Senin, 10 Desember 2012

LIPUTAN KHUSUS : Merajut Rantai Suplai dari Gorontalo

Rantai suplai jagung dari produsen, pengumpul, hingga ke industri pengguna yang sebelumnya compang-camping, kini mulai jalinan lebih rapi.

Penyelenggaraan International Maize Conference (IMC) di Kota Gorontalo 22-24 November silam memberi semangat kepada para pelaku bisnis jagung untuk menata rantai suplai yang selama ini tak berjalan ideal. Dalam dua sesi temu bisnis selama dua hari berturut-turut, meriunglah unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan penyedia benih, investor asing, pedagang, pengolah, dan industri pengguna jagung. Unsur-unsur rantai suplai ini berembuk mengatur bisnis jagung, mulai dari budidaya, pascapanen, hingga sampai ke industri, khususnya pakan ternak. Hasilnya cukup memberikan harapan.

Permasalahan

Selama bertahun-tahun rantai suplai jagung menghadapi masalah yang sama sehingga nyaris menjadi problema klasik. Industri pengguna jagung, terutama industri pakan ternak, membutuhkan jagung dengan volume nyaris rata sepanjang tahun untuk memproduksi pakan. Sementara volume pasokan jagung dari petani berfluktuasi karena pola tanam nyaris serentak. Dari semester pertama, pasokannya mencakup 70% dari produksi nasional, sedangkan semester kedua hanya ada 30% produksi.

Kondisi tersebut menyulitkan kedua pihak. Ketika industri butuh jagung, mereka sulit mendapatkannya karena pas langka panenan. Sebaliknya saat petani panen raya, mereka sulit menjual atau kalau pun terjual harganya tidak menguntungkan. Pasalnya, kapasitas pengering dan silo industri terbatas serta kualitas tidak sesuai standar. Akhirnya, industri pakan terpaksa mengimpor di tengah klaim pemerintah bahwa produksi jagung melimpah.

Melimpahnya produksi itu diakui Udhoro Kasih Anggoro, Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) di tempat yang tersebar. Lokasi produksi ini bisa jadi jauh dari lokasi pabrik-pabrik pakan yang sangat butuh pasokan jagung. Pengumpulan jagung dari lokasi produksi yang terpencar itu makan ongkos mahal. Tidak saja lantaran harus mengolah panenan agar sesuai standar, tapi juga keterbatasan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan fasilitas angkutan. 

Dalam temu bisnis itu, Anggoro menyatakan akan fokus menyediakan produksi sekitar 7 juta ton untuk pabrik pakan. “Silakan pilih lokasi di mana,” ucapnya kepada para pelaku industri di antaranya Japfa Comfeed Indonesia Tbk., Charoen Pokphand Indonesia Tbk., Sinta Prima Feedmill, juga Malindo Feedmil.  

Selain itu Dirjen juga menawarkan bantuan dari APBN kepada pemerintah daerah (kabupaten) yang berminat mengembangkan jagung. “Bantuan berupa hand tractor (traktor tangan), benih, atau fasilitas pascapanen. Harus pilih salah satu. Kalau mau dari hulu sampai hilir ya nggak kerja,” tegasnya kepada para kepala daerah atau dinas pertanian yang hadir, yaitu Kabupaten Pasaman Barat, Solok Selatan  (Sumbar), Aceh Tenggara (Nanggroe Aceh Darussalam), Berau (Kaltim), dan Boalemo, Pohuwato (Gorontalo). 

Mendirikan Kemitraan

Untuk menyambungkan produksi tadi ke industri pakan, hadir pedagang (trader), pengolah sekaligus pedagang, dan pengusaha pelaku kemitraan. Pengusaha yang melakukan kemitraan dengan petani adalah Saudi Indonesia Multi Investment (SIMI), investor dari Arab Saudi. Sejak 2009 mereka mendirikan proyek di daerah Sumalata, Kabupaten Gorontalo Utara.

Menurut James Dauman, Direktur SIMI, pihaknya menjalin kemitraan dengan petani setempat. Perusahaan menguasai lahan inti dari HGU seluas sekitar 450 ha. Mereka mencoba melakukan penanaman berkesinambungan untuk dapat memasok industri pakan. “Kami berharap dapat menanam lahan palsma seluas 800 – 1.000 ha dalam satu tahun. Penanamannya bergiliran per blok seluas 30 – 35 ha, setahun tiga kali tanam,” jelasnya ketika ditemui AGRINA di Jakarta.

Tata cara bertanam jagung tersebut tentu saja melalui kajian serius dulu di lahan inti sebelum teknologinya ditularkan ke petani mitra. Produktivitasnya mencapai 7,2 – 8 ton/ha. “Kami menggunakan peralatan mekanisasi untuk pengolahan lahan dan panen,” ujar Dauman sembari memamerkan video di ponselnya. 

Setelah kelar mendirikan fasilitas pengering  berkapasitas 16,5 ton/8 jam bulan lalu, Dauman berharap dapat beroperasi penuh pada kuartal pertama tahun depan. “Produksi kami targetkan 16 ribu – 18 ribu ton jagung pipilan kering tahun depan,” tandas pria yang sebelumnya berkantor di Abu Dabhi, Uni Emirat Arab, ini. Saat ini mereka sudah mulai menjual jagung ke Gorontalo sendiri, Surabaya, Makassar, dan Jakarta.

Dari temu bisnis ini, Dauman mengaku mendapat tawaran untuk membuat kemitraan serupa dari Kabupaten Pohuwato. Di sentra produksi terbesar di Gorontalo ini, sudah beroperasi investor Korea Selatan, yaitu PT Harim. “Kami akan lakukan litbang dulu untuk budidaya di sana. Setelah itu, kami akan pertimbangkan bekerjasama dulu dengan Harim. Mereka kan punya fasilitas berkapasitas besar, pengering 30 ton/hari dan silo 6.000 ton,” imbuh Dauman.

Tawaran kerjasama produksi juga datang dari PT Sang Hyang Seri (SHS). Perusahaan pelat merah ini menawarkan pengembangan seperti Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K). Selama ini, kata H. Muhammad Yasir, General Manager Regional VI, hasil produksi program GP3K belum ada off-taker-nya (penampung). Dalam kerjasama itu, rencananya petani mitra SIMI akan mendapat pasokan sarana produksi dari SHS. Yang jelas, SIMI mengincar 15 proyek sejenis di seantero Indonesia.

Menampung dan Memproses

Bila SIMI mengembangkan kemitraan dengan petani, lain halnya dengan PT Harim. Menurut Chang Yong Joo, Presiden Direktur Harim, pihaknya saat ini baru sebatas menampung jagung dari petani dan pengumpul. Dengan mendirikan dua pabrik di Desa Datahu. Kec. Tibawa dan Kel. Libuo, Kec. Paguat, keduanya di Kab. Pohuwato.

“Kami tahun lalu membeli 13 ribu ton. Tahun ini menargetkan 25 ribu ton tapi hanya mendapat 24 ribu ton. Tahun depan kami memasang target 40 ribu ton,” ujar Chang saat ditemui di arena pameran IMC.

Keberanian Harim memasang target tinggi itu, menurut Iskandar Harun, Manajer Harim, lantaran lokasi pabrik merupakan daerah sentra terbesar di Gorontalo. Apalagi berdasar pengamatannya, kehadiran perusahaan ini tampak menggairahkan bagi petani. “Saya lihat lahan-lahan yang tadinya kosong, sekarang banyak ditanami jagung,” tandasnya.

Penuturan Iskandar dikonfirmasi H. Amin Haras, Wakil Bupati Pohuwato. “Daerah kami ini memproduksi jagung sekitar 300 ribu ton setahun. Kami ingin mengembangkan lagi karena masih ada sekitar 100 ribu hektar yang cocok untuk tanam jagung,” ujar Amin.

Harim memproduksi jagung dalam tiga kategori. Yang terendah untuk pasar lokal, sedangkan dua terbaik dilempar ke pasar antar pulau, terutama pabrik pakan. Chang yang berpengalaman 20 tahun lebih di industri pakan ternak di negaranya itu juga tertarik mengekspor jagung ke Korsel. Namun, “Volume yang berkualitas premium masih sedikit sehingga belum ekonomis,” katanya sembari menunjukkan betapa banyak kebutuhan jagung untuk pabrik pakan ternak di Korsel. Konsumsi pakan ternak di sana mencapai 2,6 juta ton.

 Menggandeng Perusda

Pola berbeda dirintis Leonardus H. Soekinto, Direktur PT Bumi Prima Lestari Indonesia (BPLI) di Jakarta Pusat. Hengki, begitu biasa ia disapa, mengaku “pusing” jika harus berhubungan dengan banyak pemasok. “Mula-mula saya ambil jagung dari perbatasan Jawa Tengah, mulai dari Cepu hingga ke bawah Gunungkidul, lalu Jawa Timur bekerjasama dengan para pengumpul. Namun permasalahannya kompleks. Hari ini ia bisa beli, besok belum tentu bisa beli lagi. Masalahnya bukan saja tidak kontinunya produksi tetapi juga komitmen bisnis para pengumpul itu yang tidak semuanya baik. ’Uang sekolah’ kita banyak juga keluar karena dikerjai oknum yang tidak baik itu,” cerita Hengki sembari tersenyum kecut

Karena itu pihaknya kini merangkul dinas pertanian setempat dan sebuah perusahaan daerah (perusda) di Kabupaten Nganjuk, Jatim. Perusda ini yang akan berhubungan dengan petani maupun pengumpul. “Saya tinggal melakukan pembinaan kepada para petani dan pengumpul bagaimana menghasilkan jagung yang sesuai standar industri (pabrik pakan). Dengan demikian, saya ambil jagung terus memasukkan ke pabrik pakan,” terang Hengki ketika dijumpai di kantornya.   

Sejauh ini pihaknya merasa cukup nyaman menerapkan pola tersebut. Tahun ini memang baru sekitar 500 ton yang berhasil diambil dari daerah itu.  Pelaku bisnis kedelai ini berniat mengajak daerah lain yang mau mengembangkan jagung dengan pola seperti itu.

Suara dari Hilir

Lini produksi ke pengumpul mulai terbentuk. Bagaimana mengarah ke industri pengguna? Industri penyerap jagung paling jelas adalah pabrik pakan ternak.  Tahun ini industri pakan membutuhkan sekitar 6,5 juta ton jagung. Namun pasokan kurang sehingga diperkirakan mereka terpaksa impor sampai 2 juta ton.

Tahun depan kebutuhan jagung untuk pakan ini meningkat sampai 7 juta ton.  Cukup banyak memang. Tak heran bila mereka membuka diri. “Berapa pun jumlahnya akan kita serap,” tandas ... dari PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Tentu saja dengan catatan standar kualitas yang diharapkan perusahaan. Standar itu bisa dicapai bila petani melakukan pascapanen dengan benar: petik – olah – jual.

Terkait standar ini, Johan dari Charoen Pokphand Indonesia mengungkap, di lapangan seringkali terjadi kesenjangan kualitas antara jagung petani dan jagung standar industri. Walhasil, jual belinya seperti permainan jungkat-jungkit. Petani ingin mendapat harga jual setinggi-tingginya, industri kepingin semurah mungkin karena kualitas tidak sesuai sehingga harus diolah dulu.

Peni Sari Palupi, Renda Diennazola

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain