MGI meramalkan prospek ekonomi Indonesia sangat cerah pada 2030 sebagai “the sevent biggest countries”.
McKinsey Global Institute (MGI) memprediksi pada 2030, peluang pasar Indonesia akan tumbuh USD1,8 miliar yang didorong kemajuan ekonomi pada 4 sektor, yaitu jasa, pertanian dan perikanan, sumber daya alam (SDA), dan pendidikan (sumber daya manusia, SDM). Akankah terbukti?
Berikut pandangan Dr. Ir. Arief Daryanto, M. Ec, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB, tentang ramalan MGI yang dikemukakan kepada AGRINA.
Mengapa MGI begitu optimistis melihat Indonesia?
Sebenarnya bukan McKinsey saja yang optimistis. Kalau dulu ekonomi dunia itu melihat sumber pertumbuhan di negara BRIC, yaitu Brazil, Rusia, India, dan China, sekarang Indonesia masuk ke new emerging countries yang disebut CIVETS. CIVETS itu akronim yang diberikan Robert Ward, ahli peramal dunia yang bertugas di Economist Intelegent Unit. Ia meramalkan pasar yang ke depan tumbuh pesat itu negara CIVETS, yaitu Columbia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey, South Africa.
Selain itu Jim O’Neill, dari Goldman Sachs, Indonesia juga diramalkan sebagai the next eleven countries (N-11) yang juga merupakan emerging market yang sangat favorit bagi pertumbuhan ekonomi ke depan. N-11 itu antara lain Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Bangladesh, Mesir, Nigeria, Pakistan, Filipina, Vietnam, dan Iran. Sebenarnya banyak yang meramalkan Indonesia sebagai negara jagoan dalam perekonomian. Ada lagi VISTA country, yaitu Vietnam, Indonesia, South Africa, Turkey, dan Argentina. Indonesia diramalkan jadi salah satu jagoan ekonomi di masa datang.
Apa sebabnya MGI berpendapat Indonesia memiliki prospek cerah?
Pertama, Indonesia memiliki SDA melimpah, kedua, penduduk Indonesia yang produktif besar, itu usia kerja yang disebut deviden demografi. Pada 2030, diperkirakan populasi kita jadi 280 juta jiwa, kalau sekarang 240 juta jiwa. Kemudian pada 2030, kira-kira 70% dari jumlah populasi itu berusia antara 15-64 tahun, 10% kurang dari 15 tahun. Jadi 70% itu merupakan young population yang sangat produktif, makanya disebut demographic deviden. Sedangkan negara lain didominasi aging population, populasi berumur tua. Dengan deviden demografi, saat tingkat pendidikan makin baik tentu labour productivity meningkat.
Menilik sektor pertanian dan perikanan yang diramalkan memacu pertumbuhan, apa yang harus dilakukan?
Ada beberapa hal bisa ditingkatkan. Ada strategi intensifikasi dan ekstensifikasi. Kalau strategi ekstensifikasi itu tak memungkinkan karena saat ini sangat sulit mencari lahan baru. Jadi, kata kuncinya intensifikasi. Sejauh ini ada 100 ribu ha/tahun konversi lahan ke nonpertanian. Tantangan intensifikasi ini, harus didukung research and development (R&D). Jadi, dukungan R&D bagi pertanian itu menjadi sangat-sangat penting. Dibandingkan negara lain, alokasi R&D kita sangat kecil. Pengeluaran R%D atau R&D spending di Indonesia baru 0,27% dari GDP (Gross Domestic Product) pertanian, sedangkan Malaysia 1,92%. Karena R&D rendah, benih unggul yang dihasilkan tak seperti diharapkan. Padahal, return on investment untuk R&D tinggi sekali, antara 43% - 151%.
Jadi, pertama, untuk menggarap pasar sektor pertanian yang sangat besar adalah ketersediaan teknologi yang didukung alokasi pengeluaran R&D yang ditingkatkan. Kalau bisa menyamai Malaysia, sebesar 2%. Kedua, benahi sistem irigasi untuk tanaman pangan dan hortikultura. Karena selama ini sistem irigasi tidak semakin baik, banyak saluran rusak. Membangun waduk baru untuk perbaikan irigasi sangat penting. Ketiga, untuk meningkatkan yield bisa dengan peningkatan penyuluhan masyarakat pedesaan. Dulu keberhasilan dinas kita ’kan karena ketersediaan penyuluh. Akses petani, peternak, dan nelayan untuk kredit, perbankan,. harus dibenahi. Lainnya, penataan reformasi agraria. Terakhir, kendala infrastruktur, misalnya transportasi dan biaya logistik sangat mahal karena infrastrukturnya jelek. Faktor penghambat daya saing juga ada di luar pertanian, seperti inefisiensi birokrasi dan korupsi. Jadi, korupsi pun sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Kalau anggaran pembangunan sarana-prasarana di pedesaan, seperti jalan, irigasi, tak semuanya dialokasikan ke sana, ada corruption there, tentu mempengaruhi ketahanan pangan.
Kemarin OECD menerbitkan buku tentang agricultural policy. Arah pembangunan kita perlu dipikirkan kembali, jangan terlalu berlebihan ke tanaman pangan, tapi ke komoditas yang lebih tinggi nilainya, seperti buah-buahan, sayur-mayur, daging, susu, telur, dan ikan. Ke depan, permintaan produk bernilai tinggi ini meningkat. Jadi, produktivitas dan produksi hasil pertanian bernilai tinggi harus lebih diperhatikan. Sebab, dengan peningkatan pendapatan, kita tak lagi hanya mengonsumsi biji-bijian dan makanan pokok, tapi bergeser ke sayur-mayur, buah-buahan, daging, susu, telur, dan ikan. Lalu juga permintaan makanan yang ready to cook dan ready to eat kian meningkat. Nah, ini harus diarahkan ke komoditas higher value product tadi, tak hanya staple food.
Bukankah sekarang arahnya ke sana?
Iya, cuma masih bias ke tanaman pangan. Jadi, harus memiliki arah baru yang berpihak masyarakat miskin, yang sekitar 13% dari jumlah penduduk. Untuk mengurangi kemiskinan itu, pertama, paling efektif adalah pembangunan pertanian karena 70% masyarakat miskin ada di pedesaan. Kedua, saat ini dalam perekonomian Indonesia terjadi transformasi struktural yang menunjukkan sumbangsih sektor pertanian terhadap GDP tinggal 15%, manufacturing and services meningkat. Ke depan, pertanian harus diolah. Harus ada program-program hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah pada manufacturing and services, tak hanya on-farm. Kita harus mendorong penanaman modal di sektor pertanian, agroindustri, dan agro-services. Yang penting peningkatan iklim investasi yang memperbaiki birokrasi dan korupsi. Kalau tidak, peluang cerah tadi tak bisa kita manfaatkan.
Pembangunan sektor perternakan dan perikanan sendiri seperti apa?
Perikanan itu terdiri dari 2 sektor utama, pertama, sektor penangkapan, kedua sektor aquaculture atau budidaya. Pada penangkapan, ada illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF) dari kapal-kapal asing. Itu kehilangan sangat besar, ditaksir USD4 miliar. Karena itu, kita harus mengatasi persoalan IUUF dengan memperbaiki surveillance dengan patroli kapal atau nelayan juga melaporkan jika terjadi IUUF. Kedua, modernisasi alat tangkap dan kapal.
Untuk aquaculture, yang diperlukan adalah modernisasi dan intensifikasi tambak. Dan juga kebutuhan high values commodities termasuk udang, tilapia (nila), crab (kepiting). Terus juga meat fish, itu ’kan pertumbuhannya sangat pesat. Sekarang di mana-mana ada (restoran) Lele Lela, terus seafood juga banyak dikembangkan. Dengan peningkatan pendapatan di masyarakat terjadi diversifikasi konsumsi. Dan juga biosekuriti harus ada untuk peningkatan kualitas, guna memperbaiki farm management dan feeding management.
Sekarang kita lihat di peternakan, kayak ayam, itu ’kan dipasarkan terutama pada pasar tradisional, 80-85%, sama juga ikan. Untuk meningkatkan nilai tambah, ayam jangan hanya dipasarkan dalam bentuk fresh tapi juga frozen, lalu diolah jadi semacam sosis, nugget. Value added-nya sangat tinggi. Ikan juga seperti itu. Dan perbaikan cold chain marketing system supaya kualitasnya bagus. Nah, ini yang penting ke depannya.
Windi Listianingsih