Senin, 1 Oktober 2012

LIPUTAN KHUSUS : Bangga Menjadi Pemain Utama

 
Kita harus investasi pada SDM dan membangun kecintaan rakyat terhadap karet alam.

Indonesia berpeluang besar sebagai pemimpin produksi karet alam dunia. Menurut International Rubber Study Group (IRSG) 2010, dengan luas areal 3,4 juta ha dan produktivitas 934 kg/ha/tahun, total produksi karet Indonesia 2,59 juta ton. Bandingkan Thailand, dengan areal 2,6 juta ha, total produksinya 3,25 juta ton, dan Malaysia, seluas 1 juta ha, total produksinya 0,95 juta ton.

Menurut Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, dalam konferensi pers pada Konferensi Nasional Karet yang dilaksanakan Pusat Penelitian Karet di Hotel Inna-Garuda, Yogyakarta, Rabu (19/9), sekitar 80% karet alam untuk industri ban. Sisanya, 10%-13% untuk industri seperti ban berjalan (conveyor belt), dock fender, dan selang, serta pada industri kesehatan seperti sarung tangan dan kondom, 5% - 7%.

Untuk mengantisipasi risiko menurunnya harga karet di pasar internasional, kata alumnus IPB itu, kita bersama Thailand dan Malaysia bergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC). Pangsa produksi karet alam ketiga negara tersebut sekitar 85%.

Sisi Pasokan

Dulu, menurut Bayu, kendali harga dan sebagainya lebih banyak ditentukan pembeli.  Dalam istilah ekonomi disebut demand side (sisi permintaan). “Tapi pengalaman 3-4 tahun terakhir, setelah kompak, kita tahu cara mengelola suplai, ternyata yang menentukan kita. Lebih banyak supply side factor yang menentukan keseimbangan pasar karet (alam) di dunia. Artinya, produsen itu memiliki posisi yang lebih baik,” tuturnya.

Kini, sisi permintaan hanyalah faktor pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi saat ini, lebih ke faktor eksternal. Misalnya, pertumbuhan ekonomi Eropa dan sebagainya sedang turun, maka permintaan karet alam menurun. Akibatnya, harga karet juga turun. Namun, pada Kamis (27/9), menurut SICOM, harganya sudah pada posisi US$3,14/kg.

Ada tujuh hal yang diungkapkan Bayu jika Indonesia ingin menjadi pemimpin dalam industri karet. Yaitu, mutu (bahan olah karet atau bokar), sistem bisnis, membangun jaringan, mengelola pasar dengan baik agar petani tidak dirugikan, multi-value, ketersediaan sumber daya manusia (SDM), dan membangun kecintaan terhadap karet.

Doktor Karet

Saat ini, menurut Didiek Hadjar Goenadi, Presiden Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara, jumlah doktor di bidang karet alam di Indonesia sekitar 20 orang. Padahal, lahan karet kita, yang 85% milik petani, cukup besar. Investasi satu doktor itu sekitar Rp750 juta atau setara 28 ton karet (jika harganya US$3/kg dan kurs Rp9.000/dollar AS).

“Jadi, teman-teman di industri karet, perusahaan karet, tidak boleh hanya berhenti investasi di pabrik, instrumen atau klon, tapi juga harus investasi di manusia. Kalau tidak, kita makin lama makin ketinggalan. Guru saya (di IPB) umurnya sudah 70-an. Dosen-dosen IPB yang dulu mendalami karet akan pensiun. Jadi, menurut saya, harus ada investasi (di manusia),” kata Bayu. “Pak Bayu minta minimum 10 doktor per tahun. Saya kira, saya sanggupi,” timpal Didiek.

Satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian, yaitu membangun kecintaan rakyat terhadap karet alam. Misalnya, menurut Bayu, kita informasikan kepada anak-anak bahwa karet alam Indonesia itu terkandung dalam Goodyear, Bridgestone, atau Achilles. Bahkan di ban yang dipakai juara F-1. “Itu yang kurang kita lakukan. Jangan seperti di sawit, ketika diserang (dari luar negeri), hanya orang-orang sawit yang membela. Kita perlu membangun kecintaan rakyat terhadap karet. Kita bangga sebagai produsen karet (alam),” tandas Bayu.

Syatrya Utama, Renda Diennazola

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain