Kamis, 13 Desember 2012

Itik Mati Karena AI

Virus H5N1 yang tergolong highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) beraksi lagi. Virus yang pertama kali menyerang ayam komersial pada 2003 ini berpaling pada itik. Satu persatu hewan yang dulu tidak pernah tersentuh AI ini kini bertumbangan.

Berdasarkan laporan dari anggotanya, Ade M Zulkarnain, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) membeberkan, dari 300 ribu ekor populasi itik di Pemalang sebanyak 75 ribu ekor mati, di Pati yang memiliki populasi 85 ribu ekor itik mati 70 ribu ekor. Sedangkan di Tegal yang memiliki populasi 400 ribu ekor mati sebanyak 4 ribu ekor. Data ini belum ditambah dari beberapa daerah lain di luar jawa tengah.

“Total kematian yang dilaporkan oleh anggota 320 ribu ekor. Cirbon memiliki populasi 405.500 ekor itik yang mati 5.357 ekor,” ungkap Ade dalam diskusi terbatas yang diadakan di gedung A kementerian pertanian, Rabu, (13/12).

Agak berbeda, Berdasarkan perhitungan dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan sejak akhir November sampai 12 Desember lalu di Jawa Tengah ditemukan 61.459 ekor itik yang mati. Kematian tersebut tersebar di 21 kabupaten/kota, dengan jumlah terbesar di daerah Demak dengan jumlah 13.200 ekor menyusul kemudian Brebes 11.000 ekor. Bahkan Di Indramayu 1.107 ekor bebek dari 8 desa pun turut terkapar.

Kematian tersebut bukan dikarenakan inveksi virus H5N1 clade 2.1.3 yang sudah ada selama ini. Tetapi, virus baru H5N1 clade 2.3.2 yang merupakan biang keroknya.

Kemungkinan besar virus tersebut berasal dari mutasi genetik virus AI yang sudah ada, introduksi virus baru dari luar negeri yang berasal dari burung liar, atau impor ilegal. “Menurut analisa pakar, kemungkinan penyebab introduksi baru dari luar negeri jauh lebih besar dibandingkan kemungkinan oleh mutasi genetik dari virus lama,” ujar Pujiatmoko, Direktur Kesehatan Hewan.

Untuk mengendalikan virus tersebut pemerintah pun berstrategi. Selain deteksi, lapor, respon dini, dan Biosecurity, Puji menambahkan, “Kita menganjurkan kepala dinas untuk melakukan depopulasi terbatas secepatnya.”

Strategi tersebut mendapat tantangan keras dari Ade. “Depopulasi akan mengakibatkan hilangnya sumber genetika lokal,” kata Ade tegas.

Selain itu, bila depopulasi tidak diikuti dengan ganti rugi yang jelas. Sedangkan saat ini saja peternak sudah merugi cukup banyak. Dengan rata-rata harga itik yang mencapai Rp40 ribu, maka bila ada 320 ribu itik yang mati maka akan ada 12,8 milyar uang yang musnah. Kalau depopulasi jadi dilakukan, berapa banyak lagi kerugian yang akan ditanggung peternak?

Ratna Budi Wulandari

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain