Produktivitas 40 ton TBS dengan rendemen 26% per hektar bukan hal mustahil dicapai. Namun, banyak hal harus diupayakan.
Bisnis kelapa sawit diperkirakan masih tetap berkilap dalam tahun-tahun mendatang. Tak heran bila Indonesia, sebagai produsen nomor wahid di dunia, ingin lebih banyak menangguk untung dengan mengatrol produksi. Pemerintah merencanakan produksi 40 juta ton minyak sawit (crude palm oil-CPO) pada 2020. Untuk mencapai itu, para pengusahanya, yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mencanangkan produktivitas 40 ton tandan buah segar (TBS) dengan rendemen 26% (9,1 ton CPO) per hektar.
Saat ini, menurut Ir. Yurna Yenni, M.Sc., peneliti bidang pemuliaan tanaman di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan, “Rata-rata produktivitas terbaik dalam skala komersial yang pernah dilaporkan mencapai 6 ton CPO/tahun. Sedangkan rata-rata nasional (perkebunan rakyat, negara maupun swasta) baru sekitar 3,5 ton CPO/tahun.”
Hal itu tak terlepas dari masih rendahnya produktivitas kebun rakyat. Hasil penelitian Eko Nuryanto, kolega Yurna di PPKS, menunjukkan, rendemen CPO di pabrik dari kebun plasma di lima provinsi: Sumut, Jambi, Lampung, Kalsel, dan Papua hanya 20,69%, masih cukup jauh dari 26% yang diinginkan. Apalagi, kebun petani mandiri cenderung lebih rendah lagi. Asmar Arsyad, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang mewakili petani mandiri, pernah menyebut produktivitas CPO malah cuma 1,5-2 ton/ha atau 5,7%.
Biang Keladi
Kualitas benih jadi penyebab utama rendahnya produktivitas sawit petani mandiri. “Penggunaan bahan tanaman asalan/ilegal/palsu berpengaruh pada produktivitas per satuan luas. Penurunan produksi mencapai 50% di bawah produktivitas pertanaman yang menggunakan benih unggul,” ungkap Yurna melalui surat elektronik. Dan celakanya, hal ini baru dapat diketahui setelah tanaman berbuah atau umur lebih dari tiga tahun.
Walaupun biaya pembelian bibit cukup kecil, sekitar 4%-5% dari seluruh biaya investasi, dampak kesalahan memilih bibit bisa sangat besar dan lama, mengingat umur ekonomi tanaman sekitar 25 tahun. Dampaknya, pekebun rakyat tak mampu melakukan peremajaan dengan bahan tanaman unggul terkini karena ketiadaan modal akibat produktivitas yang rendah.
Faktor lain rendahnya produktivitas, imbuh Yurna, adalah praktik kultur teknis yang tidak optimum, atau penanaman di lahan dengan kondisi iklim dan tanah yang tidak sesuai bagi sawit. “Ini tak hanya dilakukan petani, tapi juga masih banyak dilakukan pekebun besar,” ujar alumnus S2 Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, 2009, ini.
Saat ini, masih menurut Yurna yang melakukan penelitian bersama Hernawan Yuli Rahmadi, MP, M.Sc. dan Dr. Abdul Razak Purba yang juga dari PPKS, lebih dari 30 varietas unggul kelapa sawit telah dirilis di Indonesia. Sebanyak 13 varietas di antaranya hasil rakitan PPKS. Varietas-varietas unggul itu berpotensi produksi hingga 8,3 ton CPO/ha/tahun, jika ditanam pada lingkungan tumbuh yang sesuai dan mendapatkan perlakuan agronomi standar. Contoh, DxP PPKS 540 bisa hasilkan rata-rata CPO 8,1 ton/ha/tahun atau rendemen 27,4%.
Mengutip data Dr. C.J. Breure, pakar pembibitan asal Belanda, estimasi realistis dari hasil potensi genetik kelapa sawit mencapai 10-11 ton minyak/ha/tahun. Beberapa pengujian projeni terbaik dari beberapa lembaga penelitian dan produsen benih sawit menghasilkan 7-9 ton. Bahkan, pertengahan 2011, Howard J. Sargeant, Direktur dan Chief Executive Palm PT Bakrie Sumatera Plantations mengklaim, pihaknya menggandeng ASD Kostarika, sudah memproduksi varietas unggul D x P Compact. Varietas ini berpostur pendek, ditanam dengan populasi 170 tanaman/ha. “Dengan rendemen tinggi, 25%-26%, tutup mata, 10 ton/ha minyak kita dapat,” tandasnya. Sayang, sampai saat ini, bibit ini masih terbatas untuk kalangan kebun Bakrie sendiri.
Upaya
Guna mendongkrak produktivitas, khususnya di kebun rakyat, PPKS melaksanakan program sawit untuk rakyat (Prowitra). Kegiatannya, antara lain, sosialisasi bahan tanaman unggul dan teknik budidaya ke pekebun rakyat; memudahkan petani mendapatkan benih kelapa sawit berkualitas dengan cara mendatangi mereka langsung ke dekat lokasi pengembangan; dan memberikan pendampingan teknis budidaya ke kelompok tani di wilayah pengembangan.
Pelaku bisnis sarana produksi, Ir. Kasirin, Key Account Manager NSH PT Syngenta Indonesia, sependapat dengan Yurna soal keharusan bertanam benih unggul bagi pekebun rakyat. “Ini mestinya diubah, pemerintah investasi memberikan varietas unggul. Dengan produktivitas rata-rata 5,5 ton CPO dikalikan 8,5 juta hektar, target tercapai tanpa membuka lahan baru,” usul Kasirin.
Dari sisi pemeliharaan tanaman, ia juga mengingatkan perlunya kehadiran penyuluh untuk membina pekebun rakyat berbudidaya yang benar. Ia mencontohkan, banyak pekebun tidak tahu pentingnya mengastrasi buah pada tanaman muda, 8 bulan sampai umur tiga tahun, agar produksi bisa optimal. Lalu, mengendalikan organisme pengganggu tanaman, termasuk gulma, secara efektif dan efisien, secara baik teknis maupun ekonomis, tapi tetap ramah lingkungan. Usulannya, aplikasi produk Gramoxone bergantian dengan Touchdown agar tidak terjadi resistensi dan suksesi gulma sejak tanaman umur setahun ke atas.
Andi Sugiri, Crop Manager for Plantation dari Bayer BioScience Indonesia merinci jenis gulma yang wajib dikendalikan. Beberapa jenis yang harus dikendalikan di daerah piringan dan pasar pikul adalah gulma berdaun lebar seperti Mikania micrantha, Asystasia intrusa, Ageratum sp, Borreria sp, Melastoma sp, Clidemia hirta. Gulma berdaun sempit seperti jenis Digitaria sp, Paspalum conjugatum, Eleusine indica, dan gulma jenis pakis-pakisan seperti pakis udang (Stenochlaena palustris). Alang-alang (Imperata cylindrica) wajib dikendalikan di perkebunan sawit baik di piringan, gawangan, maupun pasar pikul.
Dalam setahun, gulma pada daerah piringan dan pasar pikul dikendalikan dengan rotasi penyemprotan 3-4 kali. Khusus tanaman sawit belum menghasilkan (TBM) yang masih sensitif, pemilihan jenis herbisida harus dipastikan aman terhadap tanaman pokok dan efektif mengendalikan gulma. Andi menyarankan aplikasi Basta 150 SL karena relatif lebih aman terhadap tanaman pokok dan tak menimbulkan parthenocarpi. “Selain itu, Basta 150 SL punya kemampuan mengendalikan gulma yang sulit dikendalikan akibat suksesi gulma karena penggunaan herbisida tertentu yang terus-menerus digunakan,” ujarnya.
Sesudah penyemprotan gulma, tanaman disuburkan dengan pupuk yang sesuai buat sawit. Sesuai kandungan nutrisinya, dosis mencukupi, dan cara pemupukan harus tepat agar tanaman meresponsnya dengan tumbuh baik.
Peni Sari Palupi, Untung Jaya