Senin, 21 Januari 2013

LIPUTAN KHUSUS : Bos Nener dari Sanggalangit

Tiap bulan ia mengirim jutaan nener ke berbagai kota. Jalan hidup mantan jurnalis yang menggugah, mengingat ia dan istri dulu punya karier bagus di Jakarta.

Halaman depan sebuah rumah permanen nan apik di Dusun Tukadpule, Desa Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng, Bali, itu dipenuhi tanaman buah. Ada mangga dan nangka yang sedang berbuah lebat. Berdiri di lahan seluas 1,1 ha, halaman belakang rumah itu menjorok jauh ke belakang, berbatasan langsung dengan laut.

Kolam-kolam induk, pemijahan bandeng, dan pembenihan nener tertata rapi di halaman belakang rumah tersebut. Sedangkan deru ombak laut sayup-sayup selalu menemani kawasan itu. Dari kolam-kolam inilah Toro, sapaan akrab Triwuryantoro, menghasilkan jutaan ekor nener (larva bandeng) setiap bulan. “Jika produksi digenjot, kami bisa hasilkan 4 juta nener tiap bulan,” tutur pria kelahiran Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah, 25 Desember 1962 ini.

Berdiri di sekitar kolam-kolam nener, penampilan Toro sungguh berbeda dengan 15 tahun lalu. Sebab, dulu ia pasti akan selalu bersama kamera SLR kesayangannya, dan pasti berada tak jauh dari perangkat komputer. Maklum, waktu itu ia adalah fotografer salah satu grup media cetak terkemuka. Bukan hanya Toro yang mengubah karier, tapi juga Ulfah, istrinya yang mesti melepas pekerjaannya sebagai editor pada salah satu penerbit buku besar di Jakarta.

Kini, kedua alumni Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UI Depok, ini sangat fasih berbicara tentang pembenihan bandeng. Pun soal pembenihan kerapu yang pada 2004-an mulai mereka garap juga. “Saya dan istri pindah ke Bali pada 1998, meninggalkan semua pekerjaan di Jakarta. Sebelumnya, saya sudah lebih dulu memantau bisnis nener di kawasan Gerokgak ini. Melihat ada peluang, saya pun membeli satu usaha pembenihan di sini dan meneruskannya dengan budidaya lebih intensif,” ujar ayah tiga anak ini.       

Memijah Malam Hari

Untuk bisa menjalankan usaha pembenihan bandeng tersebut, Toro pun mempelajari bisnis dan manajemen usaha pembenihan, termasuk teknik budidaya intensifnya. Guna menghasilkan nener, lanjut dia, tentu harus memiliki indukan yang cukup umur untuk bertelur. “Induk bandeng yang produktif bertelur itu umurnya di atas 4 tahun. Bisa dilihat dari ukuran panjangnya, bukan bobotnya, yaitu 55 cm, dari ujung kepala sampai pangkal ekor, bukan ujung ekor. ” jelasnya.

Saat ini, ia memiliki 300 ekor induk bandeng. Indukan itu dipeliharanya dalam enam kolam. Untuk memijahkan, ia menyiapkan kolam-kolam pemijahan berukuran 10 m x 10 m berkedalaman 2 m. “Perbandingannya, satu jantan dan dua betina di tiap kolam,” tambahnya.

Bandeng akan memijah setiap malam, biasanya dini hari. Telur-telur yang telah dibuahi akan mengapung dan kemudian dipindahkan ke akuarium untuk diseleksi. “Telur-telur itu baru disebar di kolam-kolam pembenihan siang harinya,“ papar Toro. Ia memiliki lebih dari 60 kolam pembenihan dengan ukuran 2 m x 3 m, berkedalaman satu meter. Setiap kolam tadi bisa menampung 75 ribu nener yang berasal dari 100 ribu telur yang diambil dari kolam pemijahan.

Umur 15 Hari  

Selama di kolam pembenihan tadi, nener diberi pakan rotifera (zooplankton). Karena rotifera harus diberi makan plankton, tambah Toro, harus disiapkan juga bak-bak pembiakan plankton. “Intinya, perbandingannya satu bak nener mesti didukung satu bak rotiferafera yang didampingi tiga bak plankton, jadi 1 : 1 : 3. Kalau rotiferanya sudah gemuk, kita masukkan ke bak pembenihan. Tapi, kita beri tambahan juga setelah umur 10 hari dengan pakan tepung ikan,” urainya.  

Setelah 15 hari dipelihara di kolam pembenihan, panjang 2-3 cm, nener siap untuk dipasarkan. Saat ini, Toro memiliki pelanggan di sejumlah kota, seperti Gresik dan Lamongan di Jawa Timur, Jakarta, serta Manado dan Makassar di Sulawesi. “Pasar terbesar Gresik dan Lamongan. Kalau pengiriman ke luar negeri, kami kirim ke Filipina,” imbuh mantan aktor teater kampus ini.

Nener yang dihasilkan di wilayah pantai Buleleng sepanjang 144 km memang diincar banyak petambak di kota lain. Pasalnya, pantai di sini disebut-sebut sebagai wilayah perairan terbaik di seluruh Indonesia untuk lokasi bertelurnya bandeng.

Sekarang, harga nener sekitar Rp9/ekor. Pengiriman ke berbagai kota pemesan dilakukan dengan cara memasukkan nener ke dalam tabung-tabung plastik yang diisi dengan 5.000 ekor. “Tapi, pembelian ada batas minimalnya. Kami memakai hitungan rean, yang sama dengan 5.000 ekor. Jadi, kalau beli berapa rean, begitu,” jelas bos yang menggaji 15 karyawan ini.

Menjual nener umur 15 hari, menurut Toro, ada alasannya. Pengirimannya ke berbagai kota mudah dan murah dari sudut transportasi, satu tabung plastik bisa diisi 5.000 nener. Pengiriman ke berbagai kota dilakukan dengan pesawat. “Biasanya, pembeli membesarkannya lagi sampai ukuran gelondongan. Ukuran inilah yang biasa ditabur di tambak-tambak,” paparnya.

Keputusan Toro dan Ida, panggilan akrab istrinya, untuk terjun ke pembenihan bandeng memang bukan pilihan sembarangan. Kini rumah luas nan asri, sejumlah mobil dan sepeda motor tampaknya merupakan buah usaha yang sepadan dari dua sejoli ini. Ada yang ingin meniru jejak mereka?            

Syaiful Hakim

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain