Senin, 14 Mei 2012

LIPUTAN KHUSUS : Mengurai Problem Klasik

Gali lubang tutup lubang, terus berulang. Jagung lokal versus impor. Bukan kalah-menang, tapi mana yang diperjuangkan.

Jagung masih terbilang komoditas seksi. Bagaimana tidak, pengaruh yang ditimbulkan produksi dan harga jagung tak hanya dirasakan petaninya. Sebagai bahan baku pakan ternak, yaitu mencapai sekitar 50%, naik-turunnya harga dan produksi jagung memberikan pengaruh berantai. Sebut saja pengusaha pakan ternak, peternak ayam, pedagang ayam, hingga konsumen daging ayam.

Untuk itu, jika stok jagung berkurang, impor jagung pun biasanya menjadi pilihan. Harga menjadi stabil, stok pun aman. Inilah yang diperbuat Kementerian Pertanian (Kementan) pada awal Mei ini. “Kami membuka impor jagung sebanyak 200 ribu ton pada bulan (Mei) ini,” ujar Syukur Iwantoro, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan.

Syukur beralasan, stok jagung yang dimiliki pabrik pakan ternak hanya 310 ribu ton. Sementara, industri pakan ternak membutuhkan sekitar 560 ribu ton. “Artinya, industri pakan ternak masih membutuhkan jagung sebanyak 250 ribu ton,” tambahnya.

Sudirman, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pakan Indonesia (GPMT) yang baru saja terpilih kembali pun membenarkan. “Bulan lalu kami lakukan survei ke pabrik di Sumatera  Utara. Stok di gudang kita hanya 460 ribu ton. Kalau kebutuhan kita sebulan 560 ribu ton, berarti stoknya tidak sampai satu bulan. Itu ‘kan kritis,” ungkapnya. 

Namun, apa impor selalu akan jadi pilihan? Dean Novel, Direktur PT iPasar Indonesia, menegaskan, perlu dicari akar permasalahan sebenarnya. “Kalau ini hanya dianggap sebagai isu biasa, saya khawatir masalah ini terulang lagi. Selalu di lubang yang sama,” katanya.

Di Mana Stok Jagung?

Sebenarnya, bagaimana kondisi produksi jagung nasional? Menurut Angka Ramalan III yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, produksi jagung 2011 diperkirakan sebanyak 17,23 ton pipilan kering. “Data produksi nasional itu ‘kan 17 juta ton. Kalau impor 2 juta ton saja, berarti ‘kan ada 19 juta ton. Kebutuhan pabrik pakan 6,5 juta ton, seharusnya masih ada saldo 13 juta ton. Ini yang 13 juta ton ke mana?” cetus Dean.

Sudirman pun mempertanyakan ketersediaan jagung tersebut. “Sebelum Kementan tahu panen jagungnya berapa, orang pabrik pakan sudah tahu. Berapa banyak panen di sini, di mana tanam jagung, kami sudah tahu. Karena kami ada kepentingan. Selama ini, kami tidak pernah menggugat data itu, tapi saat angka itu dijadikan patokan pengambilan kebijakan, nanti dulu. Kita harus membenahi data itu dulu,” ucapnya berapi-api.

Impor jagung dilakukan guna memenuhi kebutuhan industri pakan ternak. Tak pelak pengusaha pakan ternak seringkali dituding tidak berpihak pada petani jagung. Anggapan ini dibantah keras oleh Sudirman. “Kalau ada jagung lokal, pasti jagung lokal yang akan menjadi prioritas pabrik pakan. Sebab, pertama, kualitas jagung lokal jauh lebih baik, atau kualitas jagung impor itu tidak lebih baik dibandingkan jagung lokal. Yang kedua, harga jagung lokal jauh lebih murah. Jagung impor kan harus ditambah ongkos angkut lagi,” tegasnya.

Perbaikan data diperlukan juga berhubungan dengan pengaturan impor yang akan masuk. Dean menegaskan, berapapun impor yang masuk, jangan sampai mengganggu daerah yang masih melaksanakan panen. Kalau perlu, menurutnya, pemerintah membuat program sensus jagung. “Daripada tebak-tebakan (data), lebih baik bikin sensus jagung nasional 2013. Anggarannya, minta sama pabrik pakan, sisanya dari APBN!” celetuknya ringan.

Perbaiki Transportasi

Kendala transportasi dianggap menjadi kunci tidak sampainya stok jagung yang ada di lapangan ke tangan industri pakan. Daerah produksi jagung cenderung menyebar di seluruh Indonesia, sementara lokasi pabrik pakan hanya di beberapa kota besar.

Dean mencontohkan, untuk mengangkut jagung dari Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Timur ke pabrik pakan di wilayah Surabaya, dibutuhkan biaya Rp1.000/kg. Padahal, harga jagung di tingkat petani hanya Rp2.500/kg. Belum lagi jika ditambah dengan biaya tenaga kerja pengangkut. Dengan biaya produksi jagung Rp1.200/kg, dapat dipastikan keuntungan yang diterima petani semakin menipis, bahkan bisa jadi mengalami kerugian.

“Ini harus pemerintah yang turun tangan. Misalnya, dengan membeli kapal yang memang khusus untuk wira-wiri (dari Dompu ke Surabaya). Ongkosnya disubsidi negara, jadi biaya transportasinya murah. Yang kayak gitu lho yang seharusnya dibikin,” saran pria dengan pembawaan santai ini.

Permasalahan yang sama diakui Sudirman. Selain pengangkutan, banyaknya antrean kapal di pelabuhan tujuan dapat mempengaruhi kualitas jagung. “Di Surabaya ‘kan antrean kapalnya banyak. Masalah di sini. Bisa jadi tape jagung, rusak. Problem yang pemerintah nggak boleh cuci tangan, nggak boleh pura-pura nggak tahu,” tegasnya.

Pascapanen

Tak hanya transportasi, sarana pascapanen yang tidak memadai juga mempengaruhi stok jagung nasional. Sarana pendukung seperti pengeringan pun menjadi masalah utama sehingga petani tak mampu memenuhi persyaratan mutu yang diminta pabrik. Di Kabupaten Dompu, pengembangan areal tanam jagung seluas 25 ha tidak dilengkapi dengan fasilitas pengeringan.

“Ini ‘kan namanya bercanda. Pengeringannya mengandalkan matahari. Kalau hujan seminggu, rusak semua jagung ini. Seharusnya, kalau memang mau menambah lahan, sarana pascapanennya juga ditambah, dong. Misalnya 10:1 (10 ha lahan, 1 pengering),” protes Dean.

Kurangnya fasilitas ini juga diakui Sudirman. Untuk itu, guna membantu petani Dompu, pabrik pakan memberi kelonggaran. Jika jagung yang dapat diterima pabrik pakan adalah jagung pipilan kering dengan kadar air 15%, maka untuk jagung dari Dompu kadar air 17% masih bisa diterima.

“Tapi, (petani) itu juga harus diberikan pemahaman. Peningkatan produksi tidak cukup hanya dengan memberikan benih gratis, pupuk gratis. Itu hanya budidaya, tapi setelah itu petani kapok tanam karena tidak laku dijual. Petani juga harus diberikan pemahaman, misalnya jangan panen muda, harus di atas 120 hari supaya kering di pohon karena mereka ‘kan tidak punya dryer,” tutur peraih gelar dokter hewan dari Universitas Airlangga, Surabaya, ini.

Jika peningkatan produksi dari sisi budidaya terus-menerus dilakukan, namun infrastruktur dan sarana pendukung tidak diperhatikan, kita memang harus siap dengan masalah yang sama terulang setiap tahun.

Renda Diennazola, Ratna Budi Wulandari, Yuwono Ibnu Nugroho

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain