Optimisme dunia perlu disambut baik tanpa melupakan potensi dan karakter bangsa.
Melihat carut-marut stabilitas politik Indonesia, kebanyakan anak negeri pesimistis dengan masa depan ekonomi bangsa yang menganut paham Bhinneka Tunggal Ika ini. Sementara menurut kacamata asing, salah satunya McKinsey Global Institute (MGI), lembaga konsultan terbesar dunia yang berbasis di Amerika Serikat, ekonomi Indonesia memiliki prospek cerah.
September lalu, MGI mengeluarkan laporan berbertajuk The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential yang mengungkap pada 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 dunia mengalahkan Jerman dan Inggris. Saat itu, Indonesia diprediksi memiliki peluang pasar USD1,8 miliar untuk sektor jasa, pertanian dan perikanan, sumber daya alam, dan pendidikan. Sedangkan penambahan jumlah kelas menengah mencapai 135 juta orang, 71% populasi di perkotaan akan menghasilkan 86% GDP (Gross Domestic Bruto), dan akan dibutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil. Saat ini Indonesia berada di urutan ke-16 perekonomian terbesar di dunia.
Pertanian dan Perikanan
Di sektor pertanian dan perikanan, MGI memprediksi pendapatan meningkat 6% per tahun, mencapai USD450 miliar pada 2030. Pendapatan dari sisi produksi bisa melonjak hingga USD250 miliar dengan peningkatan hasil panen. Industri pengolahan makanan dan minuman bisa menciptakan peluang ekonomi USD180 miliar. Sementara, aktivitas di hulu seperti industri mesin, pupuk, dan benih memberikan potensi tambahan tahunan USD10 miliar serta pendapatan total USD20 miliar setahun.
Prof. Dr. Bustanul Arifin, pakar agribisnis, juga mengungkap hal yang sama. Dari 5 subsektor agribisnis, perikanan memiliki pertumbuhan terbesar. “Perikanan, perkebunan, peternakan not bad ya, cukup prospektif. Nah perikanan itu paling bagus, 6% tumbuhnya. Kalau pertanian sendiri kan 3,46%. Over all rata-rata 5%. Yang merusak rata-rata itu kehutanan dan tanaman pangan,” paparnya.
Kendati demikian, Bustanul tak terpaku laporan MGI. “Kami sedang menyusun perencanaan pembangunan jangka panjang dengan visi dan misi khas Indonesia yang menyesuaikan karakter bangsa. Justru itu yang harus jadi acuan,” tegas Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Lampung itu. Menurut Bustanul, analisis pihak asing sah-sah saja dijadikan pertimbangan. Namun, pembangunan pertanian harus mengacu potensi dan karakteristik daerah. Pasalnya, ketika pemerintah sepenuhnya menuruti kemauan asing, dikhawatirkan salah arah seperti kasus krisis ekonomi pada 1998 silam.
Bustanul juga angkat bicara soal analisis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang menganggap Indonesia terlalu membuang-buang sumber daya untuk fokus pada program ketahanan pangan. Karena itu, OECD mengajurkan pemerintah memikirkan kembali arah kebijakan pertanian agar berinvestasi ke produk bernilai ekonomi tinggi (high value product), seperti hortikultura. Namun, Bustanul menilai ketahanan pangan adalah perkara yang wajib dipenuhi. “Kalau Anda eksportir bunga, eksportir buah eksotik, lalu kita tidak makan, kita masih impor, saya pikir secara politik tidak stabil juga,” ujarnya mengibaratkan. Konsentrasi pada komoditas eksotik berdasarkan daerah unggulan juga penting asalkan tidak membuang program ketahanan pangan karena terkait hajat hidup bangsa dan bersifat politis.
Di lain pihak, Dr. Ir. Arief Daryanto, M. Ec., Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB, mengatakan Indonesia perlu menggeser arah kebijakan pertanian dari pangan pokok menjadi produk bernilai ekonomi tinggi seperti sayur, buah, daging, telur, ayam, dan ikan. Sebab, mengacu pada laporan MGI, pola konsumsi masyarakat akan begeser dari makanan pokok ke sayur-mayur, buah-buahan, daging, susu, telur, dan ikan, seiring peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah. Selain itu, permintaan makanan ready to cook dan ready to eat juga meningkat.
Langkah-langkah
Menurut Arief, untuk meningkatkan pembangunan pertanian, pemerintah harus mengedepankan penambahan alokasi dana riset dan pengembangan teknologi, diikuti perbaikan sarana irigasi, penyuluhan, akses perbankan, dan reformasi agraria. Sementara Bustanul mengutamakan dukungan sektor lain dalam pembangunan pertanian, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan makro seperti laju inflasi dan suku bunga, kebijakan infrastruktur, serta riset dan inovasi secara umum.
Sebab, sambungnya, 67% kinerja pertanian ditentukan sektor lain. Sektor pertanian hanya menyumbang 33% saja. “Kalau sektor lain nggak kepegang, mau menteri pertaniannya ganti 10 kali juga nggak akan pernah maju,” sindirnya. Ia menggambarkan kondisi pertanian di era Orde Baru yang mengedepankan pembenahan sektor lain seperti pembangunan irigasi, jalan, penyediaan pupuk, dan kebijakan harga. Setelah itu, diikuti pendampingan menyeluruh dan dialog dengan petani. Dampaknya, petani makmur dengan bercocok tanam dan swasembada terwujud. Di samping itu, pencetakan sawah baru tetap harus dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok karena masih tersedianya lahan. “Cetak sawah baru penting, intensifikasi juga penting. Jangan dibikin pilihan. Sepanjang uang masih ada, dikerjakan saja,” tantangnya.
Sementara di sektor perikanan, Bustanul menyarankan pemerintah fokus pada perbaikan tambak perikanan budidaya mengingat banyak potensi belum tergarap. Pembiayaan juga wajib dipenuhi melalui bantuan pemerintah ataupun perbankan.
Windi Listianingsih