Mulanya hanya anak nelayan yang bekerja serabutan demi sesuap nasi. Berkat keuletan mengelola tambak, ia menjadi juragan bandeng di Pemalang, Jateng.
Bukan hanya digandrungi saat Tahun Baru Cina (Imlek), sosok bandeng sebagai lauk berprotein tinggi menjadi pilihan menu makanan sehari-hari. Tidak mengherankan jika di tingkat pembenihan dan pembesaran, kejayaan bisnis bandeng dirasakan petambak yang rutin bergelut dengan ikan berduri banyak itu.
Ada wartawan fotografer di salah satu grup media cetak terkemuka yang rela melepas karier cemerlangnya demi berbisnis ikan bergelar milkfish ini. Tak diduga, ia pun menjadi bos nener (larva bandeng) terpandang di Buleleng, Bali. Ada pula anak nelayan yang sukses jadi juragan bandeng di Pemalang.
H. Nurin Anwar, petambak bandeng di Desa Sugihwaras, Kec. Pemalang, Kab. Pemalang, telah menyerap gurihnya bisnis budidaya bandeng ukuran konsumsi. Sejak bergelut dengan budidaya bandeng pada 1985 silam, H. Nurin, begitu ia biasa disapa, dengan rendah hati mengaku hanya memiliki 5 ha tambak bandeng intensif dengan hasil 2,5 ton/ha. Namun, ia telah bermitra dengan 100 orang petambak bandeng di Kec. Pesantren, Pemalang yang memiliki sedikitnya satu hektar tambak bandeng per orang. Jika minimal ada 100 ha tambak yang menghasilkan 2,5 ton bandeng/ha/siklus, setidaknya ia mampu menampung bandeng sebanyak 250 ton/siklus.
Menurut pedagang pengumpul ikan hasil tangkapan nelayan di Pemalang itu, rata-rata bandeng dipanen pada ukuran 5 ekor/2 kg. Penjualannya ke Jakarta untuk konsumsi rumah tangga dan Jateng (Semarang dan Purwokerto) sebagai bahan baku presto. Ia juga menyasar pasar bandeng ukuran satu kilo ke atas untuk perayaan iImlek. Harga bandeng minggu pertama Januari berkisar Rp13.000 - Rp15.000/kg.
Sebagai anak nelayan, Nurin muda sangat akrab dengan kehidupan serba pas-pasan. Menyambung hidup sebagai pencacah balok es pun pernah dilakoni pria kelahiran 12 September 1966 itu. Selepas sekolah jurusan teknik mesin di Tegal, Jateng, ia berkenalan dengan budidaya bandeng. Ia kemudian mengais rezeki dengan mengurus tambak bandeng milik salah seorang petambak di Pemalang.
Teknik budidaya bandeng diserapnya dengan senang hati. Seiring bergulirnya waktu, jerih payah di tambak bandeng membuahkan hasil sementara ilmu budidaya cukup dikuasai. Lantas pada 1995, H. Nurin menyewa sehektar tambak bandeng seharga Rp2,5 juta untuk masa kontrak 5 tahun. “Waktu itu harga bandeng sekitar Rp6.000-Rp7.000/kg untuk ukuran 5 ekor/2 kg dan 3 ekor/kg (30-40 gr/ekor),” kenangnya.
Persiapan Tambak
Menurut H. Nurin, dalam budidaya bandeng, pengolahan lahan harus diperhatikan. Lahan harus dipupuk untuk menumbuhkan pakan alami di tambak. Dosisnya sekitar 150 kg pupuk/ha yang dilakukan setiap habis panen atau setahun sekali. “Kalau masih tumbuh klekap, berarti kondisi tambak masih bagus, nggak perlu dipupuk lagi,” ucapnya. Tanggul tambak juga harus kuat menahan air.
Yang paling penting, sambung dia, petambak harus menjaga ketersediaan air di tambak. Pasalnya, kekurangan air di tambak membuat kandungan oksigen menipis. Akibatnya, ikan bisa stres dan mengalami kematian. Biasanya kondisi ini terjadi saat musim kemarau, sekitar Agustus dan September.
Untuk mencegah kematian massal, petambak sering memanen dini bandeng-bandeng itu. Tetapi, saat ini kebanyakan petambak di Pemalang menggunakan mesin pompa air. “Jadi kalau nggak ada (laut) pasang tinggi, dia pakai pompa untuk membantu menyedot air dari laut,” jelas suami Sumarni itu. Meski sumber air langsung diambil dari laut tanpa ada penyaringan, jarang ada penyakit yang menyerang bandeng.
Protein Tinggi
Setelah persiapan air selesai, benih bandeng berupa nener (sekitar 1 cm/ekor) atau gelondong (sekitar 5-7 cm/ekor) siap ditebar. Bandeng ukuran gelondong, ditebar sebanyak 6.000 ekor/ha dan dipelihara selama 5-6 bulan. Bandeng diberi pakan pellet yang menghabiskan sekitar 3,5 ton pakan/siklus. Awalnya, budidaya bandeng di Pemalang masih tradisional menggunakan pakan dari lingkungan sekitar, seperti loyang (nasi aking), bekatul, dan mi afkir.
Berbeda dengan petambak lain yang memberikan pellet berprotein 18% - 20%, H. Nurin mencoba pellet protein tinggi, 32%, keluaran Comfeed. Meski harganya lebih mahal Rp1.600/kg dari pellet protein rendah, pria ramah ini malah merasa lebih untung karena pertumbuhan bandeng lebih cepat sedangkan porsi pakan dikurangi 25%. “Pemberian pellet berprotein 18% - 20% selama kisaran 4 bulan hasilkan bandeng 4-5 ekor/kg, protein 32% itu di kisaran 5-6 ekor/2 kg,” kata dia.
Karena lahan tambak bandeng di Pemalang berukuran cukup luas, 0,7 – 1,5 ha, pemberian pakan dilakukan menggunakan ancak (perahu kecil). Dan untuk memudahkan saat panen, petambak memanfaatkan jaring arad. Puncak panen bandeng terjadi pada Juni – Agustus dan Januari – Maret.
Tiga Kali Panen
Budidaya bandeng umumnya sekitar 5-6 bulan/siklus. Dengan sistem tandon, bandeng bisa dipanen lebih cepat, 3 kali setahun. Sebab, waktu budidaya cukup 3-4 bulan/siklus. Sistem ini, ujar H. Nurin, hanya dapat diterapkan oleh petambak yang memiliki lebih dari satu petak. “Kita pelihara tiga petak, satu petak untuk tandon, dua petak pembesaran,” kata ayah empat anak itu.
Nener ditebar dalam tandon dan dipelihara selama dua bulan menjadi ukuran gelondong sekitar 5-10 cm/ekor. Setelah itu, gelondong dipindah ke kolam pembesaran 1 dan 2 yang dipelihara selama 3 bulan. Kolam tandon yang kosong pun bisa diisi nener yang baru dan bisa segera dipindah ke kolam pembesaran sambil menunggu gelondong mencapai ukuran layak panen.
Pemeliharaan nener tidak memerlukan pellet karena nener akan memakan pakan alami yang tersedia di kolam. Tingkat kematian dari nener ke gelondong mencapai 20% - 25%. Menggunakan sistem tandon juga menguntungkan karena dapat mencegah kematian dan pemberian pakan berlebih.
Windi Listianingsih