Jumat, 21 Desember 2012

Moraturium dan Konflik Lahan Sawit

Wilayah perkebunan kelapa sawit terus tumbuh dengan pesat, mencapai rata-rata 400.000 ha per tahun. Pada 1995 luas wilayah perkebunan sawit hanya 2 juta hektar. Pada pertengahan 2012, luas wilayah perkebunan sawit telah melonjak menjadi 8,2 juta hektar.

Perluasan lahan perkebunan sawit ini, menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Gideon Saragih dampak sosial yang muncul adalah konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat atau lokal, petani dan buruh perkebunan sawit. “Tak jarang konflik ini berujung pada kekerasan yang berakibat pada kriminalisasi bahkan kematian,” kata Jefri Gideon Saragih dalam Diskusi Akhir Tahun 2012 bertema Antara Politik Pelestarian Hutan dan Bisnis Sawit di Jakarta, Kamis (20/12).

Sementara Kepala Tim Kerja Penegakan Hukum dan Pengkajian Peraturan Satgas REDD plus Mas Achmad Santosa mengatakan segi penegakan hukum perlu dibenahi untuk mengatasi konflik lahan. Ada tiga akar utama masalah konflik lahan sawit dengan masyarakat. Pertama, ketidakjelasan status lahan dan kepemilikan. Kedua, ketimpangan struktur kepemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Ketiga, adanya kelemahan dalam tata kelola pemerintahan.

"Konflik lahan dan plasma terjadi dan semakin meluas seiring ekspansi usaha sawit yang berkembang pesat dan tidak diiringi kebijakan pengaman sosial yang memadai," ujar Mas Achmad.

Menurut Jefri Gideon, upaya moratorium juga bisa mengurangi konflik antar warga dan perusahaan perkebunan sawit yang sebagaian besar diakibatkan dari permasalahan lahan. “Kalau moratorium diberhentikan akan makin banyak kerusahan yang melanda di daerah-daerah sehingga bisa saja terjadi gelombang kerusuhan dimana-mana,” katanya.

Sebaliknya, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono menilai jika moratorium tidak diikuti langkah bijak karena substansi penegakan hukum belum jelas dan rencana tata ruang wilayah belum rampung. “Dengan adanya moratorium maka nantinya akan menghambat ekspansi para pelaku usaha sawit,” kata Joko Supriyono.

Ia menggambarkan, dengan adanya moratorium tersebut yang tadinya bisa memproduksi 600 ribu ton per tahun hanya bisa menjadi 300 ribu ton. Artinya,  akan ada opportunity lost sebesar 300 ribu ton. Padahal 300 ribu ton ini bisa menjadi sumber peningkatan ekonomi Indonesia.

Selain itu, ada sekitar 60 ribu tenaga kerja akan kehilangan pekerjaannya. “Tak hanya itu, pembangunan infrastruktur di daerah juga menjadi terhambat padahal Indonesia sangat membutuhkan sektor riel yang sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah,” jelasnya.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain