Benny Bunnardi mungkin tidak akan menjadi pengusaha keripik pisang jika saja ibundanya secara tidak sengaja menggoreng pisang ambon tua yang tidak kunjung masak.
Sekitar 1972, warga Lampung dan Telukbetung khususnya hanya mengenal pisang ambon sebagai pencuci mulut. Paling banter menjadi camilan untuk disuguhkan kepada tamu dalam kondisi masak. Belum ada yang terpikir bahwa pisang ambon tua juga enak dan gurih bila digoreng.
Suatu saat keluarganya membeli pisang ambon, tetapi ternyata tidak kunjung matang. Daripada dibuang, muncul ide Natalia, ibunda Benny Bunnardi, untuk menggorengnya. Ternyata rasanya gurih.
Sejak itulah Natalia sering membeli pisang ambon tua lalu menggorengnya. Keripik yang diberi garam halus agar tambah gurih itu lalu dititipkan ke gerobak roti “Suseno” untuk dijajakan di sekitar tempat tinggalnya, kawasan Telukbetung. Jadi, ada dua gerobak Suseno, satu menjual roti, satunya lagi menjajakan roti.
Natalia pindah dari Blitar ke Lampung pada 1965 untuk membantu kakaknya yang saat itu membuka restoran Mirasa. Kemudian usaha keluarga ini merambah ke pembuatan roti dan diberi nama “Suseno”. Penjualannya dilakukan dengan gerobak berkeliling pemukiman di sekitar Teluk Betung. Inilah ihwal nama keripik Suseno yang akhirnya melegenda.
Berkembang Pesat
“Pada awalnya, keripik tidak begitu disukai karena konsumen lebih memilih roti ketimbang keripik. Apalagi saat itu keripik hanya digoreng, lalu dibungkus dengan plastik bening sehingga begitu sederhana,” kenang Benny saat bertutur kepada AGRINA di tokonya, Jalan Ikan Kakap, Telukbetung, pekan lalu.
Agar menarik minat konsumen, dibuat keripik pisang rasa manis dan pemasarannya melalui toko-toko kue yang juga pelanggan roti Suseno. Guna memudahkan pengenalan keripik ini, keluarga Benny memberikan merek Suseno, sama seperti roti yang terlebih dulu dikenal warga sekitar Telukbetung dan Tanjungkarang, dua kota yang dulu terpisah dan kini menjadi Bandarlampung.
Untuk pemasaran ke luar kota, keripik dikemas dalam kaleng aluminium minyak goreng. Namun sejak 1985 diganti kardus lantaran dengan kemasan kaleng banyak keripik yang pecah sehingga sering diklaim pelanggan.
Usaha keluarga itu berkembang pesat setelah ayah Bunnardi yang bekerja pada bengkel membuat mesin pemotong pisang, penggoreng yang lebih besar, dan oven pada 1986. Dengan adanya mesin potong, keripik menjadi lebih tipis dan rata sehingga ketika digoreng sama keringnya.
Waktu itu penggorengan dan pemanasan oven menggunakan minyak tanah. Sejak keripik dioven, daya tahannya lebih lama hingga enam bulan, pemasarannya pun berkembang pesat hingga ke Jakarta. Sebab keripik pisang Suseno telah menjadi oleh-oleh khas bagi warga yang berkunjung ke Bandarlampung.
Tambah Pesaing
Kesuksesan pemasaran keripik Suseno pada era 1990-an menarik minat pebisnis lain untuk membuka usaha serupa. Namun kebanyakan di antara mereka menggunakan bahan baku pisang kepok. Sementara Benny tetap mempertahankan bahan baku dari pisang ambon. Karena persaingan makin ketat, keripik Suseno pun dikembangkan beraneka rasa, di antaranya rasa cokelat, keju, susu, selain manis dan asin.
Karena pelanggannya sering menanyakan keripik pisang kepok, ia pun memproduksi keripik berbahan baku pisang tersebut. Namun untuk membedakan dengan para pesaing ia selalu mempertahankan mutu, irisannya lebih tipis, garing dan gurih. Lalu kemasannya, selain dari karton, juga dibuat dari aluminium foil.
Untuk lebih mendekatkan diri dengan pelanggan, pada 2007 lalu, ia membuka toko oleh-oleh bernama “Suseno” di Jalan Ikan Kakap, Telukbetung. Sebelumnya, saudara dari ibunya membuka toko oleh-oleh dengan nama yang sama di Jalan KH Ahmad Dahlan, Telukbetung dan ramai dikunjungi pelanggan.
Perluasan pemasaran melambungkan jumlah kebutuhan bahan baku sehingga sering tidak mampu dipenuhi pemasok dari sekitar Bandarlampung. Benny sampai memesan pisang ambon dari Bengkulu, terutama pada musim kemarau panjang 1997, 2001, 2005, dan 2009.
Saat ini produksi keripik Suseno menghabiskan 2-2,5 ton pisang ambon/hari dengan mempekerjakan 30 orang. Pabrik pengolahan berada di Jl. Soekarno-Hatta (bypass) Bandarlampung. Sejak konversi minyak tanah ke gas 2007, bahan bakar pengolahan keripik diganti dengan gas. “Harga minyak tanah melambung hingga Rp11 ribu/liter,” alasan ayah dua anak ini.
Kepuasan Tersendiri
Benny mengakui, keuntungan usaha produksi dan penjualan keripik pisang tidak begitu besar seiring makin ketatnya persaingan dan naiknya harga bahan baku, minyak goreng dan gas. Kendati begitu ia merasakan ada kepuasan tersendiri dalam bisnis ini.
“Jika konsumen datang lagi membeli karena produk kita enak dan gurih, hal itu membuat kita puas karena apa yang kita produksi dirasakan manfaatnya oleh orang lain,” ungkap suami Siane Herawati tersebut. Karena itu, meski banyak usaha lain menjanjikan keuntungan lebih besar, Benny memilih membesarkan usaha yang dirintis ibunya itu.
Kendati harga bahan baku, gas, dan biaya tenaga kerja terus merayap naik, ia berusaha mempertahankan harga jual keripik tetap stabil. Untuk keripik rasa asin dan manis ukuran satu kilo kemasan kardus, misalnya, dibanderol Rp33 ribu dan yang setengah kilo sebesar Rp19 ribu. Sementara keripik rasa asin dan manis ukuran seperempat kilo dengan aluminum foil Rp6.000 dan 300 gr dipatok Rp12.500/bungkus.
Supaya tetap meraih keuntungan, Benny menyiasatinya dengan menyetok bahan baku yang bisa disimpan. Misalnya, minyak goreng dan gula yang harganya selalu naik menjelang Ramadan hingga Lebaran, maka sebulan sebelumnya ia sudah membeli minyak goreng dan gula kebutuhan pabrik selama sebulan tersebut.
Walaupun keripik Suseno sudah terkenal, penjualan di supermarket dan toko-toko tetap menggunakan sistem konsinyasi. Selain tidak ingin membebani pemilik supermarket dan toko bila dijual putus, juga menjaga mutu. Dengan sistem konsinyansi pemilik toko bisa mengembalikan produk yang tidak terjual dan sudah memasuki masa kadaluarsa. “Dengan begitu keripik Suseno yang dijual di supermarket dan toko-toko tetap baru dan tidak sampai kadaluarsa,” pria kelahiran 29 Oktober 1972 itu memastikan.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)