Senin, 18 Maret 2013

LIPUTAN KHUSUS : Agar Kedelai Kembali Dilirik

Target swasembada kedelai digadang harus tercapai pada 2014. Satu tahun menjelang tenggat, bagaimana naga-naganya?

 Masih ingat kejadian mogoknya sejumlah perajin tahu tempe akibat melonjaknya harga kedelai pertengahan 2012 lalu? Mari kita segarkan ingatan. Kekeringan yang melanda Amerika Serikat sebagai pemasok utama kedelai ke Indonesia menyebabkan terhambatnya pasokan kedelai ke Indonesia. Imbasnya, harga kedelai pun meroket, dari yang hanya sekitar Rp4.000-Rp5.000/kg menjadi Rp8.000/kg. Tidak heran perajin tahu tempe pun kelabakan.

Ketergantungan perajin tahu tempe terhadap kedelai impor memang sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012 menunjukkan, produksi kedelai lokal hanya mencapai 783 ribu ton dari sekitar 2,283 juta ton kebutuhan kedelai pada tahun yang sama, atau defisit sekitar 1,5 juta ton. Padahal, dibandingkan dengan kedelai impor, kedelai lokal menawarkan beberapa keunggulan jika diproduksi menjadi tahu atau tempe.

Maman Suherman, Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi, Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, memaparkan, kedelai lokal mempunyai keunggulan dalam segi rasa. “Kedelai lokal itu lebih bagus dalam hal rasa yang lebih enak, rendemennya lebih tinggi, risiko kesehatannya lebih rendah dibandingkan kedelai impor. Kemudian kedelai yang kita tanam di Indonesia juga umurnya lebih pendek dibandingkan di luar negeri,” tuturnya.

Minat Petani Rendah

Kesempatan kedelai lokal dalam mengisi kebutuhan kedelai nasional masih sangat terbuka lebar. Sayangnya, di Indonesia kedelai belum menjadi tanaman budidaya utama. Biasanya kedelai ditanam pada musim kering di lahan sawah bergantian dengan padi. Itu pun jika ketersediaan air tidak memadai untuk kembali menanam padi. Jika air tersedia, tidak jarang petani akan menanam padi sepanjang tahun.

Hal ini diakui Gusti Bagus Sumbawanto, Sekretaris Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Pertanian Kab. Sumbawa Barat saat dihubungi AGRINA melalui telepon. “Di sini (Sumbawa Barat), petani menanam kedelai bergantian dengan padi. Pertengahan April biasanya ‘kan panen padi, lalu ada yang tanam padi kedua. Bagi yang tidak ada sumber airnya, baru biasanya ada yang tanam kedelai,” tutur Sumbawanto.

Harga seringkali menjadi alasan mengapa petani enggan menanam kedelai. “Harga kedelai itu tidak menentu, makanya banyak juga petani yang lebih memilih tanam kacang hijau dibandingkan kedelai. Kacang hijau harganya lebih stabil,” jelas Sumbawanto. Harga kacang hijau sekitar Rp7.000-Rp8.000/kg, sedangkan kedelai paling tinggi hanya Rp6.000/kg.

Harga kedelai impor yang lebih murah ketimbang kedelai lokal juga menyurutkan minat petani. Menurut Hilman Ismail Metareum, anggota Asosiasi Pengusaha Tahu Tempe, pengaruh impor cukup besar dalam menurunkan gairah petani kedelai. “Hampir 90% produksi tahu tempe nasional didapatkan dari kedelai impor sehingga petani tidak bergairah menanam kedelai. Harga jatuh saat panen juga bikin petani bingung menjual hasil panennya. Tidak heran kalau petani lebih memilih menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan,” ungkapnya.

Rencana harga pembelian pemerintah (HPP) oleh Bulog sebesar Rp7.000/kg dirasakan cukup ideal untuk menggairahkan kembali petani kedelai. Namun, harga itu akan efektif jika produktivitas kedelai paling tidak 2 ton/ha. Sementara, saat ini rata-rata produktivitas petani masih di bawah 1 ton/ha.

Tingkatkan Produktivitas

Rata-rata produktivitas kedelai nasional 2011 berdasarkan data BPS adalah sekitar 1,3 ton/ha. Namun kenyataannya masih banyak petani kedelai dengan produktivitas jauh di bawah angka itu. Di Sumbawa Barat contohnya, Sumbawanto mengakui produktivitas kedelai di wilayahnya tidak lebih dari 0,8-0,9 ton/ha.

Menurut Maman, empat hal yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produktivitas kedelai, dimulai dari meningkatkan kualitas dan kuantitas perbenihan, memperbaiki teknik budidaya, memperlancar penyediaan sarana produksi, modal, dan teknologi, serta mempercepat adopsi paket teknologi melalui SL-PTT. “Yang perlu perhatian khusus di perbenihan karena benih hanya berumur tiga bulan. Jadi harus ada sistem perbenihan yang  bagus,” paparnya.

Dia menambahkan, perbenihan menjadi faktor penentu produktivitas hingga 28% selain pupuk, pendampingan, dan serangan hama penyakit. Dalam penyediaan benih, perencanaan produksi benih perlu sinkronisasi dengan wilayah tanam untuk menyediakan benih dalam jumlah cukup dan tepat waktu dengan daya tumbuh yang baik. Selain itu, lahan-lahan Perhutani dan perkebunan pun dioptimalkan dalam produksi benih.

“Kita punya 77 pilihan varietas unggul. Dengan potensi hasil lebih dari 3 ton/ha, kita punya 6 varietas. Lalu ada 47 varietas yang produktivitasnya antara 2-2,9 ton/ha. Ini peluangnya. Selain itu juga masih tersedia varietas unggul dengan hasil kurang dari 2 ton sebanyak 24 varietas. Jadi di sini ada peluang pengembangan,” lanjut Maman.

Varietas Unggul

Sejak 1990, dari berbagai lembaga pemuliaan telah dihasilkan 71 varietas yang terdiri dari 35 varietas hasil persilangan, 18 varietas hasil introduksi, 11 varietas lokal, dan 7 varietas hasil mutasi radiasi. Dari keseluruhan varietas, Badan Litbang Pertanian menghasilkan 53 varietas, Unpad dua varietas, Unsoed dua varietas, Universitas Jember dua varietas, UGM satu varietas dan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) 6 varietas.

“Untuk meningkatkan produktivitas kedelai, kami sebagai pemulia dituntut untuk berkreasi menciptakan varietas unggul kedelai. Karena produktivitas kedelai kita terus menurun, padahal kita pernah swasembada,” ujar Harry Is Mulyana, pemulia kedelai BATAN. Enam varietas kedelai yang dihasilkan BATAN adalah Muria, Tengger, Meratus, Rajabasa, Mitani, dan Mutiara 1. Semua varietas tersebut berpotensi produktivitas di atas 1,4 ton/ha.

Potensi produktivitas hanya salah satu dari banyak keunggulan masing-masing varietas. Muria misalnya, tahan terhadap penyakit karat daun, efektif dalam bersimbiosis mutualisme dengan Rhizobium dalam memfiksasi nitrogen bebas dari udara, serta polong masaknya tidak mudah pecah. Potensi hasilnya sekitar 1,7-2 ton/ha.

Lain lagi keunggulan varietas Tengger. Potensi produktivitasnya memang lebih rendah dibandingkan Muria, yaitu 1,4-1,7 ton/ha. Namun, selain juga tahan terhadap karat daun, varietas ini juga tahan terhadap kutu putih dan kutu kebul dengan polong yang tidak mudah pecah. Dengan umur panen selama 73-79 hari, varietas ini tergolong dalam kedelai berumur genjah. Keunggulan yang tidak jauh berbeda juga dimiliki varietas Meratus.

Potensi produktivitas varietas Rajabasa jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 2,05-3,9 ton/ha. Daya adaptasinya yang luas membuat varietas Rajabasa berpeluang untuk dibudidayakan pada berbagai kondisi agroekologi sentra produksi kedelai di Indonesia. Sementara, varietas Mitani diunggulkan sebagai kedelai tahan terhadap kutu hijau yang menjadi vektor penyakit virus. Dengan potensi produktivitas 2 ton/ha, Mitani cukup baik dibudidayakan di lahan kering dataran rendah.

“Sedangkan untuk bersaing dengan kedelai impor, kita mengunggulkan Mutiara 1 karena bijinya lebih besar, mencapai 23,2 gr/100 biji. Sementara kedelai Amerika itu sekitar 18 gr,” tambah Harry. Varietas Mutiara 1 menjadi kedelai dengan ukuran biji terbesar dibandingkan seluruh varietas yang dilepas hingga 2010.

Budidaya

Potensi produktivitas masing-masing varietas unggul tersebut tidak akan muncul jika tidak didukung dengan teknologi budidaya yang mumpuni. Mulai dari penyesuaian varietas dengan lahan budidaya, ketersediaan air, potensi serangan hama penyakit, hingga rekomendasi pemupukan.

Balai Penelitian Tanah mengeluarkan rekomendasi pemupukan yang berbeda bagi tiga jenis lahan budidaya kedelai pada satu musim tanam. Untuk lahan sawah, direkomendasikan 25 kg urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per ha. Sementara pada lahan kering, dosis urea dan KCl yag diberikan tetap sama, hanya dosis SP36 yang ditambah menjadi 150 kg per ha. Dosis yang sama berlaku pada budidaya kedelai di lahan rawa.

Selain mengikuti rekomendasi pemupukan yang dikomunikasikan melalui SL-PTT, tambahan pemupukan dengan pupuk organik cair kerap dilakukan petani untuk meningkatkan kualitas lahan dan juga meningkatkan produktivitas. “Menggunakan pupuk cair Organox dan Hormax. Kami  juga kaget, hasilnya bisa lebih dari 2 ton,” ungkap Sumbawanto antusias.

Pria ramah ini menuturkan, “Organox itu cukup kita tumpahkan saja 2 liter/ha di saluran irigasinya, ‘kan dia mengalir ke lahan. Diamkan selama 5 hari, kemudian buang pengairannya. Sedangkan Hormax sebanyak 5 ml/liter/ha disemprotkan ke tanaman setiap 20 hari. Hasilnya luar biasa,” ujar pria yang juga bertanam kedelai seluas 1,5 ha ini.

Jika pemilihan varietas dan aplikasi budidaya sudah diterapkan dengan optimal, peluang peningkatan produktivitas akan lebih tinggi. Jika HPP sudah ditetapkan, produktivitas meningkat, diharapkan gairah petani menanam kedelai kembali tersulut. Ketergantungan impor pun sedikit demi sedikit akan tergerus.

Renda Diennazola

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain