau jenis sapinya Brahman Cross, satu hektar hanya direkomendasikan menampung satu sapi.” Untuk mudahnya, bila satu sapi membutuhkan lahan satu hektar, maka lahan sawit Indonesia mampu menampung 6,7 juta sapi.

Integrasi

Pada dasarnya, integrasi sapi sawit ini bisa diarahkan untuk pembiakan dan penggemukan. Kedua cara budidaya itu tentu memiliki perbedaan dalam hal manajemennya. “Untuk penggemukan, lebih efektif bila sapi dikandangkan,” kata Nursyamsa Setiawan, Cattle Operational Manager PT KAL.

Sedangkan sistem grazing atau merumput lebih diarahkan bagi pembiakan. Pasalnya, efisiensi biaya pembiakan sangat menentukan harga bakalan. “Sebelum kita coba di kebun sawit, kita breeding di kandang sudah akrobat. Pasti nombok,” beber Handy. Itu sebabnya, PT KAL mencoba mengaplikasikan integrasi sapi dan sawit.

Dan Juni 2011 lalu merupakan tonggak awal upaya integrasi sapi di perkebunan sawit PT Medco. Sebanyak 298 induk bunting jenis Brahman Cross didatangkan dari Australia ke Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. “Harganya US$1.100/ekor dalam keadaan hamil umur 3-7 bulan,” kata Handy. Sapi-sapi inilah yang pertama kali menjamah lahan PT Medco.

Dengan memanfaatkan rumput atau cover crop (tanaman penutup) dari lahan sawit diharapkan bisa menekan biaya produksi bakalan. “Cover crop-nya lahan sawit bisa berupa (rumput) paspalum, bisa juga leguminosa (kacang-kacangan). Kemarin kita tanam leguminosa habis dimakan, lalu tumbuh paspalum. Paspalum itu makanannya (sapi). Sekarang hampir 90% cover crop-nya paspalum,” tambah Nursyamsa.

Pasalnya, lanjut Nursyamsa, paspalum itu memproduksi biji. Jadi, begitu dimakan dan dikeluarkan melalui feses akan tumbuh lagi. Dalam satu hektar, paspalum mampu menghasilkan 0,23-0,45 ton bahan kering. Berdasarkan hasil analisis laboratorium Tatang M. Ibrahim, yang dipaparkan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010, paspalum mengandung 16% protein, 27% serat kasar, 6-7% lemak, 4,3 kkal/g energi, dan 83-84% kandungan bahan organik.

Yang pasti, timpal Yana Sofyan Panigoro, Presiden Director PT Api Metra Palma (Medco Agro, Medco Group), “Pengaruh adanya sapi dari segi fisik yang kelihatan berupa berkurangnya weeding cost (biaya pengendalian gulma).” Menurut Nur, pengurangan itu bisa mencapai 30% karena bahan kimia dan pemangkasan rumput dapat ditekan. Rumput dimakan semua oleh sapi.

Bila dihitung, lanjut Nur, “Kalau dulu biaya bahan kimia mencapai Rp600 ribu-Rp700 ribu/ha, sekarang bisa turun Rp300 ribu sudah lumayan.” Dengan adanya sapi di kebun sawit, biaya bahan kimia, terutama pestisida, turun tinggal Rp300 ribu-Rp400 ribu/ha.

Teknis Integrasi

Dalam pelaksanaan sistem grazing, wilayah jelajah sapi dibatasi dengan pagar berpindah yang dialiri listrik berkekuatan 12 volt. Tujuannya, mencegah hewan lain menerobos masuk kandang, dan membatasi pergerakan sapi pada tempat yang ditentukan.  Setiap hari kandang ini digeser ke petak selanjutnya.

Dalam pergerakan kandang diperlukan kerjasama yang baik semua pihak, baik perusahaan maupun pekerja sapi dan sawit. “Nanam dan mupuk dulu baru sapi lewat. Kalau dipupuk sebelum sapi lewat, mati dia. Makan urea segumpal saja mati,” papar Nur.

Berdasar aplikasi di lapangan, jumlah petak bisa bervariasi. Di Tawau, Malaysia, setiap siklus terdiri dari 62 petak. Sistem ini telah diikuti PT KAL. Jumlah berbeda diterapkan Departemen Sumberdaya Alam, Negara Bagian Northern Territory (NT), Australia. Mereka menjalankan strategi merumput yang terdiri dari 90 petak sampai kembali ke titik asal. Seumpama tiap petak terdiri dari 300 ternak, dan bila tiap ternak membutuhkan satu hektar lahan untuk menyokong kehidupannya, maka dibutuhkan lahan 300 ha. Dengan 62 petak, luas tiap petaknya 4,84 ha. Sedangkan untuk 90 petak, luasnya 3,33 ha.

Kerapatan tanam pun harus diperhatikan. Saat ini, jarak tanam yang diterapkan di kebun sawit PT Medco adalah 9 m x 9 m. “Saya bikin 9 m x 9 m saja ditawar sama beliau (Handy), bisa nggak dikurangi 30% sawitnya?” kata Yana dengan senyum terkembang.

Aplikasi wilayah jelajah sapi yang diterapkan PT KAL lebih luas. Di sana tiap ternak mendapatkan jatah 2,5 ha. Dengan jumlah sapi 298 ekor, masing-masing petak luasnya 12 ha. “Jadi, per petaknya 12 ha/hari. Setiap siklus bisa berkurang, karena ‘kan kita menghitung dari potensi rumputnya. Setelah dimasuki sapi, potensi rumput siklus  berikutnya tumbuh lebih baik, lebih homogen,” terang Handy.

Tiap petak diberi fasilitas penampungan air minum. Ini diberikan lantaran sapi membutuhkan air minum sebanyak 15% dari bobot badannya. Padahal, hijauan hanya memenuhi setengah kebutuhan pakan sapi. Satu ekor sapi dengan berat 350 kg membutuhkan 52,5 liter air. Bila hijauan mampu memenuhi setengah kebutuhan pakan sapi, maka air yang perlu disediakan peternak 26,25 liter. Karena satu petak dihuni 300 sapi, air yang perlu disediakan 7.875 liter.

Selain air, sapi pun perlu diberi asupan lain seperti garam dan mineral blok. “Untuk tambahan kita pakai limbah dari pabrik sawit, berupa sludge/lumpur sawit,” kata Handy.  Lumpur sawit merupakan salah satu produk samping pengolahan minyak kelapa sawit. Lumpur sawit ini mengandung 91,1% bahan kering, 11,1% protein kasar, 17% serat kasar, 12% ekstrak eter, 50,4% ekstrak bebas N, 9% abu, 0,70% kalsium, 0,50% fosfor, 45,0% TDN, dan 6,52% energi kasar (MJ/kg).

Tapi, ada beberapa syarat perlu ditegakkan guna melaksanakan sistem merumput di lahan sawit. Umur kebun minimal TM2 atau TM3, kalau TM1 (umur 4 tahun) tanaman sawit masih terlalu kecil. “Jangan sampai daunnya habis ikut dimakan sapi,” kata Yana.

Selain itu, tanah sebaiknya berupa tanah mineral. Jangan tanah gambut, banyak lubang, dan jurang, nanti terperosok. Sistem integrasi ini pun sebaiknya tak dilakukan pada sawit berumur 25 tahun ke atas (generasi kedua). Pasalnya, pada umur itu risiko penyebaran penyakit ganoderma oleh sapi lebih besar.

Hasil Menjanjikan

Dari 298 sapi yang didatangkan, sebanyak 276 bertahan hidup. Kini, sapi-sapi itu sudah berkembang biak. “Ada anaknya yang lahir abortus, ada yang mati dalam pemeliharaan. Sekarang jumlah anaknya 223 ekor, itu dari pejantan Australia,” kata Handy. Anakan ini terdiri dari 101 jantan dan 122 betina. Demi menambah populasi, pada Mei 2012 PT KAL memasukkan 10 pejantan. Kemarin, 9 Maret,  sudah ada 15 ekor yang lahir.

Untuk mencegah inbreeding (perkawinan sedarah), anakan jantan dan betina langsung dipisah. Nanti, bila anakan betina sudah memasuki dewasa kelamin, umur 1,5-1,8 tahun, dia dikawinkan. Sedangkan anakan jantan akan digemukkan dan dipotong. 

“Pemeliharaan betina (indukan) dari dibuntingi sampai menghasilkan feeder cattle (bakalan) untuk digemukkan itu  kurang-lebih 1.000 hari. Nah, kalau 1.000 hari mau cost Rp20 ribu/hari, biaya sudah Rp20 juta, kalau Rp15 ribu/hari sudah Rp15 juta. Padahal, untuk bikin Rp15 ribu tidak gampang,” ucap pria berkacamata itu.

Namun, dengan memanfaatkan limbah kebun sawit, ternyata harga yang diperoleh bersaing dengan Australia. “Kita punya cost tiap ekornya bisa di bawah Rp5.000/hari,” ungkap Nur.

Untuk mudahnya, satu ekor sapi menghabiskan Rp5.000/hari, dan pemeliharaan sapi dilakukan 1.000 hari, maka biaya yang ditanggung Rp5 juta. Angka 1.000 hari diperoleh dari 9 bulan masa kehamilan induk, ditambahkan biaya sapi sampai berumur 1,8 tahun, saat sapi siap menghasilkan lagi.

Harga ini sangat bersaing dengan Australia. Pasalnya, kata Handy, “Kalau impor sapi dengan harga Rp30 ribu/kg, dengan bobot 300 kg, berarti harganya kurang-lebih Rp9 juta.” Harga ini belum ditambah ongkos kirim dan penyusutan, biaya pakan di perjalanan, perizinan dan lain sebagainya.

Agar hasil optimal, Handy menyarankan setiap tahapan dipegang ahlinya. “Memelihara sapi itu mulai breeding, rearing, fattening, ada slaughtering, sebaiknya dipegang oleh bagian yang berbeda,” tambah Handy.

Selain sapi-sawit, sebenarnya Indonesia memiliki potensi tempat lain untuk integrasi. “Katanya, yang paling bagus untuk integrasi sapi adalah di Hutan Tanaman Industri (HTI) lamtoro gung. Pada prinsipnya, selama ada rumput bisa dimasukkan sapi,” pungkas Handy. Tertarik mencoba?

Ratna Budi Wulandari, Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain