Peningkatan konsumsi daging bisa dipastikan. Tapi, tanpa perbaikan, peluang bisa jadi ancaman.
Pertambahan penduduk dan perubahan tren konsumsi kian membuka peluang yang cukup besar bagi dunia peternakan. Semakin besar peluang, kian banyak pula tantangan dan hambatan yang dialami industri ini.
Untuk meraih kejayaan industri peternakan, diperlukan sinergi antara semua pihak yang terlibat, yaitu Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenprin) dan tentu saja pelaku bisnis industri sapi. Sayangnya, selama ini, tak hanya terjadi masalah di antara pelaku bisnis, tapi juga di antara kementerian tercium tak ada “kecocokan”.
Permasalahan utama yang membelit biasanya terletak pada data di lapangan. Perbedaan data ini berdampak cukup luas. Pasalnya, data itu digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Bila dasarnya saja berbeda, tentu hasil kebijakannya pun bakal tak serupa.
Padahal, seperti diungkapkan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB IPB), “Negara yang miskin ternak tidak pernah kaya. Jadi, kalau kita miskin populasi sapi, kita tidak akan kaya.”
Dan kalau kita lihat, lanjut Arief, India tidak mengonsumsi sapi tapi mereka mempunyai 281 juta ekor sapi. Lalu Brasil bisa mengekspor karena populasinya 187 juta ekor. Di Amerika Serikat ada 139 juta ekor sapi. Sedangkan populasi sapi kita baru 15 juta ekor dengan jumlah penduduk yang 240 juta jiwa. Melihat kondisi itu, jelas kita perlu meningkatkan populasi.
Samakan Data
“Yang paling penting untuk kami (Kemendag), dalam rangka swasembada, adalah keakuratan data. Karena data yang tidak akurat bakal membuat pertikaian antara Kementan, Kemenprin, dan Kemendag,” kata Ir. Tjahya Widayanti, M.Sc, Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag. Pernyataan Tjahya itu muncul saat ia menyampaikan materi mengenai Kebijakan Perdagangan Dalam Pemenuhan Daging Sapi di Dalam Negeri, pada acara Musyawarah Nasional ke-7 Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), 12 Desember lalu.
Salah satu contoh adalah mengenai perhitungan stok sapi. “Edible meat untuk sapi lokal awalnya 167 kg/ekor, sekarang menjadi 170,14 kg/ekor. Kalau sapi impor itu sekitar 199,3 kg/ekor, tapi dalam perhitungannya (sapi lokal dan impor) itu disamakan,” ujar lanjut Tjahya.
Tak hanya masalah data stok, berapa jumlah konsumsi rata-rata, itu pun tidak jelas. “Apakah konsumsi rata-rata per kapita kita 1,9 kg/kapita, 2,1 kg/kapita, 2,2 kg/kapita atau 3 kg/kapita? Kita ‘kan berkutat dari angka itu. Jadi, sekali lagi, saya perlu angka yang benar,” tambah Arief.
Untuk mengatasi simpang-siurnya data tersebut, Juan Permata Adoe, Ketua Komite Agribisnis Peternakan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), menyarankan, “Buat program pendaftaran sapi dengan melibatkan tiga kementerian. Semua sapi di Indonesia didata, jadi kita omongnya clear.”
Ubah Cara Pikir
Tak semata masalah data, pengusaha dan pemerintah pun harus bahu-membahu dalam mengubah pola pikir peternak yang masih menganggap ternak barang simpanan. “Peternakan kita itu kepemilikannya baru 5 ekor/peternak. Kalau kita lihat, reproduksinya pun tak diarahkan. Kemudian peternaknya kebanyakan sambilan, ia tidak hanya hidup dari beternak,” ujar Juan.
Kondisi ini cenderung terjadi di Jawa. Meskipun, memang di beberapa daerah pemikiran seperti itu mulai bergeser. Itu sebabnya, lanjut Juan, dalam kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Sumba, NTT, ia memerintahkan Menteri Keuangan mengalokasikan dana Rp1 triliun untuk pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. “Tugas kita sebagai pengusaha harus memberi input. Kalau mengenai infrastruktur peternakan, lahannya harus diperbaiki, rumputnya harus diperbaiki, dan sistemnya juga harus diperbagus,” tambahnya.
Dalam pembinaan petani, pengusaha sapi bisa mencontoh keberhasilan yang diraih industri unggas. Dengan menerapkan sistem kemitraan, kini industri unggas menjadi salah satu industri yang menggurita. “Kita memiliki peluang membangun kemitraan itu besar sekali,” kata Arief.
Konsumsi Terbuka Lebar
Pola pikir peternak perlu diubah menjadi lebih industrialistis. Pasalnya, prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) tiap tahun mengabarkan jumlah penduduk bertambah kencang. Pada 2012, penduduk Indonesia akan menembus 240 juta jiwa. Tak hanya dari jumlah penduduk, pendapatan per kapita masyarakat pun bakal naik. “Sekarang middle class itu meningkat pendapatannya, jadi banyak orang kaya baru (OKB),” prediksi Tjahya.
Keberadaan OKB tentu sedikit-banyak akan berpengaruh terhadap pola konsumsi yang ada. “Pola pengeluaran makanan akan bergeser dari biji-bijian dan makanaan pokok ke sayur-mayur, buah, daging, susu, telur, dan ikan,” jelas Arief.
Bisa dibayangkan berapa kebutuhan daging ke depan bila konsumsi per kapita naik satu kg saja. Dan kondisi itu sangat dimungkinkan karena saat ini konsumsi daging sapi masyarakat hanya 2,09 kg/kapita/tahun. Bila dibanding dengan negara lain seperti Jerman, konsumsi daging mereka mencapai sekitar 50 kg/kapita/tahun. Kemudian Amerika sekitar 44,55 kg/kapita/tahun. “Konsumsi di Asia masih kecil, Jepang hanya 10 kg/kapita/tahun, Singapura 7 kg/kapita/tahun, dan Malaysia 7 kg/kapita/tahun,” terang Tjahya.
Selain itu, konsumsi dari turis dan ekspatriat perlu dihitung. “Kalau berdasarkan data BPS 2011, turis ada sekitar 8 juta jiwa dan diproyeksikan meningkat tiap tahun sekitar 12,5%. Bila kita gunakan konsumsi rata-rata 8 kg/kapita/tahun jadi berapa butuhnya?” tanya Tjahya.
Bila dihitung-hitung, pada 2013 akan ada lebih dari 10 juta turis yang datang ke Indonesia. Bila mereka mengonsumsi 8 kg/kapita/tahun, maka dibutuhkan tambahan sebesar 80 juta kg daging. Jadi, mari kita beternak layaknya industri.
Ratna Budi Wulandari