Minggu, 24 Juni 2012

LIPUTAN KHUSUS : Hardiansyah Ismail Muda Yang Berkarya

 

 

Tak kenal menyerah. Itulah Hardiansah Ismail, CEO Saung Domba. Selama bekerja di PT Medco Downstream Indonesia, hati pria yang akrab dipanggil Doddy ini terusik. Nama besar perusahaan tempatnya berkarier tak bisa meredam hasratnya untuk berwiraswasta.

Yang penting melangkah! Itu prinsipnya. Berbagai bidang usaha pernah dicoba mulai distro, percetakan, bahkan sampai distribusi minuman bersoda. Sayang, dewi fortuna belum berpihak. Usaha tersebut kandas, tetapi kegagalan itu laksana simbol tekad Doddy. “Peluang terbesar saya yakin di agribisnis,” tuturnya kala ditemui di Depok, Jawa Barat.

Setelah berhitung bersama rekannya, Ahmad Y.M, Rian R, dan Siti T, mereka pun memilih domba. “Domba ini grey area. Untungnya kecil. Orang kaya tak tertarik untung kecil,” paparnya mewakili ketiga rekannya.

Merasa tak tahu domba, mereka berguru pada ahlinya. “Pada 2008 saya bangun ini (Saung Domba). Dalam waktu satu minggu, saya belajar pada Villa Domba (Suhadi), dan Pak Bunyamin, mereka orang yang sudah sukses di bisnis domba,” terang Doddy.

Tahun pertama usahanya bak di neraka. Berbagai kemalangan silih berganti menimpa. “Selama satu tahun nggak ada income karena saya cuma kejar (hari raya) kurban,” kenangnya pahit. Bukan keuntungan, kebuntungan yang dia dapat. Tak cukup dengan kematian 30 ekor ternak, pada saat Idul Adha, 10 ekor ternaknya  pun raib dicuri. “Tapi, oke, saya jalan terus,” ucap Doddy yakin.

Kurban tak dapat diandalkan, maka dia mencoba menjadi tukang daging. Setelah keluar dari Medco pada 2009 dia pun memotong dan memasarkan daging di Pasar Kemiri, Depok. Empat bulan kemudian dia gulung tikar dengan kerugian Rp7 juta.

Dia terus mengintip celah. “Tahun kedua, saya coba ke akikah. Nggak gampang. Kita harus punya kualitas, punya armada pengantaran, dan nilai tambah,”ujarnya bersemangat. Selama 6 bulan awal dia hanya mampu menjual  satu ekor domba akikah. Dengan mengubah target pemasaran menjadi kelas menengah atas, “Tahun 2011 alhamdulillah, 37-45 ekor/bulan,” paparnya. Bahkan 2012 akikah mereka bisa menembus 60-70 ekor/bulan. “Jangan tanya kurban, 185 ekor yang disiapkan ludes pada 2011. Tahun ini kita kejar 250 ekor,” tuturnya optimistis.

 

Drs. H. Bunyamin

Suhu Peternak Domba

Drs. H. Bunyamin, pemilik peternakan “Domba Tawakkal” mungkin bisa disebut sebagai guru peternak. Pasalnya, banyak peternak yang terlahir dari tangan dinginnya. Bapak yang berasal dari Cimande Hilir, Caringin, Kab. Bogor, Jabar ini menekuni peternakan sejak 1993. Awalnya, dia beternak sebagai hobi. Ternyata, perkembangan bisnis dombanya tak dapat dipandang sebelah mata. Akhirnya, dia pun mengakhiri profesinya sebagai pegawai negeri di bidang kesehatan.

Dengan motto Sejuta (SEmangat, JUjur, TAwakkal) dan misi menjadikan Desa Cimande Hilir sebagai sentra ternak, ia memulai kiprah di bidang peternakan. Berawal dari enam ekor domba, kini Pak Haji telah mengembangbiakkan ribuan ekor. “Sekarang mungkin yang di sini (kandang atas) ada 1.200 ekor lebih. Terus yang di (kandang) bawah ada 800-an ekor. Mungkin (totalnya) ada 2.000 ekor,” urainya merendah.

Pria kelahiran Cianjur, 2 Mei 1956 ini tidak ingin berjaya sendiri. Atas permintaan warga sekitar, ia pun mendirikan kelompok ternak tani Domba Tawakkal. Awalnya hanya 15 orang yang berminat, tetapi lama kelamaan bertambah. Kini terdaftar 30 orang setelah 12 orang terpaksa ditolaknya. Kelompok yang diketuai Bunyamin itu memiliki 815 ekor.

Selain memberdayakan bapak-bapak, Bunyamin mengajak istri dan anak peternak turut serta mengembangkan pertanian terintegrasi. “Anggota kelompok ‘kan punya istri. Nah istrinya jadi Kelompok Wanita Tani (KWT). Anak-anaknya ada juga yang nganggur, dimasukkan ke Kelompok Taruna Tani,” katanya.

Kegiatan mereka sangat bervariasi. Selain memelihara domba yang dilakukan Kelompok Ternak Tani, Kelompok Taruna Tani diajari mengolah pupuk menjadi kompos. Pupuk tersebut dijual dan sebagian digunakan untuk menanam mentimun, kacang panjang, dan buncis oleh KWT. Dengan pertanian terintegrasi sudah barang tentu mendongkrak penghasilan keluarga. “Saya membentuk mereka dari mustahiq (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat),” Bunyamin menyudahi paparannya.

 

Drh. Brian Koesoema Adhie

Memilih Trading

Kecintaan Drh. Brian Koesoema Adhie, pemilik PT Adhie Lestari Lirboyo terhadap kambing sudah tampak sejak dia belia. Sejak 2002 pria kelahiran 24 Juli 1985 ini telah bergelut dengan kambing Peranakan Ettawa (PE). Tak tanggung-tanggung Brian mencicipi semua lini usaha, mulai dari pembibitan, pembesaran, dan penggemukan.

Menurut jebolan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, di antara berbagai unit usaha di bidang peternakan, lini jual belilah yang paling menjanjikan. “Tetap trading-nya yang untung,” ujar Brian mantap.

Namun sistem jual beli yang masih mengandalkan penampilan luar atau dikenal dengan istilah jogrog membuatnya gerah. “Tidak begitu menarik kalau pasar lokal. Nggak mau kiloan, maunya satuan. Jadi penghasilan sampai gede pun dihargai satuan. Yang gemuk ditawar murah, yang kurus malah lebih murah,” ucapnya agak emosional.

Karena itu, Brian lebih membidik pasar ekspor. Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina menjadi target pasarnya. Secara rutin dia mengirimkan 500 pejantan ke Malaysia. Dengan harga 12-14 ringgit/kg hidup atau setara Rp36 ribu - Rp42 ribu/kg hidup dia bisa memberikan harga yang layak kepada petani. “Ada selisih yang kita tidak harus menekan peternak. Oke, untungnya kecil tetapi kuotanya besar,” katanya.

Tak perlu takut populasi kita akan berkurang. Menurut Brian, dengan harga yang pantas tentu peternak akan lebih semangat dalam berproduksi. “Semenjak 2007 diekspor, populasi di Kaligesing (Purworejo, Jateng) awalnya 20 ribu jadi 200 ribu ekor, naik 10 kali lipat. Peternak bergairah karena ada pasar. Mereka bersemangat,” tukasnya.

Ia menepis kekhawatiran plasma nutfah kita akan dicuri. “Malaysia mintanya jantan. Semen (sperma jantan) segitu banyak, betinanya nggak ada. Kalau kita jual betina salah,” dalihnya. Brian mengaku tidak melakukan seleksi khusus untuk kambing yang akan diekspor. Yang penting  hidup, segar, kirim. “Kalau ada perlakuan khusus keenakan dia (negara asing) dapat kambing bagus,” pungkasnya bersemangat.

Ratna Budi Wulandari, Syaiful Hakim, Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain