Indonesia, Thailand, dan Malaysia adalah tiga negara produsen utama karet yang menguasai 70% dari produksi karet alam dunia. Sayangnya, dengan luas lahan perkebunan karet terbesar di dunia, 3,4 juta ha, produktivitas karet Indonesia justru masih berada di bawah kedua negara itu.
Saat ini, produktivitas karet Thailand mencapai 2,6 ton/ha/tahun, sedangkan Malaysia bisa mencapai 1,5 ton/ha/tahun. Sementara, rata-rata produktivitas karet Indonesia pada 2011 masih jauh tertinggal, yaitu sekitar 0,986 ton/ha/tahun dengan total produksi 3,09 juta ton.
“Jika dilihat dari produktivitas, kita memang kurang baik, tapi jika dilihat dari sisi produksi, kita nomor dua karena lahan karet di Tanah Air ini cukup luas dibandingkan mereka,” kata Rismansyah Danasaputra, Direktur Tanaman Tahunan, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan).
Meningkatkan produktivitas karet memang menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Indonesia. Kesiapan bahan tanaman mulai dari benih hingga pengelolaan budidaya yang baik, sangat berpengaruh. Pertanyaannya, siapkah dunia perkaretan Indonesia menuntaskannya?
Kualitas Bibit
Peningkatan produktivitas berbanding lurus dengan tanaman yang berkualitas. Bagaimana produktivitas karet Indonesia bisa meningkat jika 85% dari total area tanaman karet adalah milik rakyat dengan kondisi tanaman yang jauh dari sempurna? “Saat ini di atas 300 ribu hektar tanaman karet kondisinya tua dan rusak parah sehingga produktivitasnya rendah,” ungkap Rismansyah
Bambang Aria Wisena, Direktur Utama PT Bakrie Sumatera Plantations (BSP), menambahkan, tanaman karet milik rakyat lebih tidak teratur atau lebih cocok dikatakan sebagai hutan karet. Jarak antartanaman juga tidak teratur dan itu mempengaruhi produktivitas. Berbeda dari kebun karet milik swasta dengan jarak tanam lebih teratur sehingga produktivitasnya lebih tinggi.
Peremajaan menjadi langkah penting meningkatkan produktivitas karet rakyat. Untuk itu bibit berkualitas mutlak dibutuhkan. Chairil Anwar, Kepala Pusat Penelitian (Puslit) Karet di Bogor memaparkan, klon-klon unggul karet telah banyak dihasilkan dengan potensi produksi lebih dari 3 ton/ha.
“Salah satu kelemahan perkebunan karet rakyat, selain tanaman tua, bibitnya pun berasal dari biji. Sekitar 60%-70% karet petani masih berasal dari biji. Padahal yang paling bagus itu okulasi,” ungkap Chairil saat ditemui AGRINA di kantornya.
Tanaman berasal dari okulasi dapat dilihat dari ciri fisik batangnya yang silindris, sedangkan yang dari biji berbentuk mengerucut ke atas. “Kalau mengerucut, permukaan kulit yang dapat ditoreh menjadi lebih sedikit. Kalau silindris, permukaan kulitnya lebih optimal, getah yang dihasilkan lebih banyak. Produktivitas tanaman dari seedling (biji) itu kurang dari 1 ton/ha/tahun. Kalau klon, bisa dua kali lipat,” tambah pria asal Solok, Sumatera Barat ini.
Chairil memperkirakan, kebutuhan bibit berkualitas sekitar 40 juta-50 juta batang/tahun, sementara suplainya masih seret. Penetrasi bibit yang dikembangkan Puslit ke petani rakyat masih sangat terbatas, kurang dari 40%. Karena itu, dia mengharapkan keterlibatan banyak penangkar swasta.
Teknologi Budidaya
Pemupukan yang tepat sesuai kebutuhan tanaman juga penting dalam peningkatan produktivitas. Tidak hanya berdasarkan analisis tanah, kebutuhan pupuk karet juga mengacu pada analisis daun karena pengurasan hara yang terjadi di daun terbilang cukup besar dan mempengaruhi pembentukan lateks.
Namun, dapat dikatakan pemupukan pada karet tidak terlalu krusial jika dibanding dengan sawit. “Asalkan pemupukan di masa TBM (tanaman belum menghasilkan) cukup bagus, begitu sudah mulai sadap, pemupukan bisa lebih fleksibel, selama masih sesuai dengan kondisi lahan dan daun,” terang Chairil. Analisis tanah biasanya dilakukan dua-tiga tahun sekali, sementara analisis daun bisa setiap tahun.
Praktik budidaya intensif inilah yang masih asing bagi petani rakyat. Pendampingan bagi petani menjadi salah satu solusinya. Menurut Bambang, BSP telah menerapkan sistem kerjasama dengan petani rakyat. “Contohnya di Bengkulu, kita sudah membina beberapa petani rakyat. Kita bimbing dari penyadapan hingga perawatan tanaman, akhirnya produktivitas meningkat,” ungkap anggota Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) ini.
Jamur Akar Putih
Gangguan penyakit pun tidak dapat dihindari dalam budidaya karet. Jamur akar putih (JAP) menjadi penyakit penting pada lahan karet karena penyebarannya terbilang mudah. “Jika terserang JAP, harus benar-benar dinetralkan tanahnya karena dia gampang sekali menyebar lewat tanah,” kata Dadi R. Maspanger, Deputi Kepala Penelitian Puslit Karet.
Ciri khas serangan JAP adalah adanya jaringan miselium berwarna putih yang mampu melakukan penetrasi langsung ke dalam jaringan akar. Andi Sugiri, Crop Manager for Plantation, PT Bayer Indonesia memaparkan, serangan JAP juga dapat mempengaruhi kualitas getah karet. “Getah yang dihasilkan akan lebih encer. Pada serangan hebat, penyakit JAP dapat mengakibatkan kematian tanaman karet pada umur 1-5 tahun,” jelasnya melalui surat elektronik.
Gejala awal serangan penyakit yang disebabkan cendawan Rigidoporus lignosus ini berupa perubahan warna daun pada tajuk menjadi kuning, kemudian gugur. Aplikasi fungisida sistemik seperti Bayleton dari PT Bayer Indonesia dapat menjadi salah satu solusi penanganan JAP. Fungisida sistemik bersifat menghambat biosintesis ergosterol dan pembentukan haustorium (alat pengisap hara pada cendawan), bersifat protektif, serta berfungsi kuratif dan eradikatif. “Bayleton diaplikasikan bila tanaman belum terserang atau diprediksi sudah terserang penyakit. Aplikasikan 10 ml Bayleton yang dilarutkan dalam 2-3 liter air di sekitar akar tanaman,” saran Andi.
Renda Diennazola, Syatrya Utama, Yuwono I. N., Tri Mardi Rasa