Kabarnya Program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao akan berakhir pada 2012. Padahal program tersebut cukup efektif untuk meningkatkan produksi, lalu apa langkah selanjutnya?
Program Gernas Kakao sudah berjalan sejak 2009 ditujukan kepada petani kakao untuk memperbaiki tanaman kakao yang sudah tua dan tidak terawat melalui intensifikasi, peremajaan, dan rehabilitasi. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kakao. Hingga saat ini baru menjangkau 30% dari total area tanaman kakao seluas 1,6 juta ha.
Tingkatkan Pendapatan Petani
Didiek Hadjar Goenadi, Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), mengingatkan, jika program Gernas Kakao dihentikan, ditakutkan akan mengurangi produksi. “Jangan sampai saat industri dalam negeri bergairah, tapi justru kekurangan bahan baku. Saat ini industri kakao dalam negeri sedang bergairah,” tukas Didiek cemas.
Gernas Kakao selama tiga tahun berhasil meningkatkan produktivitas kakao dari 800 kg/hektar (ha) menjadi 1 ton/ha. Total produksi pun meningkat dari 803 ribu ton pada 2008 sebelum Program Gernas Kakao menjadi 834 ribu ton kurun 2010 (sudah masuk Gernas Kakao). Bila program ini tidak dilanjutkan, produksi kakao dikhawatirkan melorot kembali.
Sementara itu, Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, didampingi Azwar A.B, Direktur Rempah dan Penyegar, menjelaskan, dalam hal ini permasalahannya bukanlah selesai atau tidak selesai program Gernas Kakao, tapi bagaimana melalui program ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Alasannya, dari total 1,6 juta ha kebun kakao, 94%-nya adalah tanaman rakyat, jadi bagaimana caranya melalui program Gernas Kakao ini dapat meningkatkan produksi, produktivitas serta kontiniutas produksi? “Diharapkan dengan adanya program Gernas Kakao ini petani memperoleh nilai tambah,” katanya.
Nilai tambah yang dimaksud, tambah Azwar, petani menjual biji kakao yang sudah difermentasi. Karena dengan melakukan fermentasi, petani akan mendapatkan harga lebih tinggi sebesar Rp3.000/kg dibandingkan biji nonfermentasi. Dengan selisih harga tersebut, pemerintah terus berupaya memicu dan mengarahkan petani melakukan fermentasi secara baik. “Kita menginginkan semua petani bisa menghasilkan biji kakao yang telah difermentasi,” tegasnya.
Namun, Azwar mengakui, memang di sebagian daerah selisih harganya hanya Rp1.000 – Rp2.000/kg. Itulah hasil ulah pembeli nakal yang merusak harga dengan menyamakan harga beli kakao nonfermentasi dan fermentasi. “Hal ini membuat semangat petani yang sudah melakukan fermentasi menjadi kendur kembali karena harganya disamakan,” tutur Azwar risau.
Padahal pelaku industri kakao, seperti Sindra Wijaya, Presiden Direktur PT Bumi Tangerang Coklat Utama (BT Cocoa), sudah menekankan perusahaannya tidak akan menyia-nyiakan upaya petani yang mau melakukan fermentasi. Salah satunya dengan memberi insensif sebesar Rp3.000/kg. “Bahkan jika kualitas fermentasinya baik, kita berani memberi tambahan lebih tinggi Rp4.000 - Rp5.000/kg,” jelas Sindra.
Biasanya petani menjual kakao nonfermentasi ke para spekulan, bukan langsung ke perusahaan atau industri kakao. “Sehingga nilai jual antara yang difermentasi dengan yang nonfermentasi hanya selisih Rp500 per kg,” ungkap Sindra yang juga Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI).
Sindra menuturkan, saat ini BT Cocoa sebagai pengolah biji kakao sudah membangun kemitraan dengan petani. Pihaknya memberikan penyuluhan dan pengarahan cara melakukan fermentasi untuk menghasilkan biji kakao berkualitas baik. “Tujuannya agar petani kakao mendapatkan nilai tambah dari penjualan kakao ini,” tandasnya.
Tingginya permintaan kakao fermentasi terlihat pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan pada 2009 volume ekspor kakao olahan (fermentasi) sebesar 82 ribu ton. Kemudian merangkak naik menjadi 178 ribu ton pada 2011. Sedangkan ekspor biji kakao (nonfermentasi) turun dari 439 ribu ton menjadi 210 ribu ton pada tahun yang sama.
Melihat tingginya permintaan biji kakao yang difermentasi, baik dari dalam dan luar negeri, maka pemerintah membuat Unit Fermentasi Biji Kakao (UFBK). Jumlah UFBK ini sekarang mencapai 129 unit yang tersebar di 24 kabupaten. Peran UFBK mengajarkan petani cara melakukan fermentasi dengan standar SNI. “Di antaranya, biji kakao fermentasi yang berkadar air hanya 7% dan jumlah biji dalam satu kilogram sebanyak 85-100,” papar Azwar.
Menjadi Pengendali
Menurut pengamatan Sindra, saat ini pasar kakao terpecah menjadi dua, yaitu Amerika yang menginginkan biji kakao nonfermentasi dan Eropa peminat biji kakao fermentasi. Dalam hal ini perlu ada ketegasan pemerintah jika ingin semua produk kakao nasional berbentuk fermentasi. Jika pemerintah tegas, maka mau tidak mau petani akan melakukan perdagangan dalam bentuk fermentasi.
Ke depan Didiek berharap Indonesia bukan lagi produsen biji kakao mentah, melainkan menjadi pengendali produk setengah jadi. Bila perlu ekspor, dalam bentuk produk jadi. Selain itu, sebagai produsen barang setengah jadi, Indonesia bisa menciptakan ketergantungan bagi negara produsen barang jadi. Kalau pun membuat barang jadi, Indonesia harus melakukan promosi agar bisa bersaing dengan negara yang sudah lebih dulu berkecimpung di segmen ini.
“Lebih baik mengendalikan kebutuhan pasar saat ini, khususnya negara yang memang sudah memproduksi barang jadi. Sehingga saat kita menutup pasar, mereka akan kebingungan mencari kakao setengah jadi (fermentasi),” ucap Didiek sambil tersenyum. Azwar menambahkan, “Jika tiap hektar bisa memproduksi satu ton biji kakao, maka dengan total luas area 1,6 juta ha berarti akan menghasilkan 1,6 juta ton. Bukan tidak mungkin Indonesia menjadi penghasil kakao terbesar di dunia.”
Lebih dari itu, Azwar bertekad mengubah citra kakao Indonesia yang bermutu rendah. Caranya dengan meningkatkan produksi dan melakukan fermentasi pada kakao untuk pasar internasional. “Melalui gerakan fermentasi ini kita bisa memenuhi kebutuhan industri dalam dan luar negeri, jadi kita tidak impor lagi,” cetusnya.
Melihat banyaknya manfaat yang diperoleh petani dan industri kakao, bukankah Program Gernas Kakao masih perlu dilanjutkan.?
Yuwono Ibnu Nugroho