Mengerling Geliat Pelestari Kuliner Tradisional
Setiap menjelang Lebaran, kenangan akan makanan khas dari kampung kita berasal sering datang menggoda. Itulah sebabnya, saat mudik, kuliner khas dari berbagai daerah di Indonesia biasa diburu pencintanya.
Tak jarang pula, lantaran tak bisa mudik dengan segala macam alasannya, orang yang memesan oleh-oleh pada sanak-saudaranya penganan khas tadi. Sebaliknya, mereka yang mafhum hal ini pun dengan sukarela sengaja mencarikannya, dan dengan ikhlas membawakan oleh-oleh atau buah tangan kuliner khas tadi untuk kerabatnya yang tak pulang kampung. Sebuah bentuk jalinan silaturahmi yang membawa banyak kebaikan sebagai anugerah Idul Fitri yang tentu layak disyukuri.
Namun, di balik keindahan silaturahmi berbekal oleh-oleh Lebaran tadi, pasti ada orang-orang yang dengan sungguh-sungguh mengupayakan agar kuliner khas daerah tadi tetap eksis dan bisa terus dinikmati pencintanya. Tak sekadar bermotifkan ekonomi, semangat melestarikan kuliner khas daerah umumnya melekat kuat pula pada jiwa para usahawan ini. Sebab, umumnya, mereka telah mengerjakan bisnis ini puluhan tahun. Dan yang sekarang mengelola bisnis itu pun tak jarang generasi kedua atau ketiga! Mereka ini layak disebut: para pelestari makanan khas kampung halaman.
Inilah sebabnya, AGRINA edisi Lebaran 2012 ini menurunkan liputan khusus tentang sejumlah pejuang kuliner tradisional tersebut yang berasal dari berbagai kota di Tanah Air. Sebab, selain berhasil menghapus dahaga kita akan makanan khas kampung halaman, kegiatan para pebisnis tadi juga telah menggerakkan roda agribisnis di tempat mereka membuka usaha dengan menampung hasil bumi petani yang menjadi bahan baku kuliner tersebut. Semoga kiprah mereka mengelola bisnis kuliner khas daerah tadi, dengan segala kiat dan suka-dukanya, bisa pula memberi cakrawala baru dan inspirasi kepada Anda, pembaca.
Selamat menikmati, selamat ber-Lebaran, dan sekaligus mohon maaf lahir dan batin.
Redaksi
Meraih Impian dengan Dodol Betawi
Dengan bermodalkan tekad untuk sukses, ditambah sedikit uang hasil warung nasinya, Hj. Mamas merintis usaha dodol betawi yang kini sukses.
Tak ada yang tidak mungkin, berkat doa dan kerja keras akhirnya Hajjah Mamas atau biasa disapa Emak, ini akhirnya menuai sukses sesuai impian masa mudanya. Perjalanan bisnis ini berawal pada 1980, saat ia mulai menjajakan dodol betawi buatannya kepada konsumen warung nasi miliknya. Bukan hanya itu, ia juga menawarkannya kepada tetangga. “Gue tawarin aja ke tetangga buat nanyain gimana nih dodol buatan gue,” ujar Emak.
Ternyata, dodol bikinannya digemari orang. Mulailah ia menjajakan lebih serius. Menurut Emak, saat itu yang ada di pikirannya adalah berupaya menjadi orang sukses, dan bersama suaminya semua upaya akan dilakukannya. Bayangkan, untuk membuat dodol ia terpaksa pergi ke pasar pukul 02.00 pagi guna membuat tepung beras ketan dan memarut kelapa.
“Saya belum punya alat, jadi terpaksa nepung dan marut di pasar. Modal untuk membuat dodol pun pinjaman,” ungkap wanita kelahiran 1959 ini sambil menangis lantaran terkenang perjuangan beratnya dulu.
Pada 1985, usaha dodol betawinya mulai dikenal banyak orang, khususnya warga Condet, Jakarta Timur. Sedikit demi sedikit keuntungan dikumpulkan untuk membeli satu kuali atau wajan berukuran diameter 1,3 meter. “Alhamdulillah, akhirnya saya bisa beli kuali. Bayangin, waktu itu harganya Rp2 juta, dan ‘kan tahun itu nilainya tinggi banget,” tutur ibu enam anak ini.
Dalam perjalanannya, Emak pernah ditipu orang yang memesan dalam jumlah banyak lewat telepon tapi tak pernah mengambil pesanannya itu. Sambil mengelap air matanya, Emak bercerita kejadian itu merupakan pelajaran agar ia tak mudah percaya terhadap orang yang belum dikenal.
Bukan hanya itu musibah yang menerpanya. Sewaktu usaha dodolnya mulai menunjukkan titik terang, pada 2002 suaminya wafat. “Jadi, ketika usaha mulai berkembang, suami saya meninggal dunia,” ungkap nenek 12 cucu ini.
Tetap Optimistis
Toh, Emak tetap melanjutkan perjuangannya. Apalagi, suaminya pernah berpesan agar Emak jangan pernah kawin lagi bila ia wafat. Lebih baik melanjutkan usaha dodol karena suaminya yakin usaha itu pasti akan maju.
Banyaknya pesanan dodol betawi, menurut Emak, lantaran dodol itu tidak hanya disukai orang Betawi dan pelanggan turun-temurun pun masih setia. “Banyak yang akan pulang kampung ke daerahnya beli dodol buat oleh-oleh di sini. Banyak pula orang Arab yang beli untuk dibawa ke negaranya,” tutur dia.
Ramadan juga membawa berkah, pesanan berlimpah. Akibatnya, kebutuhan bahan baku meningkat. Beras ketan, jika biasanya butuh dua karung (satu karung isi 50 kg), melonjak sampai 100 karung. Lalu, gula merah, biasanya 200 peti (satu peti isi 10 kg), naik mencapai 900 peti. Dan kelapa, biasanya butuh 90 butir/hari, naik jadi 900 butir/hari. Bila biasanya ia membuat 100 besek/gulung dodol tiap hari, pada Ramadan harus menyiapkan 400 besek/gulung. Bahkan, karyawannya pun bertambah, sehari-hari enam orang, pas puasa naik jadi 35 orang.
Terkait kenaikan harga bahan baku, harga dodolnya pun naik. Dulu harga dodol buatannya Rp50 ribu/besek atau gulung untuk rasa orisinal, saat ini dijual Rp55 ribu. Sedangkan untuk ketan hitam dan rasa durian, dari Rp60 ribu kini jadi Rp65 ribu.
“Saya tak akan mengurangi kualitas rasa dengan mengurangi bahan baku. Lebih baik naikkan harganya sedikit karena orang akan tetap cari asalkan rasanya enak,” ujarnya mengakhiri percakapan.
Yuwono Ibnu Nugroho