Kebutuhan karet dunia diramalkan akan meningkat pesat
hingga 2020 mendatang. Kita apakan potensi besar Indonesia?
Industri karet tidak akan pernah mati, bahkan terus berkembang dan menunjukkan kilaunya. Data dari International Rubber Study Group (IRSG) menyebutkan, diperkirakan pada 2020 mendatang, konsumsi karet dunia akan menyentuh angka 35,9 juta ton. Dari angka ini, konsumsi karet alam sebanyak 16,5 juta ton dan karet sintetis 19,3 juta ton. Sementara, pada 2012 ini konsumsi karet dunia diperkirakan mencapai 27,6 juta ton dengan 11 juta ton di antaranya karet alam.
Tren kebutuhan karet dunia yang terus meningkat menjanjikan peluang emas bagi bisnis karet nasional. Penelitian IRSG juga menunjukkan, peningkatan ini dipengaruhi oleh perubahan pola pikir dalam industri hilir karet. Beberapa produsen ban terkemuka di dunia mendorong produksi ban jenis green tyres (ramah lingkungan) yang kandungan karet alamnya lebih banyak. Jika semula kandungan karet alam pada ban hanya 30%-40%, kini green tyre mengandung 60%-70% karet alam.
Berkurangnya sumber-sumber minyak bumi dan batubara sebagai bahan baku karet sintetis ikut mempengaruhi perubahan orientasi industri hilir karet. Tidak hanya ban, jumlah perusahaan industri polimer yang menggunakan bahan baku karet alam pun diperkirakan akan meningkat.
Peluang terbuka lebar bagi Indonesia. Indonesia sebagai pemilik lahan karet terluas di dunia tentu berpotensi besar mengisi pasar tersebut. Lahan karet seluas 3,47 juta ton, jika dikelola secara optimal, akan mampu menangguk devisa yang melimpah. Masalahnya, dari sisi produksi, saat ini Indonesia masih berada di peringkat kedua dunia, sebesar 2,4 juta ton/tahun. Kalah dari Thailand dengan produksi 3,1 juta ton/tahun dengan luas lahan hanya 2,63 juta ha.
Arab Saudi Industri Karet
Selain potensi lahan, pengembangan karet Indonesia dinilai dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat luas. “Ini bisnis demikian besar, Indonesia calon nomor satu, kok nggak dinikmati oleh banyak orang sama sekali. Harga karet jatuh, petani hancur-hancuran. Harga naik juga nggak sepenuhnya dia (petani) yang menikmati,” kata Listyowati, Direktur Human Resources & General Service, PT Api Metra Palma, Medco Agro, Group Medco.
Menurut Arifin Panigoro, Advisor PT Medco Energi International Tbk., seperti Arab Saudi dengan minyaknya, karunia lahan karet seharusnya bisa menjadikan Indonesia sebagai Arab Saudinya perkebunan dan industri karet.
“Jadi dulu, saat harga minyak sedang jelek-jeleknya, Saudi yang pegang kendali. Misalnya, dia akan jual kalau harganya US$70/barel. Harga mungkin waktu itu sedang US$50/barel. Langsung semuanya bereaksi, sampai pada akhirnya semua berdiskusi mencapai harga yang reasonable bagi industri maupun pemasok. Ini yang saya kira seharusnya dapat kita lakukan di karet,” ujarnya saat menyampaikan materi pada Konferensi Nasional Karet 2012 di Yogyakarta (19/9).
Pengusaha yang tertarik terjun ke bisnis karet karena melihat peluangnya ini menambahkan, “Pola perdagangan karet ini ‘kan bebas, itu yang harus diatur. Jangan sampai buat petani kemurahan. Tapi nanti kalau produksi di atas kebutuhan, harga jatuh, itu yang harus diatur tata niaganya dalam arti positif. Bukan tata niaga untuk menekan harga,” tegasnya.
Kemitraan
Angan menjadikan Indonesia bak Arab Saudi dalam industri karet memang masih terlalu dini. Pasalnya, 80% dari total pertanaman karet nasional merupakan perkebunan rakyat dengan produktivitas rendah. Petani karet pun masih belum terbekali dengan pengetahuan yang baik mengenai bisnis karet.
“Perkebunan besar memang ada, tapi tidak sebesar perkebunan rakyat. Justru di sini kesempatannya. Kita cari model, bahwa kepemilikan itu ada di rakyat, kita bicarakan buat perbankan, pemain-pemain lain juga masuk ke situ,” cetus Arifin.
Di sinilah investor perlu lebih berpihak pada petani, bukan sekedar menjadi pemilik modal. Pendekatan kepada petani dinilai menjadi langkah yang cukup efektif dalam pengembangan agribisnis karet. “Dari sisi masyarakat atau petani, kita semua harus menjadikan mereka sebagai subjek dari pembangunan karet alam. Tempatkan petani atau rakyat di perkebunan sebagai mitra,” tutur Arifin.
Sarjana Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pun mencontohkan pembentukan kemitraan inti plasma dengan petani karet di kawasan Merangin, Jambi, dengan kepemilikan lahan 70% milik inti, dan 30% milik plasma. Setelah 25 tahun atau satu siklus tanaman produktif, lahan menjadi 100% milik petani plasma.
Listyowati menambahkan, “Intinya, 70% untuk inti, 30% untuk plasma. Tapi kita lihat kondisi di lapangan. Dilihat dari jumlah penduduk yang terlibat berapa, tapi idealnya satu keluarga tidak lebih dari 2 ha. Kalau jumlah orangnya banyak, kita bisa korbankan intinya,” jelasnya.
Saat ini, proyek percontohan seluas 10 ribu ha ini telah masuk ke tahap pembibitan. Pada pelaksanaannya, selain sebagai pengelola pembeli hasil panen, investor sebagai inti juga berperan memberikan edukasi tentang pengelolaan kebun, keuangan, kelembagaan, hingga pengembangan bisnis baru. Bahkan, penyediaan fasilitas pendidikan pun mendapatkan perhatian khusus dalam rangka peningkatan taraf hidup petani.
Pendapatan Penyadap
Tidak cuma petani, kesejahteraan penyadap menjadi perhatian tersendiri. Pendapatan penyadap karet di Indonesia hanya sekitar Rp500 ribu/bulan. “Masa iya kita kalah dengan Vietnam, yang notabene adalah negara komunis? Di sana penyadap bisa mendapatkan Rp3 juta/bulan, di Malaysia bahkan Rp8 juta/bulan,” sergah Arifin.
Walaupun difokuskan pada petani pemilik, Listyowati menegaskan, jika potensi lahan memadai, seharusnya penyadap juga bisa ikut memiliki. “Ini yang akan kita komunikasikan ke pemerintah daerah untuk mencegah konflik lahan. Hal-hal seperti inilah yang lebih kami pedulikan,” tegasnya.
Namun, tidak cukup hanya itu. Langkah menyejahterakan petani memang langkah besar untuk mengawali berbagai usaha menjadikan Indonesia raja karet dunia. Selanjutnya, penguasaan teknologi mulai dari produksi hingga pengolahan, penting untuk diperhatikan. Seperti yang disarankan Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000-2004, “Kalau sudah menguasai itu, luar biasa besarnya industri karet kita.”
Renda Diennazola, Syatrya Utama