Minggu, 22 Juli 2012

LIPUTAN KHUSUS : Genderang Rendang Kala Ramadan

Ramadan tiba

Ramadan tiba

Marhaban ya Ramadan

Ramadan tiba, demikian Opick, penyanyi dan pencipta lagu religi itu bersukacita menyambut Ramadan, bulan diwajibkannya umat Islam berpuasa.  Begitu pun kaum muslim umumnya, mereka mempersiapkan segala keperluan Ramadan. Salah satunya, menyajikan makanan bergizi untuk sahur dan berbuka puasa. Tak sekadar bergizi, makanan itu harus praktis mengingat padatnya aktivitas warga kota.

Persediaan Puasa

Rendang, makanan khas Minangkabau (Sumbar) itu membeludak permintaannya kala Ramadan dan Lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha). Mari bertandang ke kediaman Reno Andam Sari, pemilik Rendang Uni Farah di Ciledug, Tangerang, Banten, pelopor rendang dalam kemasan cantik. Setiap hari, sejak pukul 8 pagi hingga 5 sore, pelataran rumah Andam, begitu ia disapa, yang disulap jadi dapur, mengepulkan asap kayu bakar lantaran memasak 50 kg daging sapi untuk dibuat rendang.

Teruskan perjalanan ke arah selatan menuju Serpong, Tangerang Selatan, kita akan menemui PT Langit Cerah Sukses, produsen Rendang Daging Karissa, yang memanfaatkan 60 kg daging sapi untuk memproduksi 400–500 kaleng rendang/hari.

Atau, boleh juga langsung ke kota asal rendang, kediaman Eva Milza, pemilik Rendang Asese di Padang, Sumbar, yang kebanjiran pesanan hingga butuh 100 kg daging sapi/hari. Bahkan, Rendang Nenek di Bandung, Jabar, milik Intan Rahmatillah, yang baru memulai usaha pada 2011 pun turut merasakan nikmat bisnis ini saat Ramadan. Sebanyak 50 kg daging sapi per bulan siap ia olah jadi rendang.

“Sekarang lagi ramai, bisa 100 kg (daging). Biasalah, orang mau persediaan buat puasa. Orang Jakarta sering kirim. Mesti banyak stok itu,” ujar Eva sambil tertawa bahagia. Bagaimana tidak, biasanya perempuan asli Payakumbuh, Sumbar, ini mengolah 50 kg daging sapi per hari. Menjelang Ramadan hingga Lebaran, omzetnya naik dua kali lipat.

Sementara, menurut Tania Ismir, Kepala pemasaran PT Langit Cerah Sukses (LCS), permintaan Rendang Daging Karissa selama puasa tahun lalu meningkat 30%. Disusul permintaan saat lebaran haji (20%) dan liburan akhir tahun (Desember – Januari) yang turut mendongkrak penjualan. “Kemarin libur sekolah agak turun sedikit karena orang konsentrasinya masuk sekolah. Kalau Desember, banyak,” tutur Tania saat ditemui AGRINA (13/7). Pada hari biasa saja, LCS sanggup memproduksi 6.000–7.000 kaleng rendang. Eva menambahkan, “Sampai Lebaran Haji itu rame. Itu ‘kan orang mau ke Mekkah, mereka bawa bekel. Kebanyakan bawa rendang yang kering, suwiran.”

Rendang sudah melenggang ke mancanegara, baik dipasarkan langsung maupun dibawa hand and carry oleh penikmat rendang. Sebagai oleh-oleh keluarga di negeri orang ataupun pengobat kerinduan masakan ibu. Di dalam negeri, rendang bisa ditemui di rumah makan, kios oleh-oleh, supermarket, hingga penjaja online. Harganya beragam. Kisaran Rp20 ribu untuk rendang daging kemasan individu (100 gr), Rp26 ribu untuk rendang kemasan kaleng (150 gr), hingga Rp350 ribu untuk rendang kemasan parsel (stoples dan mangkok). Rendang yang disajikan beraneka pilihan (Baca: Yuk, Menyantap Rendang!).    

Selera Asal

Semaraknya bisnis rendang sangat dirasakan Eva dan Andam. Keduanya memulai usaha rendang pada 2003 dan 2004. “Dari 2004 sampai sekarang ini pesat. Tapi, kira-kira dua tahun terakhir, luar biasa pesat,” ucap Andam. Sebab, pola hidup menuntut serba praktis tapi dengan selera masakan rumah. “Aku ngelihat semenjamurnya restoran fast food tapi selera ibu, selera asal, itu ‘kan pasti masakan rumah,” tegas ibu dua anak ini.

Eva pun sepakat. “Tiap tahun meningkat,  alhamdulillah. Soalnya Ibu (saya) nambah tungku terus ‘ni tiap tahun,” ucapnya seraya terkekeh. 

Konsep yang diusung pebisnis rendang pun beragam. Intan misalnya, tak sengaja memasak untuk memenuhi kegemaran suami menyantap rendang hingga berbuah bisnis lantaran diminati kerabat. Sementara, Andam mengusung rendang sebagai seni. “Aku bilang ini butik rendang. Ada sentuhan seninya. Ada hatinya ikut bermain. Berbagai rendang ada di Uni Farah,” tegasnya. Tema yang diangkatnya rendang dalam kemasan cantik untuk oleh-oleh. “Dengan segala keistimewaannya, kita masak dengan kayu bakar, mempertahankan ketradisionalannya, mempertahankan citarasanya, selalu fresh,” imbuhnya.

Kedalaman konsep Andam sejalan dengan sejarah rendang  yang sarat khazanah budaya Minang. “Rendang itu tak semata-mata makanan. Rendang ini cerita, budaya, seni, ada semua di dalamnya,” ungkap istri Muhammad Meizar ini.

Sejatinya, rendang (randang) adalah proses memasak, mengaduk masakan tiada henti. Aneka bahan makanan dan bumbu khas bisa dibuat rendang, bergantung keistimewaan daerah. Setiap daerah di Sumbar punya rendang yang khas. Ini sebabnya, menurut Andam, alangkah elok jika disebut rendang minang, bukan rendang padang, untuk mewakili daerah di Sumbar.

Penulis buku Rendang Traveler ini menuturkan, ada rendang lokan (kerang) untuk orang di tepi laut. Mereka punya ritual khusus meminta izin pada buaya untuk mengambil lokan di muara sungai, “Iyek-iyek (paman-paman) aku izin ya, aku mau nyari rizki nih.” Sebab, lokasi lokan itu tempat tidur buaya. “Kalau nggak izin, kaki mereka digigit buaya. Itu rendang yang penuh risiko, menantang maut,” tandasnya.

Windi Listianingsih, Ratna B.W., Renda D.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain