Senin, 12 Nopember 2012

LIPUTAN KHUSUS : Menguak Ihwal Bibit Berkualitas

Saat harga anjlok, banyak pesanan bibit karet dibatalkan. Saat harga melonjak, banyak yang mencari bibit, tapi bibitnya tidak ada.

Kenyataan yang dicetuskan Ir. Cicilia Nancy, MS, peneliti Sosial Ekonomi dan Pola Usaha Tani, Balai Penelitian (Balit) Sembawa, Pusat Penelitian Karet, pada Konferensi Nasional Karet di Yogyakarta (20/9). Menurutnya, permintaan terhadap bibit karet memang sangat dipengaruhi fluktuasi harga.

Tahun 2000, harga karet alam SIR 20 (Standard Indonesian Rubber) sempat terpuruk hingga US$0,40/kg. Harga terus menanjak pada tahun berikutnya, dan hanya sempat bergerak turun saat krisis global pada 2008. Harga karet mencapai puncak tertinggi tahun lalu sebesar US$4/kg dan tahun ini kembali turun ke titik US$3,50/kg.

Kebutuhan Bibit Tinggi

Perkembangan perkebunan karet memang cenderung mengalami peningkatan jika dikaitkan dengan harga. Terutama pada perkebunan karet rakyat yang luas arealnya terus bertambah. “Penanaman karet yang sangat pesat oleh rakyat sudah pasti akan meningkatkan permintaan terhadap bahan tanam. Meningkatnya permintaan terhadap bahan tanam akan memacu berkembangnya klon pembibitan karet terutama di tingkat penangkar,” ucap Nancy.

Sebagai gambaran, pemerintah daerah di Sumatera Selatan (Sumsel) sejak 2006 mengucurkan dana untuk meremajakan perkebunan karet rakyat melalui APBN dan APBD provinsi. Tak ketinggalan APBD Kabupaten Lubuklinggau, Banyuasin, dan Musi Rawas juga dialokasikan ke karet. Sepanjang 2012, sampai akhir Oktober, total luas kebun yang diremajakan mencapai hampir 6.000 ha. Untuk kegiatan ini saja, dibutuhkan sekitar 3 juta bibit karet.

Belum lagi petani yang menanam karet secara swadaya. Survei yang dilakukan di 85 desa wilayah Sumsel menunjukkan, pada 2010 saja, setidaknya ada 40-75 petani di setiap desa yang membuka lahan baru. “Di Sumsel ada sekitar 30 ribu ha (kebun) swadaya dalam satu tahun. Kalau kita asumsikan yang mengadopsi bibit unggul itu 50% saja, berarti kebutuhan bibit untuk petani swadaya itu sudah di atas 7 juta,” tambah peneliti yang mengabdi di Balit Sembawa, Kabupaten  Banyuasin, Sumsel, sejak 1983 ini.

Suplai Kurang

Saat ini permintaan tinggi terhadap bibit karet masih belum mampu dipenuhi oleh pelaku bisnis bibit lantaran sentra bibit karet masih sangat terbatas. Sampai sekarang hanya Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan yang dikenal sebagai sentra bibit karet. Dari keempat sentra ini pun, Jambi masih belum dapat memasok ke daerah lain karena 100% bibit yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan lokal.

“Di Sumsel itu bibit yang digunakan di dalam provinsi hanya 73%, selebihnya didistribusikan ke Jambi, Riau, Lampung, Sumbar, Kaltim, dan Kalbar. Lalu yang dari Kalsel, yang digunakan di Kalsel hanya 70%, sisanya didistribusikan ke Kaltim dan Kalteng. Dari Kalbar, 70% digunakan sendiri, selebihnya disalurkan ke Kalteng,” papar peraih gelar MS dari Ekonomi Pertanian IPB ini.

Seretnya pasokan bibit karet juga dipengaruhi oleh lamanya proses produksi bibit. “Untuk bibit karet, nggak bisa besok tanam, hari ini baru nyari,” jelas Ir. Muji Lasminingsih, MS, pemulia karet dari Balit Sembawa. Menurut Muji, pekebun paling tidak harus menginformasikan jumlah kebutuhan bibitnya kepada penangkar satu atau dua tahun sebelum tanam. “Karena untuk menyiapkan batang bawah yang siap okulasi, butuh 7-8 bulan. Lalu untuk okulasi membutuhkan waktu dua bulan sampai siap menjadi mata tidur. Untuk menjadi bibit dengan dua payung (kumpulan daun), dua bulan, baru masuk ke polibag,” tambahnya.

Karena itu, Muji menyarankan, perusahaan yang letaknya jauh dari sentra bibit, sebaiknya menyiapkan bibit sendiri. “Misalnya rencana tanam tahun 2015, maka 2012 itu dia sudah mulai membangun kebun entres. Bersamaan dengan itu, dia tanam juga seedling. Jadi mereka tidak tergantung dari luar lagi,” ulas alumnus Agronomi IPB ini.

Siapkan Bahan Tanaman

Penyediaan bibit karet memang gampang-gampang susah. Dengan teknik perbanyakan menggunakan sistem okulasi, diperlukan batang bawah dan batang atas yang baik untuk menghasilkan bibit berkualitas baik. Batang bawah berasal dari semaian biji klon anjuran, sedangkan batang atas berasal dari mata klon-klon anjuran yang bersumber dari kebun entres.

Pemilihan batang bawah sangat menentukan pertumbuhan tanaman dan produksi lateks. Benih yang digunakan untuk batang bawah harus berasal dari biji terpilih propellegitim, yaitu diketahui pohon induknya, dan klonnya sesuai anjuran buat batang bawah. Seleksi biji dilakukan dengan memantulkan biji pada lantai semen. Biji yang melenting adalah biji yang baik. Atau jika direndam, sepertiga bagian biji akan terapung.

Biji disemaikan di bedengan berukuran 13 m x 1,2 m dengan media serbuk gergaji dan diberi naungan. “Per meter persegi bisa untuk 1.000-1.500 biji,” kata Iryanto, Asisten Pembibitan, Balit Sembawa. Penyemaian biji diatur berjajar dengan jarak 1 cm antarbiji atau ditebar dengan posisi biji tengkurap. Selama di bedengan, dilakukan penyiraman setiap pagi dan sore hari.

Lama penyemaian maksimal selama 21 hari. “Bisa sebelum 21 hari. Setelah ditabur, bisa dalam umur 3-4 hari dia tumbuh, bisa langsung dipindah ke lapangan. Tapi kalau lewat dari 21 hari, sudah afkir,” tutur Iryanto. Dia menambahkan, daya kecambah tergantung pada umur biji. Biji dari tanaman berumur di atas 15 tahun, daya tumbuhya bisa di atas 60%, tapi bila di bawah 15 tahun, kurang dari 50%.

Biji yang telah berkecambah dicabut dari bedengan lalu dipindahkan ke kebun. Iryanto menegaskan, saat pindah ke kebun, tidak boleh ada akar yang putus. Pasalnya, akar yang putus akan menghasilkan pertumbuhan akar bengkok, bercabang, menjadi akar serabut, bahkan membentuk akar kursi. Padahal yang diinginkan adalah akar  tunggang yang lurus.

“Akar yang bermasalah akan mempengaruhi pertumbuhan. Seperti akar kursi, untuk membentuk kaki gajah (pertautan bekas okulasi) tidak akan stabil. Itulah kenapa penyortirannya itu bisa sampai tiga kali,” ujar Zulkarnain Hamid, Asisten Promosi dan Pemasaran, Balit Sembawa.

Okulasi batang bawah dapat dilakukan sejak umur 2-3 bulan dengan tiga teknik. Okulasi dini dilakukan ketika batang bawah berumur 2-3 bulan dan entres berwarna hijau muda, bergaris tengah 0,5 cm, berumur 3-4 minggu. Sedangkan, okulasi hijau dilakukan saat batang bawah berumur 4-6 bulan, dan entres berwarna hijau, bergaris tengah 0,5-1 cm, berumur 3-4 bulan. Sementara, okulasi cokelat, yang dilakukan sewaktu batang bawah berumur 7-18 bulan, entres berumur sama, berwarna cokelat, dan bergaris tengah 2,5-4 cm.

Ada tiga bahan tanam yang dapat dipilih dari hasil okulasi. Pertama, berupa stum mata tidur, yaitu bibit dengan mata okulasi yang masih belum tumbuh. Walaupun waktu penyiapannya relatif lebih singkat, stum mata tidur berisiko kematian bibit yang masih cukup tinggi, masih ada kemungkinan tumbuh tunas palsu, hingga pertumbuhan tanaman kurang seragam.

Kedua berupa stum mini, yaitu hasil okulasi yang ditumbuhkan selama 6-8  bulan. Stum mata tidurnya lebih panjang sehingga jumlah mata tunasnya lebih banyak. Keunggulan bibit ini adalah risiko kematian lebih rendah, bebas tunas palsu, dan periode tanaman belum menghasilkan (TBM) akan lebih pendek ketimbang dari stum mata tidur. Namun, tentu saja waktu penyiapannya lebih lama dan harganya lebih mahal dibandingkan stum mata tidur.

Ketiga adalah bibit polibag. Bibit ini merupakan stum mata tidur yang ditumbuhkan dalam polibag hingga mempunyai dua payung daun. Keunggulan bibit polibag hampir sama dengan stum mini, tetapi waktu penyiapan dan pengangkutannya lebih sulit.

Sertifikasi Bahan Tanam

Pentingnya bahan tanam bersertifikat menjadi pegangan petani untuk mendapatkan produksi lateks berkualitas. “Bibit-bibit yang keluar dari balai penelitian, bukan hanya Sembawa, itu benar-benar kelihatan. Dari fisiknya saja sudah kelihatan, bisalah dibedakan ini bibit dari balai atau dicampur, ketahuan,” cetus Zul, sapaan akrab Zulkarnain.

Proses sertifikasi pun tidak mudah. Mulai dari sertifikasi biji, pemurnian kebun entres, baru dapat dilakukan sertifikasi bibit. Penangkar yang baru mendpatkan biji untuk membuat kebun batang bawah harus membawa biji ke Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih (BP2MB), Dinas Perkebunan setempat untuk diperiksa sumbernya dengan jelas. Sama halnya dengan kebun entres, yang harus dimurnikan oleh BP2MB setempat.

“Jadi, penangkar mempunyai sertifikat biji dan kebun entres. Lalu, nanti saat akan menjual bibit hasil okulasi, BP2MB harus didatangkan lagi untuk memeriksa bibit yang dihasilkan. Saat sertifikasi bibit, harus dilihat dari mana sumbernya, baru nanti akan diberi label biru,” urai Muji.

Harga bibit bersertifikat memang lebih mahal. Bibit dari Balit Sembawa misalnya, dipatok dengan harga Rp9.000/polibag, sedangkan bibit tanpa sertifikat hanya sekitar Rp6.000/polibag. Namun, jaminan kualitas karet selama belasan tahunlah yang menjadi taruhannya. “Petani sudah mulai mengerti. Untuk saat ini memang terhitung mahal, tapi saat tanaman mulai menghasilkan lima tahun ke depan nggak akan ada lagi mahal,” tutup Zul.

Renda Diennazola, Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain