Teorinya, musim hujan bukan waktu tanam ideal bagi cabai. Teknik budidaya lebih intensif, risiko serangan penyakit juga menjadi sangat tinggi.
Bukan hanya teori, kondisi lingkungan pada musim hujan memang sangat berisiko bagi pertanaman cabai. Selain tuntutan teknis budidaya yang lebih intensif jika dibandingkan musim kemarau, risiko serangan penyakit membayangi di setiap tahap pertumbuhan. Walau begitu, banyak petani berani mengambil risiko itu.
Ahmad Yani, petani cabai di Desa Raksasari, Kec. Taraju, Kab. Tasikmalaya, Jabar, misalnya, “Yang bikin petani semangat, harga cabai merah bagus. Itu dipengaruhi pasokan ke pasar yang tersendat dari daerah sentra-sentra cabai,” alasan Yani, sapaan akrabnya, saat dihubungi AGRINA melalui telepon.
Bina Prihattomo, Territory Manager Jawa Barat bagian selatan PT Nufarm Indonesia, produsen pestisida, membenarkan kecenderungan tersebut. “Banyak petani yang tetap bertarung di musim hujan karena harganya bagus. Petani itu ‘kan cari untung, bukan hanya ingin tanaman bagus, biaya besar, tapi harganya murah. Jadi kalau mereka tanam sekarang, agar panennya banyak, ya diusahakan,” tuturnya.
Risiko Penyakit
Ir. Soesilo, M.Si, Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura, Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, memaparkan, pengganggu utama pertanaman cabai musim hujan adalah penyakit. “Penyakit yang muncul di musim hujan itu antara lain antraknosa, layu fusarium, bercak daun, dan ada juga virus kuning,” katanya.
Hal senada diungkapkan Gilang Permana, Junior Product Manager Vegetable and Fruit PT Nufarm Indonesia. Menurutnya, antraknosa dan busuk daun menjadi penyakit yang paling banyak mengancam lahan cabai dataran tinggi pas musim hujan. Lingkungan yang lembap menjadi kondisi ideal bagi cendawan untuk berkembang.
“Di wilayah dataran tinggi sampai saat ini memang dua penyakit itu yang masih menjadi primadona. Antraknosa menyebar sangat cepat, dan biasanya masih berkembang terus saat buahnya dipanen atau diangkut. Kalau busuk daun, biasanya tanaman yang terserang ada bercak di bagian tepi daunnya. Ini mengganggu proses fotosintesis sehingga dalam kondisi hujan dan penyebarannya semakin cepat, tanaman bisa mati,” tutur alumnus Jurusan Agroindustri, Institut Teknologi Indonesia, Serpong, Tangerang Selatan, 2005 ini.
Jangan lupa kenali virus kuning. Penyakit ini, menurut Yani, justru yang paling dikhawatirkan petani di wilayahnya. Pasalnya, tanaman yang sudah diserbu virus Gemini ini sudah pasti tidak dapat berproduksi. “Kalau udah kena virus, pertumbuhannya segitu aja. Daun kerdil, bunga rontok, pertumbuhannya nggak jalan, tetap kecil,” tuturnya.
Hama Pun Menyerang
Gangguan tanam musim hujan yang didominasi oleh penyakit membuat perhatian terhadap hama yang juga muncul menjadi teralihkan. Menurut Budi Widodo, Campaign Manager Sayuran, PT Syngenta Indonesia, serangan hama seperti thrips, kutu kebul, dan ulat juga kerap menyerang tanaman cabai musim hujan. Terutama yang ditanam di dataran rendah pada kisaran ketinggian 50-100 m dpl.
Dari masa pembibitan, kutu kebul yang juga menjadi vektor virus kuning mulai menyerang. Tidak heran, jika tanaman cabai muda yang baru pindah tanam tiba-tiba menjadi kuning dan kerdil. Kemungkinan pada masa pembibitan sudah terserang kutu kebul. Ini yang sering tidak disadari petani.
Thrips menyerang cabai pada masa vegetatif sampai 40 Hari Setelah Tanam (HST) dan saat berbunga dan awal pembuahan pada 40-70 HST. “Thrips itu mengisap cairan yang ada di daun dan batang sehingga pucuk tanaman jadi keriting. Saat baru berbuah, thrips juga mengisap cairan buah sehingga buah jadi kecil dan keriting,” tukas Budi.
Budi menambahkan, pada masa pembentukan buah serangan lalat buah bisa mengganggu karena bertelur di buah yang masih kecil. Telur ini akan menetas di dalam buah selama proses pemasakan dan menggerogoti buah hingga rusak dan rontok. Selain itu, hama ulat bor (Heliothis sp.) dapat masuk ke dalam buah, memakan biji hingga habis, lalu menyisakan bagian kulit yang keriput dan membusuk.
Budidaya Intensif
Menurut Soesilo, tindakan antisipasi yang diawali dengan kultur teknis sangat efektif dalam mencegah serangan penyakit. “Lakukan cara-cara budidaya yang baik, seperti jarak tanam yang baik, drainase yang baik, atau peninggian guludan. Kalau semuanya dilakukan dengan standar Good Agricultural Practices (GAP), mestinya serangan OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) tidak terlalu ramai ya. Pestisida itu pilihan terakhir,” imbuh Soesilo.
Dia mencontohkan, dengan banyaknya penyebaran penyakit melalui tanah, perbaikan lahan menjadi langkah awal yang harus diterapkan. Dimulai dengan pembersihan lahan dari gulma dan tanaman sisa musim lalu yang mungkin mengandung inokulum cendawan penyebab penyakit. Jika musim sebelumnya tanaman cabai di lahan itu terserang penyakit, penting dilakukan rotasi tanaman dengan tanaman di luar famili Solanaceae, seperti jagung manis atau wortel.
Teknik pemupukan dan jarak tanam juga disarankan petani cabai di Lumajang, Jawa Timur, Bakti Sutoyo. Ketua Kelompok Tani Sri Lestari ini menyarankan untuk mengurangi penggunaan pupuk nitrogen, terutama dalam mengatasi antraknosa. “Kalau bisa malah pakai pupuk yang tanpa N sama sekali. Usahakan kandungan P dan K yang tinggi. Sedangkan untuk jarak tanam, kita anjurkan 80 cm x 70 cm, atau hanya pakai satu baris tanaman dalam satu guludan untuk mengurangi kelembapan,” tuturnya.
Teknik budidaya sudah benar, tapi antisipasi tetap perlu dilakukan. Gilang merekomendasikan penyemprotan fungisida dan bakterisida Kuproxat 345 SC dalam penanggulangan antraknosa. “Biasanya 2 ml/liter, seminggu dua kali penyemprotan. Tapi kalau curah hujannya lebih sering, penyemprotan juga bisa dilakukan lebih sering,” ujarnya. Sementara dalam mengatasi busuk daun, peraih gelar Master dari Marketing Communication UI pada 2010 ini menyarankan penggunaan Phytoklor 82,5 WG 1 gr/liter minimal dua kali seminggu.
Renda Diennazola, Untung Jaya