Selasa, 12 Juni 2012

Omzet Jamu Capai 13 Triliun per Tahun

Minum jamu sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, bahkan produk-produk jamu ilegal dari luar negeri dan dalam negeri marak di pasar lokal. Hal ini jelas berpotensi merugikan industri jamu lokal.

Ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia Charles Saerang mengatakan, omzet jamu dalam setahun mencapai 13 triliun, tapi potensinya sebenarnya bisa mencapai 25 triliun. “Pasar jamu ilegal inilah yang membuat kita kehilangan keuntungan 12 triliun," tandas Charles Saerang dalam diskusi mengenai Inovasi Industri Jamu di Indonesia yang diselenggarakan oleh PT Sinde Budi Sentosa di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (12/6).

Charles menambahkan, tahun ini saja pendapatan untuk jamu gendong atau lokal sebesar Rp 1,3 triliun, sementara untuk pendapatan dari industri jamu jago, sinde, dan jamu lainnya mencapai Rp 13 triliun. "Meski diserbu berbagai obat kesehatan modern, jamu tetap hadir sebagai salah satu produk unggulan nasional yang mendapat sambutan positif dari masyarakat," kata Charles.

Ia menambahkan, prosentase penduduk Indonesia yang pernah mengkonsumsi jamu sebanyak 59,12 persen, dari semua kelompok umur, laki-laki, perempuan, dari pedesaan hingga perkotaan. Dari semua penduduk Indonesia yang pernah mengkonsumsi jamu, 95,60 persen merasakan manfaat minum jamu bagi kesehatan. “Potensi pasar domestik sendiri menjanjikan omzet yang luar biasa,” katanya.

Untuk itu, penting bagi pelaku industri jamu agar bisa memenuhi ekspektasi pasar domestik dan juga pasar tradisional, sehingga Jamu menjadi produk kesehatan berkualitas yang dapat dikonsumsi masyarakat luas.

Data Kementerian Perdagangan RI, nilai impor obat tradisional dan herbal sepanjang 2011 mencapai 40,5 juta dollar Amerika, Malaysia dan Korea Selatan menjadi tiga negara terbesar pemasok obat tradisional dan herbal di pasar domestik.

Tantangan Pasar dan Inovasi

Sementara itu Presiden Direktur PT Sinde Budi Sentosa, Budi Yuwono mengatakan produk jamu berbeda dengan obat yang sudah teruji klinis. Jamu terbuat dari ramuan-ramuan tradisional dan belum banyak diteliti meskipun manfaat kesehatannya sudah banyak dirasakan.

Tantangan Pasar inilah yang membuat Produsen jamu nasional, PT Sinde Budi Sentosa terus berinovasi agar produknya bisa diterima masyarakat luas dari beragam lapisan usia, budaya, dan wilayah. "Kami terus melakukan inovasi yang berkelanjutan bagi semua pelaku industri jamu. Dan ini menjadi suatu keharusan," kata Budi Yuwono,

Pendekatan ke konsumen juga dilakukan dengan berbagai inovasi salah satunya adalah dengan memeroduksi jamu dalam kemasan kaleng. “Ini merupakan yang pertama di Indonesia,” ungkapnya.

Budi menambahkan, hadirnya produk dalam kemasan kaleng siap minum tersebut sebagai respon atas kultur budaya masyarakat yang modern, dengan mobilitas tinggi dan gaya hidup yang serba ingin praktis dan instan.

Inovasi yang dilakukan oleh PT Sinde Budi Sentosa ini mendapatkan respon dari pihak Museum Rekor Indonesia (MURI). Inovasi Sinde yang dirintis sejak 1994 tersebut mendapatkan penghargaan dari MURI, sebagai perusahaan nasional pertama yang memproduksi Jamu dalam kemasan kaleng siap saji di Indonesia. Piagam MURI disampaikan Jaya Suprana selaku pendiri MURI kepada Budi Yuwono Tjioe selaku Presiden Direktur PT Sinde Budi Sentosa.

"Langkah Sinde selaku produsen jamu nasional untuk terus berinovasi dalam menyajikan produk jamu terbaik bagi masyarakat patut ditiru oleh produsen lainnya," kata Jaya Suprana.


Jangan Ganti Kata Jamu

Herbal menjadi istilah yang banyak diungkapkan untuk merujuk pengobatan cara tradisional ketimbang memakai istilah jamu. Tetapi Jaya Suprana berharap istilah jamu jangan diganti dengan herbal. Sebab, istilah jamu seharusnya tidak boleh diganti dengan herbal karena jamu merupakan warisan budaya bangsa dan hanya satu-satunya di Indonesia.

"Ada perhimpunan dokter yang meresepkan jamu untuk pasiennya, tetapi mereka menggunakan kata herbal. Jamu saat ini perlahan-lahan mulai dibinasakan di masyarakat," tandas Jaya Suprana,

Padahal, ungkapnya, kementerian kebudayaan kabarnya tengah mengupayakan agar jamu dapat diakui oleh UNESCO sebagai salah satu cultural heritage Indonesia, menyusul batik. “Penggunaan istilah herbal dirasa kurang tepat. Pasalnya, posisi jamu sebagai pengobatan tradisonal sampai saat ini masih memiliki tempat yang melekat di masyarakat,” kata Pemliki Perusahaan Jamu Jago ini.

Saat ini, kementerian kesehatan tengah mengupayakan saintifikasi jamu di kalangan kedokteran. Lewat program ini, dokter boleh meresepkan jamu sebagai pengobatan untuk pasiennya. Upaya ini baru berjalan hampir 2 tahun dan diharapkan dapat memperkuat posisi jamu sebagai cara pengobatan yang terbukti ampuh.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain