Senin, 18 Pebruari 2013

LIPUTAN KHUSUS : Lokal Keteter, Konsumen Kelenger

Injak rem impor terlalu dalam dalam waktu singkat mengakibatkan rebutan suplai di kalangan peritel dan kenaikan harga yang memukul konsumen.

Tahun ini pemerintah hanya memberi kuota impor 15% dari kebutuhan daging dalam negeri atau 80 ribu ton. Impor ini dalam bentuk sapi bakalan sebanyak 60% atau sebesar 48 ribu ton (setara 267 ribu ekor sapi) dan 32 ribu ton sisanya daging beku.

Alokasi Industri

Kuota daging beku dialokasikan untuk industri 19.400 ton yang akan dibagi kepada empat asosiasi (baca AGRINA edisi 196). Padahal, ujar Ishana Mahisa, Ketua National Meat Processor Association (Nampa), “Kebutuhan untuk Nampa saja sudah 18 ribu-19 ribu ton, yang pemerintah kasih hanya 14.500 ton.”

Kalangan industri membutuhkan beberapa jenis Chemical Lean (CL), tetapi impor cuma mendatangkan dua jenis. Hampir 90% CL 85 (kandungan daging 85%) dan sisanya CL 65. “Secondary cut tidak diberikan sama sekali,” lanjutnya. Secondary cut ini biasanya dalam bentuk knuckle (kelapa) dan brisket (sandung lamur). Padahal, bila mengharapkan secondary lokal, kualitasnya sangat jauh (alot). Memang kebutuhan secondary hanya 15% tetapi bila tidak ada tentu merugikan.

Naik 30%

Selain untuk industri, daging beku diperuntukkan bagi hotel, restoran, katering (horeka) dan kebutuhan khusus lainnya. Jatahnya 12.600 ton yang akan didatangkan dalam bentuk prime cut sebanyak 40% (5.040 ton), secondary cut 35% (4.410 ton), dan fancy and variety meat 25% (3.150 ton).

Saat ini satu ritel modern membutuhkan 200 ton daging/bulan. Padahal, anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang menjajakan daging digerainya berjumlah 24. Tahun lalu, total kebutuhan ritel sebesar 12.700 ton. “Kebutuhan satu ritel (sekelas Carrefour) sekitar 200 ton/bulan, tapi sekarang pasokan maksimal 55-65 ton/bulan,” ungkap Satria Hamid Ahmadi, Head of Public Affair Carrefour Indonesia.

Dari pasokan tersebut, 70% masih berupa daging impor karena produsen lokal belum mampu memenuhi permintaan peritel. “Sekarang memang sulit (terpenuhi) karena kita hanya menumpu pada daging bakalan dan daging frozen,” ujar pria yang juga anggota komite daging.

Daging dari bakalan harus melalui tahap penggemukan minimal 70 hari dan berbagai faktor manajemen bisa mempengaruhi hasil penggemukan itu. Apalagi ritel juga tidak butuh semua bagian dari sapi sehingga rumah potong hewan (RPH) yang layak sangat penting. “Kita mendorong pemerintah untuk segera membuat RPH-RPH modern yang bersertifikasi. Selain itu, tata niaga daging, infrastruktur dan distribusinya juga harus diperbaiki,” lanjut dia.

Dampak ketidaksiapan industri daging Indonesia dalam memenuhi permintaan ritel kini tampak jelas. “Harga daging di ritel modern sudah naik 30%, dan pasokan juga berkurang 30%,” ucap Satria. Ini bikin konsumen kelenger karena harus merohoh kocek lebih dalam.

Kondisi itu diperparah dengan merosotnya permintaan mencapai 30%. Padahal seiring pertambahan jumlah gerai dari masing-masing ritel, kebutuhan daging bakal ikut naik. “Kita prediksi naik 30% untuk 2013 jadi 17.160 ton, untuk supermarket 8.710 ton dan hypermarket 8.450 ton,” pungkas Wakil Sekjen Aprindo itu.

Nah, pintu pasar sudah terbuka, kini saatnya pebisnis sapi untuk bekerja.

Ratna Budi Wulandari

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain