Gaya Baru Minim Mudarat?
Mulai tahun ini petani tak bisa lagi memperoleh bantuan benih secara cuma-cuma. Mereka harus membelinya meskipun dengan harga didiskon besar.
Kementerian Pertanian (Kementan) mengemban tugas berat dalam mencapai swasembada yang berkelanjutan untuk komoditas tanaman pangan utama, yaitu padi, jagung, kedelai, dan tebu. Menurut Menteri Pertanian (Mentan) Suswono dalam acara “Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2013”, yang dihelat 16 Januari 2013 di Jakarta, ”Pada komoditas tanaman pangan yang menjadi target swasembada telah terjadi peningkatan produksi yang cukup signifikan, kecuali kedelai.”
Berdasarkan Angka Ramalan (Aram) II Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi 2012 mencapai 68,96 juta ton atau meningkat 4,86% dibandingkan tahun lalu. Demikian pula jagung. Kinerja produksi emas pipilan ini sampai pada posisi 18,96 juta ton atau meningkat 7,48% dari tahun lalu. Pun tebu, tahun lalu menghasilkan gula konsumsi 2,59 juta ton atau naik 16,34%. Sementara kedelai malah hanya menunjukkan produksi 783 ribu ton, anjlok hampir 8% akibat tak kunjung mendapat alokasi lahan guna perluasan tanam.
Pemberian subsidi pupuk dan benih juga masih menjadi strategi andalan yang dilaksanakan tahun ini. Namun, ada yang berbeda dalam penyalurannya. Bila tahun-tahun sebelumnya petani mendapatkannya secara gratis, mulai 2013 mereka harus membeli sarana produksi itu dengan harga diskon cukup besar. Pasalnya, pada penyaluran benih subsidi khususnya, terjadi penyimpangan yang membuat petani komplain. Komplain petani, antara lain, pada kedatangan benih yang tidak tepat waktu tanam, kualitasnya tidak bagus, dan tak sesuai kebutuhan mereka.
Lebih Banyak Mudarat
Menurut penuturan Bambang Budhiyanto, Direktur Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, program subsidi benih mulai digagas pada 2005-2006. “Waktu itu, secara teknis tak ada masalah. Namun, pemerintah ingin ada upaya peningkatan penggunaan benih unggul bersertifikat,” ujar Bambang mengilasbalik sejarah program ini. Ia menambahkan, saat itu tingkat penggunaan benih unggul baru mencapai 30%.
Bagaimana cara meningkatkannya? Pemerintah dan DPR lalu meluncurkan Program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) pada 2007. Alokasinya sekitar Rp1 triliun yang ditenderkan di setiap kabupaten penanam komoditas pangan, terutama padi, jagung, dan kedelai. “Yang perlu dicatat, bantuan benih itu tidak meng-cover seluruh kebutuhan benih nasional. Satu triliun itu hanya cukup untuk sekitar 20%-25% saja, tergantung komposisi komoditas. Padi paling besar,” tukas Bambang yang ditemui AGRINA di kantornya (14/1).
Namun, niat mulia pemerintah untuk membantu petani meningkatkan produktivitas tanaman mereka itu berjalan kurang lancar dan banyak masalah di lapangan saat pelaksanaan. Karena itu, program BLBU dilikuidasi dan diganti menjadi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) pada 2008.
Melalui program BLM, kelompok-kelompok petani yang sudah termasuk dalam daftar Calon Petani Calon Lahan (CPCL) dari dinas terkait mendapat kucuran dana tunai untuk membeli sendiri sesuai kebutuhan. Syaratnya, benih harus unggul dan bersertifikat. Pemasok terbesar tetap saja perusahaan benih pelat merah alias BUMN, yaitu Sang Hyang Seri dan Pertani, terutama untuk padi dan kedelai. Sedangkan jagung dipasok juga oleh perusahaan benih swasta yang bekerjasama dengan kedua BUMN itu.
Tahun berikutnya, 2009, anggaran subsidi yang juga sekitar Rp1 triliun dibagi dua, separuh-separuh, yaitu untuk dana public service obligation (PSO) yang digelontorkan Kementerian Keuangan via BUMN dan dana BLM dari Kementan.
Pada 2010, anggaran dialokasikan 100% dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke BUMN. Pelimpahan dana subsidi yang sangat besar ini akhirnya mendapat sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akhirnya, pada 2011 anggaran dikembalikan lagi ke Kementan. Namun, pengucurannya sama saja dengan periode sebelumnya. Pasalnya, dengan Peraturan Presiden 14/2011 yang keluar 2 Maret 2011 tentang Bantuan Langsung Benih Unggul dan Pupuk, pemerintah menunjuk langsung BUMN untuk menyalurkan benih dan pupuk subsidi. Jadi, dengan anggaran dari Kementan, BUMN mendapat alokasi guna mengadakan sarana produksi buat petani.
Dinamika itu belum juga berhenti. Tahun silam, anggaran berada di tangan Kementan tapi alokasinya melalui tender. Proses tender berjenjang ke Jakarta ini memakan waktu panjang dan berbelit. Walhasil, banyak keluhan keterlambatan sampai ke tangan petani karena berbagai hal. Belum lagi soal kualitas benih yang buruk, meskipun tak semata kesalahan BUMN penyalur, juga menjadi catatan tersendiri. Liku-liku penyaluran benih bersubsidi, yang menurut bahasa Bambang banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya itu, menimbulkan pemikiran untuk mengubahnya lagi menjadi seperti sekarang.
Tak Lagi Gratis
Masih menurut Bambang, tahun ini anggaran subsidi benih menggelembung menjadi Rp1,7 triliun (alokasinya dapat dilihat pada: Tabel Benih Bersubsidi 2013). Berdasarkan evaluasi tahun-tahun sebelumnya, DPR dan pemerintah lantas bersepakat menghapus BLBU dan BLM sama sekali. Sebagai gantinya adalah program subsidi harga benih. Besaran subsidi ini tidak dihitung rupiahnya tapi persentase dari harga di BUMN.
Anggaran subsidi di tangan Kementan. Sama seperti sebelumnya, “Petani-petani yang mengikuti program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) mendapat prioritas untuk membeli, bukan mendapat benih. Sekarang ini beda, adanya subsidi harga, sebagian mereka bayar,” tegas alumnus Jurusan Agronomi IPB 1993 itu. Ia mencontohkan, harga benih padi inbrida Rp8.000/kg. Petani peminat benih harus membayar 25%, yaitu Rp2.050-Rp2.150/kg. “Angka-angka ini masih menunggu penetapan dari Pak Menteri setelah mendapat kepastian dari Menkeu,” sambungnya.
Sistem subsidi benih ini relatif lebih fleksibel. Produk benihnya bisa sesuai kebutuhan petani. Petani pun dapat menuntut untuk mendapatkan kualitas yang bagus sesuai standar benih bersubsidi, yaitu daya tumbuh minimal 80%, kebersihan benih minimal 98%, dan kadar air 11%-12%, karena mereka membeli.
Pemerintah, dalam hal ini Kementan, mengontrol pelaksanaan program dari dua sisi. Dari rekapitulasi kebutuhan benih yang dikirim dinas pertanian kabupaten dan dari faktur penjualan benih ke petani yang dibuat BUMN.
“Pelaksanaannya menuntut tiga pihak untuk kompak. Dinas, melalui para penyuluh di kecamatan, menanyakan kebutuhan benih ke petani peserta SPLTT dan siapa saja yang berminat membeli. Hasilnya diinformasikan ke kantor BUMN terdekat yang akan meneruskan ke pusat. Akhirnya BUMN dan petani bertransaksi, kemudian dinas membuat rekap dan melaporkannya ke kami. BUMN lalu menagih ke kami. Harus cocok itu datanya, baru kami bayar,” papar doktor bidang perbenihan lulusan Massey University, Selandia Baru.
Cara baru yang mulai dilaksanakan di Medan, Sumatera Utara, minggu kedua Januari ini, lanjut Bambang, diharapkan mampu mendidik petani untuk menjadi pengusaha, mendidik perusahaan BUMN supaya lebih profesional, dan dinas terkait di daerah juga lebih baik dalam mengelola CPCL di wilayahnya.
Mestinya ke Daerah Baru
Tentang cara baru penyaluran benih subsidi tersebut, Doddy Wiratmoko, Market Development Manager Corn Seed PT Bisi International Tbk, berkomentar, “Kami tetap mendukung program tersebut. Bagi kami, tidak menjadi masalah apapun cara yang digunakan. Pasti pemerintah juga sudah melakukan kajian yang mendalam tentang cara itu. Pasti petani juga mau menyiapkan 50% uang untuk membeli benih subsidi. Beli dengan harga murah tapi mendapat benih yang baik.”
Lantas, bagaimana perusahaan benih swasta bisa memasok benih yang diminati petani? “Bisa saja, asalkan lewat BUMN. Nah, itu sudah urusan bisnis mereka, kami nggak ikut campur tangan,” imbuh Bambang.
Doddy mengonfirmasi pernyataan Bambang tersebut. “Yang pasti sama seperti sebelumnya, yaitu jual-beli biasa dengan term khusus. Kami hanya menjual benih ke BUMN, dan mereka membayarnya pada saat jatuh tempo. Penyaluran ke petani menjadi tanggungjawab BUMN tersebut,” ungkap pemasok benih jagung hibrida bersubsidi yang mendapat order 2.000 ton tahun lalu itu.
Lebih jauh Doddy berharap, “Program subsidi benih ini diarahkan pada daerah-daerah penanaman baru, bukan daerah yang notabene sudah sering menanam jagung hibrida sehingga timbul penambahan area baru. Dengan demikian, produksi jagung akan semakin meningkat dan swasembada jagung bisa tercapai.”
Semoga!
Peni Sari Palupi
Tabel Benih Bersubsidi 2013 Tanaman Alokasi Luas Tanam Harga untuk Petani Besaran Subsidi (ton) (ha) (Rp/kg) (%) Padi inbrida 120.000 4,8 juta 2.050-2.150 75 Padi hibrida 7.500 500.000 4.850 91 Jagung komposit 2.000 80.000 2.400-2.500 77 Jagung hibrida 7.500 500.000 18.850-19.000 50 Kedelai 15.000 375.000 3.150-3.250 76
Sumber: Direktur Perbenihan, Ditjen Tanaman Pangan, 2013 Catatan: Harga untuk petani masih ancar-ancar, akan diformalkan dalam bentuk peraturan menteri pertanian |