Konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah. Perlu upaya lain untuk meningkatkannya.
Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian, menyoal rendahnya tingkat konsumsi susu di Tanah Air jelang Hari Susu Nasional yang diperingati setiap 1 Juni. Mengutip data Kementerian Pertanian, tingkat konsumsi susu msyarakat kita baru 11,09 liter/kapita/tahun. “Dibandingkan negara Asia saja kita terendah, bagaimana jika dibandingkan dengan negara Eropa,” ucap Rusman prihatin.
Mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) itu melihat, rendahnya konsumsi susu segar dalam negeri lantaran masyarakat Indonesia lebih banyak membeli susu bubuk. Pasalnya, produksi susu dalam negeri saat ini baru mampu memenuhi 30% atau 1,2 juta ton dari total kebutuhan yang sebesar 3,2 juta ton dan sisanya masih mengandalkan pasokan impor.
Lebih jauh Rusman merinci porsi konsumsi susu tersebut. Susu cair Ultra High Treatment (UHT) sebesar 118,5 ribu ton (4,6%), susu steril 69 ribu ton (2,7%), susu pasteurisasi 30 ribu ton (1,2%) dan sisanya susu bubuk yang mencapai 43,3%. “Besarnya impor itu bukan dalam bentuk susu segar tapi dalam bentuk setengah jadi yang diolah lebih lanjut di dalam negeri,” terangnya.
Konsumsi susu yang rendah juga tak terlepas dari pendapatan per kapita masyarakat. Saat ini sebagian besar pendapatan masyarakat kita masih belum cukup untuk menjangkau harga susu. Meski secara rata-rata nasional sudah mencapai lebih dari US$3.000/kapita/tahun, lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Tambah Populasi
Untuk menaikkan konsumsi susu, Kementan gencar melakukan kampanye minum susu segar melalui momen peringatan Hari Susu Nasional. Sedangkan penambahan produksi susu dalam negeri diungkit dengan mengimpor sapi perah sebanyak 2.300 ekor dari Australia.
“Rencananya, sapi perah impor tersebut akan ditempatkan di sentra-sentra produksi susu seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Datangnya sapi perah impor ini dapat menaikkan populasi sapi perah sebesar 4,3% atau menjadi 630.326 ekor sehingga dapat meningkatkan produksi susu dalam negeri,” harap Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ternak, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan.
Fauzi menambahkan, pihaknya juga akan melakukan pelatihan dan penyuluhan tentang perawatan sapi perah bagi peternak rakyat agar produksi dan populasi sapi mereka meningkat. Soalnya, angka kelahiran sapi perah tahun ini hanya 80 ribu ekor. “Kami terus berupaya agar minimal setengahnya benar-benar menjadi sapi perah dengan produksi yang tinggi,” cetusnya.
Dengan penambahan sapi perah impor dan lokal diharapkan tahun ini produksi susu segar bisa mencapai 1,3 juta ton atau naik 9,4% dibandingkan tahun lalu. “Kalau ingin memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri, maka harus menambah populasi tiga kali lipat dari hasil sensus sapi perah 2011 yang hanya 603.852 ekor,” hitung Fauzi.
Beda Tempat Beda Produk
Untuk memperbanyak konsumsi susu, pengusaha menempuh jalan lain. M. Lutfi Nugraha, pemilik Cahaya Dluha Home Industry misalnya, memilih memproduksi produk turunan susu. Mengusung merek LuMer, ia meluncurkan produk susu yang diperkaya dengan 11 macam rempah-rempah. Produk ini dipasarkan dengan harga Rp10 ribu/gelas plastik.
“Dengan mencampur susu murni dengan ramuan rempah-rempah tersebut akan menambah konsumsi susu bagi yang tidak terbiasa mengonsumsi susu segar. Selain menyehatkan juga membuat hangat badan karena salah satu bahannya dari jahe,” ucap Luthfi yang usahanya berlokasi di Kuningan, Jabar.
Selain membuat susu rasa rempah, lelaki muda itu juga memproduksi yoghurt bantal yang dijual Rp500/35 gr. Luthfi mengakui, promosi juga penting untuk menggencarkan konsumsi susu. Misalnya mengenalkan pentingnya konsumsi susu ke sekolah-sekolah. Termasuk susu murni untuk membiasakan konsumsi di kalangan siswa Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Diharapkan kebiasaan mereka minum susu akan terbawa hingga dewasa kelak.
Beda lagi dengan Drh. Junar, pelaku olahan susu asal Enrekang, Sulawesi Selatan. Ia mengolah susu menjadi dangke. Dangke adalah susu murni yang dipadatkan dalam freezer. Bila akan dikonsumsi, tinggal digoreng. “Untuk membuat satu biji dangke dengan bobot 350 gr kira-kira membutuhkan dua liter susu. Biasanya dalam sehari bisa menjual 300 biji dangke dengan harga satu biji Rp14 ribu,” papar Junar.
Pengolahan susu menjadi dangke itu dapat memperluas pasar tidak hanya sekitar Sulawesi Selatan, tapi juga merambah Kalimantan. Sayangnya, produksi dangke Junar masih terbatas. “Dalam sehari baru bisa memproduksi susu sebanyak 4.400 liter dan itu dihasilkan 300 peternak,” lanjutnya.
Menurut Junar, dari biji dangke bisa dibuat turunannya lagi, yaitu kerupuk dangke, untuk membidik konsumen lain. Cara membuatnya, satu biji dangke dihaluskan kemudian dicampur telur, gula, dan tepung ketan, lalu dibentuk dan dijemur hingga menjadi kerupuk. Setelah menjadi kerupuk, permintaan naik dua kali lipat. “Selain penjualannya yang meningkat, harganya pun meningkat menjadi Rp10 ribu/100gr dan Rp15 ribu/200 gr. Harga tersebut akan naik lagi sebesar Rp 5.000 jika barang masuk ke pameran,” terang Junar.
Luthfi dan Junar, hanyalah dua dari pengusaha olahan susu yang ada di Indonesia. Masih diperlukan lebih banyak lagi pengusaha dengan kreasi lainnya agar masyarakat yang tidak suka minum susu, mau mengonsumsinya dalam bentuk lain. Apalagi harga jual produk olahan susu jauh lebih menguntungkan ketimbang hanya melego susu segar kepada industri pengolah.
Yuwono Ibnu Nugroho, Ratna Budi Wulandari
Tabel Konsumsi Susu Se-Asia 2011
Negara Volume Konsumsi
(liter/kapita/tahun)
India 42,08
Thailand 33,7
Malaysia 22,1
Filipina 22,1
Vietnam 12,1
Indonesia 11,09
Sumber: Kementerian Pertanian