Sempat ditertawakan saat pertama menjual lumpia ayam, kini kuliner buatannya itu tersebar di 19 gerai di berbagai kota.
Ketika Anda singgah di Semarang, Jawa Tengah, sediakanlah waktu untuk mencicipi lumpia alias lunpia. Yakni, penganan yang berisi irisan rebung berpadu daging dibalut kulit membentuk gulungan kecil.
Salah satunya, Lunpia Mataram milik Sukanto yang selalu ramai dikunjungi pelanggan. Apalagi ketika libur Lebaran. “Saat Lebaran permintaan (lumpia) di Semarang meningkat 15-20 kali,” ujar Sukanto. Omzet Lunpia Mataram pun diakuinya melonjak menjadi 20 ribu buah/hari. Peningkatan ini karena serbuan pemudik yang kangen menyantap lumpia dan yang membelinya untuk oleh-oleh.
Terlebih lagi, Sukanto menjamin Lunpia Mataram resmi berlabel halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Kami satu-satunya lumpia di Semarang yang memiliki sertifikat halal dari MUI sehingga diterima oleh banyak kalangan,” tandasnya.
Makanan Elite
Menurut Sukanto, lumpia salah satu makanan elite etnis Tionghoa. Lumpia Semarang masih diidentikkan dengan daging babi, sehingga belum bisa diterima semua kalangan. Sekretaris Asosiasi Pedagang Oleh-oleh Provinsi Jawa Tengah ini memaparkan, kehalalan sangat mendukung usahanya mengingat para produsen lumpia mayoritas adalah etnis Tionghoa yang tidak tertutup kemungkinan masih menggunakan daging babi.
Sebab itulah, selain rasanya enak, konsumen muslim cenderung memilih Lunpia Mataram. “Saya pertama kali membuat lumpia menggunakan daging ayam, ditertawakan orang karena kebanyakan dari daging lain,” cerita Sukanto yang memulai usaha sejak 1988 silam.
Pria kelahiran Semarang, 28 Februari 1960 ini terjun dalam bisnis lumpia lantaran tuntutan ekonomi. “Waktu itu saya sudah beristri dan beranak satu, tapi belum memiliki pekerjaan tetap,” kenangnya. Di sisi lain, ia menganggap peluang bisnis lumpia cukup terbuka sebab peminatnya cukup banyak, sedangkan outlet penjaja lumpia hanya beberapa. “Karena itu, saya membuka outlet di Jalan Mataram (sekarang Jalan M.T. Haryono), maka lumpia saya ini saya kasih nama Lunpia Mataram,” kisahnya saat ditemui AGRINA.
Selama 10 tahun berjalan, omzet bisnis Lunpia Mataram hanya mencapai 5 kg rebung per hari. Tak diduga, Sukawi Soetarip, mantan Walikota Semarang, juga salah seorang pelanggannya. “Dari beliaulah saya diajak mewakili pemerintah ikut berbagai pameran makanan di Jakarta dan Bali. Dari situ lumpia kami dikenal,” tukas suami Masyanah ini. Menginjak tahun 2000, ia membuka gerai kedua di Kaligawe. Setahun kemudian Lunpia Mataram sudah bertengger di swalayan.
Usaha Lunpia Mataram pun semakin maju. Kini, “Ada 19 gerai dan 4 pusat oleh-oleh tersebar di Semarang, Magelang, Solo, Pekalongan, dan Kendal (Jawa Tengah), Yogyakarta, juga Jakarta,” beber Sukanto. Selain itu, Lunpia Mataram juga bisa diperoleh di Hypermart dan Carrefour Semarang, Pekalongan, Yogyakarta, dan Jakarta. Sehari-hari Sukanto sanggup memproduksi 2.000 lumpia. Dengan mematok harga jual Rp7.000 dan Rp9.000 per buah, omzet penjualan ayah dua anak ini mencapai Rp16 juta/hari.
Basah dan Goreng
Penggemar Lunpia Mataram berasal dari berbagai daerah hingga benua Australia. Selain berkunjung langsung, pelanggan bisa pula memesan secara online. Menu yang ditawarkan berupa lumpia basah dan goreng. Lumpia basah digemari pelanggan yang ingin menikmati sensasi rasa natural aneka bahan pengisi lumpia. “Sedangkan yang goreng karena memang seleranya begitu,” terang Sukanto.
Harga lumpia dibedakan berdasarkan isi, yaitu kategori biasa Rp7.000/buah dan spesial Rp9.000/buah. “Yang biasa isinya telur dan udang, sedangkan yang spesial ditambah daging ayam kampung betina umur 3-4 bulan. Untuk memperkuat rasa, kita gunakan ikan pihi (ikan sebelah) dari Sumatera Barat,” jelas motivator Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini.
Bahan utama isi lumpia, yaitu rebung dan daging. Sukanto menggambarkan, untuk membuat 500 lumpia diperlukan 50 kg rebung, 3 kg ayam, 14 kg telur, dan 3 kg udang size 60-70. Ia menggunakan rebung bambu jenis ampel yang didatangkan dari Wonosobo, Magelang (Jateng) dan Lamongan (Jatim) karena rasanya enak dan tidak pahit. “Kita membutuhkan 2 kuintal rebung tiap hari. Harga saat ini Rp12 ribu/kg. Pas puncak kemarau bisa Rp20 ribu/kg, tapi kalau musim penghujan bisa hanya Rp1.000 - Rp2.000/kg,” urainya.
Dengan komposisi seperti itu, kata Sukanto, biaya produksi lumpia sebesar Rp5.000/buah. “Jadi, semestinya tidak ada lumpia yang dijual Rp3.000 - Rp4.000 per buah,” imbuhnya.
Untuk menjaga kualitas, Sukanto menyiapkan satu tempat produksi khusus di Jalan Walisongo Mangkang, Semarang, agar rasa lumpianya sama. Proses pengiriman juga disesuaikan daerah tujuan pembeli. Pengiriman ke Jakarta pada pukul 7 malam dan akan tiba pukul 8 pagi. Daerah tujuan Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan dikirim pukul 6 pagi dan sampai sekitar pukul 10-11 siang.
Sedangkan untuk daerah di luar Jawa, seperti Sulawesi, Papua, hingga Australia dibuat kemasan vakum (kedap udara). “Lumpia vakum ini inovasi sejak 8 tahun lalu. Kami yang pertama, belum ada yang mengikuti,” jelasnya.
Pada akhir bincang-bincangnya, pria paruh baya ini mengutarakan obsesinya menjadikan Jalan Walisongo sebagai pusat lumpia seperti di Jalan Pandanaran. Pasalnya, Jalan Pandanaran sudah tidak memenuhi syarat. Sering macet akibat menjadi pusat oleh-oleh, terutama lumpia.
Windi Listianingsih, Isman (Yogyakarta)