Saking populernya, kalau ke Bogor belum makan asinan ini, bisa dibilang belum pernah berkunjung ke Kota Hujan itu.
Kota Bogor, Jawa Barat, selain kerap disebut Kota Hujan terkadang bisa diidentikkan pula sebagai Kota Asinan. Pasalnya, nyaris semua orang yang datang ke sini biasanya berusaha menyempatkan menyantap asinan. Atau, setidaknya membeli untuk oleh-oleh alias buah tangan.
Dari sekian puluh penjual asinan yang tersebar di kota Bogor, ada sejumlah penjual asinan yang paling dikenal masyarakat. Salah satunya adalah Asinan Sedap Gedung Dalam.
Asinan ini dikenal sebagai salah satu yang tertua dan rasanya banyak dipuji penggemarnya. Seperti diungkapkan Monica, generasi kedua pengelola toko asinan itu, memang sudah sejak 10 November 1978 ia dan keluarganya berjualan asinan di Jalan Siliwangi No. 27 C Bogor.
“Awalnya lebih lama lagi, jauh sebelum tahun 1978, sejak ayah saya, almarhum Tju Fu Fong, penjual buah pepaya dan jeruk, mulai berjualan asinan di emper toko di Jalan Suryakencana. Setelah itu, ayah saya bisa sewa kios di kawasan Gedung Dalam. Akhirnya, punya tempat sendiri, di Jalan Siliwangi ini,” tutur wanita kelahiran Bogor, 24 Juni 1960 ini.
Di sini, konsumen bisa memilih asinan sayur atau asinan buah, atau malah campuran keduanya. Harga setiap porsi sama, Rp15 ribu. “Untuk asinan sayur, selain sayur yang umum, ada antanan. Sedangkan untuk buah, yang istimewa kami ada buah menteng dan kemangnya,” kata ibu satu anak ini.
Usaha ini mampu berkembang, menurut Monica, lantaran racikan menu asinan yang dijualnya sekarang tak berbeda dengan saat ayahnya masih hidup. Kala ayahnya masih hidup saja, pelanggan asinan mereka sudah berdatangan dari Jakarta dan Bandung.
Utamakan Kesegaran
“Selain racikan bumbu, kami sangat memperhatikan kualitas dan kesegaran sayur dan buah yang kami pakai. Setiap pagi, kami beli sebagian bahan baku di pasar Bogor yang tak jauh dari sini, dan sebagian lagi diantar pemasok,” jelas Monica.
Tantangan yang biasanya datang lebih kepada mengupayakan ketersediaan beberapa buah dan sayur yang kehadirannya bergantung musim. “Seperti buah menteng atau kemang, agak sulit menyediakannya. Bergantung musimnya. Jadi, kami harus cari sendiri,” tambah anak keempat dari enam bersaudara ini.
Semua resep bumbu asinan di sini awalnya berasal dari sang ayah, lalu Ravi dan Caroline, dua kakak kandung Monica, turut memperkaya resep itu. “Sebab, ini memang bisnis keluarga. Apalagi, asinan kami sudah disukai masyarakat,” ujar Monica menjelaskan alasan ia dan saudara-saudaranya terus mengembangkan usaha ini.
Berkat kerja-keras dalam menjalankan bisnis ini, asinan legendaris ini bukan hanya bisa ditemui di Bogor, tapi juga di Jakarta, tepatnya di Jalan Mangga Besar Raya No. 47 L-M. Satu lagi, di Jalan Pajajaran No. 1, Bogor.
Setiap hari, di Siliwangi saja sekitar 100-200 bungkus asinan mampu mereka jual. Jumlah karyawan mereka pun mencapai 30-an orang. Beruntung, ibunda Monica, yaitu Lim Njuk Pin, masih bisa menyaksikan perkembangan mengesankan bisnis keluarga mereka itu pada usia senjanya, 80 tahun.
“Saya memang sangat senang berusaha asinan ini. Sebab, memang sejak kecil saya sudah terlibat dengan usaha papa yang jualan buah,” ujar Monica dengan bersemangat, sambil terus melayani pembeli yang mengalir.
Kesenangan hati Monica saat menjalankan bisnis asinannya, diiringi semangat kerja keras ia dan segenap saudara kandungnya, boleh jadi adalah salah satu kunci yang memuluskan usaha ini menjelma menjadi satu yang terkemuka di Bogor.
Syaiful Hakim