Harga daging yang menggila membuat rakyat tersiksa. Apakah ini arti swasembada?
Kata swasembada belakangan seakan lumrah muncul dalam pidato-pidato pejabat negara. Memang, kata ini terletak pada urutan pertama dari empat target pertanian. Di situ ada lima komoditas utama yang ingin diswasembadakan. Rinci saja, ada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Salah satu komoditas yang amat menarik adalah sapi.
Sejumlah masalah memang pernah mencuat terkait sapi potong. Kasus pelanggaran kaidah animal welfare yang berujung pembatasan impor sapi bakalan dari Australia, stok daging di pasar Jakarta yang kosong berhari-hari, harga yang melambung tinggi dan tak mau turun lagi walau Idul Fitri telah berlalu. Belum lagi, kasus pencampuran daging sapi dengan dengan daging babi pada bakso yang baru-baru ini merebak.
Di tengah kondisi yang terjadi, Syukur Iwantoro, Direktur Jenderal (Dirjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), menyatakan, “Hampir semua kepala dinas, terutama di sentra produksi mengatakan di seluruh wilayahnya, terutama di sentra produksi (sapi) itu stok cukup.” Bahkan, lanjut Syukur, beberapa daerah mengalami pertumbuhan pesat, termasuk di Papua dan Sulawesi Selatan.
Pernyataan Syukur itu dilandasi informasi yang diberikan dinas peternakan di masing-masing provinsi. Info itu juga ditunjang data tentang Jawa Timur sebagai gudang sapi terbesar, dengan kontribusi 32% dari pemenuhan sapi nasional dan saat ini memiliki populasi sapi 4,8 juta ekor. Berikutnya, Jawa Tengah, dengan populasi sapi potong 2 juta ekor, sapi perah 153 ribu ekor, dan kerbau 79 ribu ekor.
Belum lagi jika ditambah daerah lain seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Populasi ternak, menurut hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, Kerbau (PSPK), pada 2011 berjumlah 14,8 juta ekor dan pada 2012 sebesar 15,4 juta ekor. Sedangkan pada 2013 diperkirakan 16,3 juta ekor dan pada 2014 mencapai 17,2 juta ekor.
“Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014 adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. Pemerintah, dalam hal ini Kementan, bertekad mencapai swsembada daging pada 2014, yaitu dengan menekan angka importasi tak lebih dari 10% dari total kebutuhan nasional,” ujar Dayan Antoni PA, Koordinator Dewan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) periode 2010-2012.
Harga Tetap Selangit
Kini tersisa dua tahun lagi, bagaimana kemungkinan pencapaian target swasembada? Belakangan ini, harga daging sapi yang mencapai Rp90 ribu/kg sudah biasa. Padahal, bila kita tengok beberapa bulan ke belakang, rata-rata harga daging hanya Rp70 ribu/kg. Selama ini, kita percaya penawaran dan permintaan merupakan pengendali harga di pasar. Bila harga tetap selangit berarti ada masalah dengan suplai. Padahal, dengan jumlah sapi yang terhitung banyak, tentu kondisi ini tak perlu terjadi.
Salah satu pemicu kenaikan harga daging sapi ini disebut-sebut karena harga sapi bakalan dari Australia mulai merangkak naik. “Terhitung awal Oktober, harga sapi bakalan di Australia itu 3,02 dolar AS tiap kg untuk bobot hidup,” beber Syukur.
Namun, bila dihitung lebih lanjut, seharusnya kenaikan harga sapi bakalan di Australia tak terlalu berpengaruh terhadap harga dalam negeri. Pasalnya, saat ini, impor hanya 18,63% atau setara dengan 95 ribu ton daging. Bila kita menilik ke NTT dan NTB, di sana harga bobot hidup Rp22 ribu - Rp24 ribu/kg. Sementara di Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, harga bobot hidup antara Rp30 ribu - Rp32 ribu/kg. “Transportasi dan infrastruktur itu yang menjadi gap sehingga di sentra-sentra produksi yang begitu potensial sapinya tak terangkut,” ungkap Syukur.
Peternak Bukan Industri
Untuk mengantisipasi kesulitan transportasi, Syukur telah mengupayakan berbagai hal. Menurut Dirjen, masalahnya bukan pada harga, tapi pada keberadaan kapal pengangkut ternak. “Kami sudah bicara dengan TNI AL. Mereka sangat mendukung, masalahnya kapalnya besar, dan cuma bisa angkut 100 ekor karena sebagian diisi senjata,” kata pria asli Madura ini.
Selain itu, bisa juga menggunakan kapal-kapal kayu tradisional. Ada dua rute, pertama, dari Sumbawa ke Surabaya, lalu sapi diberangkatkan ke Jakarta dengan truk. Sedangkan rute kedua dari Sumbawa langsung ke Cirebon, baru naik truk ke Jakarta. “Harganya sama tapi hari yang berbeda. Lewat Surabaya 7 hari, dari Cirebon 3 hari,” timpalnya.
Masalahnya tak sesederhana itu. Endro Susilo, Koordinator Dewan Apfindo yang baru, mengungkapkan, “Peternakan Indonesia rata-rata adalah peternakan back yard (skala rumah tangga) dan sapi dijual saat mereka perlu saja, bukan industri.” Jadi, kendati kondisi sapi, baik dari segi umur maupun bobotnya layak jual, jika peternak tak membutuhkan uang, sapi tak akan dilepas ke jagal. Dengan demikian, berbagai estimasi mengenai pasokan dalam negeri bisa meleset.
Perlu Dihitung Lagi
Saat ini, angka importasi 2013 telah ditetapkan 80 ribu ton daging. Kuota ini dibagi dua, yaitu sapi 60%, dengan asumsi 180 kg/ekor sehingga akan ada 267 ribu ekor sapi. Sedangkan sisanya 40% atau 32 ribu ton dalam bentuk daging. Tapi, dengan kenyataan seperti ini, masihkah Kementan berniat mematok pasokan impor hanya 80 ribu ton?
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dikabarkan mulai berhitung. Mereka meminta penambahan kuota dari 80 ribu ton ke 105 ribu ton. Hal ini karena Kemendag memperhitungkan keberadaan ekspatriat dan turis sehingga menimbang perlu ada penambahan kuota. Endro memberi informasi, “Menteri Pertanian akan melihat pada Maret untuk menganalisis kemampuan dari kuota ini.” Jadi, akan jadi berapa harga daging sapi nantinya?
Ratna Budi Wulandari