Senin, 15 April 2013

LIPUTAN KHUSUS : Persiapan Tepat, Optimalkan Panen

Persiapan Tepat, Optimalkan Panen

Periode tanam jagung musim hujan (MH) hampir usai. Bagaimana evaluasi sementara ini dan apa yang perlu digenjot untuk meningkatkan produksi?

Tahun ini Kementerian Pertanian mengejar target produksi jagung sebanyak 19,8 juta ton dari areal tanam seluas 4,25 juta ha.  Diharapkan dari angka ini, yang dapat dipanen seluas 4,038 juta ha (ha) dengan produktivitas rata-rata 4,91 ton/ha.

Dari dua periode tanam musim penghujan, Oktober 2012 – Februari 2013, hasil pantauan sementara Badan Pusat Statistik, mengatakan, sasaran luas areal belum terpenuhi. Luas tanam jagung periode ini tercatat mencapai 2.201.450 ha. Angka ini lebih rendah 8,91% (215.370 ha) ketimbang realisasi rata-rata periode yang sama lima tahun terakhir.

Pun dibandingkan realisasi periode sama tahun lalu, luas areal tanam tahun ini menciut 6,7% (157.965 ha). Dibandingkan dengan sasaran luas tanam pada periode yang sama seluas 2.348.775 ha, masih kekurangan 147.325 ha. Dengan kata lain, luas tanam baru mencapai 93,73% dari yang ditargetkan.

Apapun penyebab kekurangan tersebut, para pemangku kepentingan perlu menyiapkan musim tanam berikutnya agar lebih baik sehingga hasilnya sesuai rencana. Ujung-ujungnya, importasi jagung yang tahun lalu mencapai hampir 1,9 juta ton (termasuk olahan) atau 1,518 juta ton khusus buat pabrik pakan ternak, paling tidak dapat ditekan. Syukur-syukur tak perlu impor.

Curah Hujan Tinggi

Pantauan AGRINA dari pedagang jagung sekaligus pemasok ke pabrik pakan dan peternak di Semarang, Jawa Tengah, minggu kedua April lalu sentra produksi di Pulau Jawa sudah usai panen. Proses pascapanen tengah berlangsung. “Sekarang ini yang masih ada panen di NTB, yaitu Sumbawa, Sumbawa Besar, Dompu, terus Sulawesi itu di Luwuk, Gorontalo, juga Tojo Una-una,” papar Ibar Santoso, pedagang itu, saat dikonfirmasi melalui telepon.

Sementara itu, pelaku bisnis benih yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara, mengabarkan, masa tanam petani di sana mundur. “Di sentra produksi Sumatera Utara terjadi cuaca ekstrem, curah hujan tinggi pada bulan Desember sampai Januari. Seharusnya orang mulai tanam Januari, lalu Februari – Maret sudah selesai. Tapi ini masih ada yang baru tanam, padahal musim tanam berikut biasanya Agustus, jadi nanti tanam berikutnya akan mundur,” katanya juga melalui telepon.

Ada lagi catatan pelaku bisnis itu, cuaca ekstrem juga menimbulkan kondisi lembap sehingga pertanaman jagung di sana banyak terserang penyakit. Penyakit-penyakit utama penantang petani di Sumatera Utara adalah hawar daun dan busuk tongkol. Inilah yang membuat panen petani kurang bagus hasilnya.

Ibar juga menuturkan, hasil panen Januari–Maret kurang bagus dari sisi kualitas. Dengan curah hujan tinggi, petani kesulitan mengeringkan jagung. Di Jawa Tengah khususnya, jarang petani memiliki pengering berskala besar. “Alasannya, ya mahal,” ucapnya, Walhasil, kadar air jagung petani tinggi, kisarannya antara 22%-26%. Sementara kadar air standar pabrik pakan sampai 16%-17%.

Lebih jauh ia menggambarkan, untuk menurunkan kadar air dari 26% menjadi 16% perlu waktu 20 jam dengan pengering berkemampuan menurunkan kadar air 0,5%/jam. Banyak petani menyatakan tidak sempat lagi melakukannya karena harus mempersiapkan pertanaman berikutnya. Karena itu tak jarang petani terpaksa jual hasil panennya masih dalam keadaan basah.

Kadar air memang menjadi satu parameter penentu harga yang cukup penting. Makin basah jagung, makin rendah harga karena penampung perlu mengeringkannya terlebih dahulu sebelum melemparnya ke peternak maupun pabrik pakan. “Harga di tingkat petani antara Rp1.300 (masih dengan tongkol) sampai Rp2.200 (pipilan) per kg. Sementara harga pipilan kering berkisar Rp2.200 – Rp2.600/kg,” ujar Ibar.

Persiapan Musim

Untuk mengantispasi musim tanam berikut, menurut Wirastanto, Campaign Manager Corn, Syngenta Indonesia, “Hal pertama adalah mengawali tanam jagung dengan cara yang benar. Terus kedua, penanganan pascapanen. Pengalaman kita dari pascapanen saja, itu bisa kehilangan hasil 20%-30%,”

Soal pertama juga terkait produktivitas yang masih rendah. Data BPS masih menyebut produktivitas rata-rata di bawah 5 ton/ha. Pun petani progresif yang sudah menanam jagung hibrida dengan mengaplikasikan produk perlindungan tanaman, kisaran produktivitasnya 6-7 ton. “Padahal melihat potensi genetik jagung hibrida itu bisa 11-13 ton/ha,” terang Wirastanto.

Terkait benih, pelaku bisnis benih di Sumatera Utara yang menjadi sumber AGRINA mewanti-wanti petani supaya mencari varietas paling cocok bagi daerah setempat. Di samping itu, dia juga acapkali melihat cara pemupukan yang tidak benar dan waktu pemupukan tidak tepat waktu. Misalnya, kata dia, “Komposisi sudah berimbang, dosis sudah pas, tapi petani memupuknya tidak dengan cara ditugal atau dibenamkan tapi disebar begitu saja. Ini ‘kan bisa terbawa hujan jadi boros dan tidak efektif.” 

Tangkal OPT dari Awal

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) juga diperkirakan masih banyak menghadang petani. OPT utama, menurut Wirastanto, adalah hama penggerek batang (Ostrinia furnacalis) dan penggerek tongkol (Helicoverpa armigera). Sementara terkait penyakit, bulai yang disebabkan cendawan Peronosclerospora maydis masih tetap fokus, lalu hawar daun (Helminthosporium sp.) dan hawar daun (Puccinia sorghi). “Kalau bicara mengawali dengan benar berarti penyakit dan hama ulat tadi sebenarnya bisa kita cegah dengan insektisida dan fungisida yang sifatnya sistemik,” katanya. Jadi, disemprotkan sekarang, efeknya sampai beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.

Untuk menghadapi OPT tersebut, Syngenta mengandalkan insektisida Alika, sedangkan fungisidanya Amistartop. “Walaupun ulat dan penyakitnya muncul umur 2-2,5 bulan symptom-nya, tapi kita rekomendasikan tanaman disemprot saat umur 25 dan 35 hari,” saran Wirastanto. Sebenarnya, Syngenta juga memiliki benih yang secara genetik memang tahan penyakit. “Tempat-tempat yang tekanan penyakitnya luar biasa, petani perlu jasanya (varietas) NK99. Sedangkan NK6326 spesialis tahan penyakit bulai,” urai Wirastanto.

Tentang jenis OPT yang akan menghadang petani musim depan ini, Haryanto, Product Manager PT Nufarm Indonesia menyoroti penyakit. “Saat ini curah hujan masih cukup tinggi di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada intensitas serangan penyakit hawar daun dan karat daun. Diperlukan pencegahan dan pengawalan sejak dini agar tanaman sehat dan tumbuh optimal,” ujarnya.  

Haryanto menyarankan, penyemprotkan Sinergy 300EC dengan dosis 250 ml/ha dan dicampur dengan Gibgro 10SP, dosis 50 gr/ha untuk menyehatkan tanaman, mencegah serangan penyakit utama, menyeragamkan dan meningkatkan pertumbuhan akar, batang dan daun jagung. Kedua produk ini akan meningkatkan bobot tongkol dan jagung pipilan per hektar sehingga produksi dan produktivitas meningkat. “Agar hasil maksimal, semprotkan Sinergy + Gibgro 3 (tiga) kali pada umur 20, 40 dan 65 HST,” pesan Haryanto.

Tak jauh beda dari pendapat kedua penyedia produk perlindungan tanaman tersebut, Ratna Indah Puspitasari, Crop Specialist Corn Soybean PT Bayer Indonesia, mengungkap, “OPT yang diperkirakan banyak menyerang adalah hama Atherigona, penggerek batang, penggerek tongkol, penyakit bulai, busuk tongkol dan hawar daun.“ Tentang pengendaliannya, menurut Ratna, petani harus melakukan pengamatan yang akurat sehingga dapat segera dilakukan tindakan preventif maupun kuratif. Pengamatan yang akurat akan meminimalkan kerugian akibat OPT.

Bayer menawarkan teknologi perlindungan yang dimulai dari sebelum tanam dengan perlakuan benih menggunakan pestisida Gaucho sebanyak 5 ml/kg benih dan Consento dengan rekomendasi 20 ml/kg benih. Gaucho melindungi tanaman dari hama pada fase awal pertumbuhan dan berefek antistres terhadap kekeringan sehingga tanaman tumbuh optimal dan hemat biaya penyulaman. Sementara Consento melindungi tanaman dari bulai. Sedangkan perisai terhadap penyakit utama jagung adalah Nativo yang diaplikasikan dua kali saat umur 15 dan 25 HST. Pengendali hama andalan Bayer adalah Decis.

Lain lagi resep tanaman sehat dan produktif ala PT BASF Indonesia yang bertumpu pada teknologi disebut Cabrio Agcelence. Indra Refipal Sembiring, MM, Corn Crop Manager PT BASF Indonesia, Cabrio bekerja meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit, termasuk bulai. Aplikasi Cabrio cukup satu kali dalam satu musim tanam pada tanaman jagung umur 30—40 hari setelah tanam (HST). Dosisnya 400 ml/ha.

BASF juga menyediakan fungisida Acrobat untuk melindungi tanaman dari serangan bulai. Indra menganjurkan perlakuan benih dengan 5 ml Acrobat ditambah 10 ml Regent Red per kg benih yang dapat menekan tingkat serangan sampai maksimal 10%.

Jadi, mari siap-siap yang cermat agar produksi tak bikin kecewa.

Peni SP, Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain