Industri sawit sebagai penyumbang terbesar devisa dari ekspor Crude Palm Oil (CPO) tapi sampai saat ini belum mendapat dukungan secara serius.
Asmar Arsad Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), mengatakan, banyaknya persoalan yang belum bisa diselesaikan, hal itu membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi permasalahan industri sawit dalam negeri.
Di antaranya yaitu peraturan Bea Keluar (BK) minyak sawit mentah (CPO) yang dinilai terlalu memberatkan petani sawit rakyat. Sebab dengan adanya BK berarti pendapatan petani berkurang. “Selain itu, pemberlakukan BK tidak diiringi dengan adanya teknologi yang berdekatan dengan perkebunan rakyat. Sehingga petani rakyat kelapa sawit sulit untuk melakukan hilirisasi atau membuat produk turunan (dari CPO),” kata Asmar dalam acara bincang-bincang dan buka bersama media Senin (14/8).
Padahal, tambah Fadhil Hasan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), perkelapa sawitan Indonesia dari industri besar hingga petani rakyat sudah memberikan kontribusi besar pada bangsa dan negara, industri kelapa sawit belum mendapat dukungan memadai dari pemerintah. Bahkan, setor industri kelapa sawit dapat menyerap 3,5 juta tenaga kerja, dan menjadi primadona ekspor nonmigas dibiarkan tercecer oleh pemerintah.
“Bayangkan berkat kontribusi sawit yang diberikan saat ini berdampak terhadap perekonomian nasional saat ini, adalah berkat kebijakan pemerintah pada beberapa dekade lalu, bukan hasil kebijakan pemerintah saat ini “ jelas Fadhil.
Pengusaha sawit nasional Derom Bangun yang hadir sebagai peserta diskusi mengingatkan, kelemahan utama industri sawit Indonesia adalah pemerintah yang tidak ‘satu langkah'.
“Di level nasional, Presiden SBY sudah berulang kali menegaskan pentingnya industri sawit bagi perekonomian Indonesia. Namun ditingkat pelaksanannya tidak berjalan sesuai yang direncanakan,” keluh Derom
Lebih dari itu, Derom menerangkan, pengembangan perkebunan sawit, kerap tersendat oleh tata ruang yang tidak jelas. Banyak kabupaten di Sumatera dan Kalimantan, dua pulau yang berdasarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) akan dikembangkan menjadi perkebunan sawit, belum memilik rencana tata ruang. Sementara itu, kepala daerah seperti tidak peduli dengan tata ruang, karena tata ruang yang tidak jelas mereka bisa memancing di air keruh.
Yuwono Ibnu Nugroho