Busuk pangkal batang akibat serangan cendawan Ganoderma terbilang penyakit utama tanaman sawit yang sulit dikendalikan karena cendawan bertahan lama dalam tanah.
Serangan cendawan Ganoderma boninense ini termasuk masalah klasik di perkebunan sawit. Termasuk di Unit Usaha Bekri di Kab. Lampung Tengah, milik PTPN VII.
Pada 2009, 4.491 dari total 64.043 tanaman terserang. Jika setahun tanaman menghasilkan 22 ton TBS/ha dengan harga rata-rata Rp1.200/kg, maka, “Kerugian akibat serangan Ganoderma cukup besar, di atas Rp7 miliar per tahun,” ungkap Syafrial, Manajer Unit Usaha Bekri saat itu ketika ditemui AGRINA (29/3). Pejabat kebun ini digantikan Afifuddin bulan lalu.
Gejala Serangan
Syafrial mengatakan, penyakit ini menyebabkan tanaman mengerdil dan menguning, rata-rata bobot tandan (RBT) dan jumlah tandan per tanaman rendah. Produktivitas tanaman pun jadi rendah.
Serangan Ganoderma dapat bersifat cepat atau lambat. Yang cepat, tanaman bisa tumbang seketika meskipun kondisi batang, pelepah maupun daun normal secara visual. Kasus ini sulit dideteksi dan baru diketahui ketika sudah ada cendawan yang tumbuh pada batang.
Yang lambat ditandai dengan perubahan warna daun berangsur menguning, pelepah memendek, bahkan mengering. Kemudian muncul badan buah Ganoderma, pangkal batang keropos dan akhirnya tumbang. Tanaman muda yang terinfeksi mati dalam waktu 6-24 bulan sejak munculnya gejala pertama. Kalau tanaman dewasa terinfeksi, kematian akan terjadi dua-tiga tahun kemudian. Akar kelapa sawit yang terinfeksi sangat rapuh, mengering, dan menjadi tepung.
Hingga kini belum ada obat-obatan yang jitu untuk mengendalikan Ganoderma. Dulu pengendaliannya dengan mengisolasi lalu membakar tanaman terserang, lantas membiarkannya beberapa waktu, baru kemudian menanam bibit baru. Untuk meminimalkan serangan, dilakukan penyemprotan fungisida.
Abu Jelaga
Pada 2009 muncul ide memanfaatkan abu jelaga hasil pembakaran dari bahan bakar boiler pabrik kelapa sawit (PKS) berupa cangkang sawit dan fiber yang terisap bersama gas asap. Abu itu ditangkap dengan alat dust collector sehingga disebut abu DC.
“Pengendalian dengan abu ini terinspirasi dari cara petani sawah tempo dulu yang mencampur benih padi dengan abu dapur agar terbebas dari serangan jamur,” ungkap Syafrial. Abu ini mengandung mineral yang dibutuhkan perakaran sawit, seperti kalium 5,8%, fosfat 2,17%, kalsium 1,4% dan nitrogen 0,05%. Besaran pH-nya 11. Aplikasi abu DC ini memperpanjang masa produktif dan mencegah serangan cendawan. Sifatnya yang basa merangsang pertumbuhan akar pada tanaman terserang dan menonaktifkan pertumbuhan Ganoderma.
Pada bagian batang yang belum terserang, akan tumbuh akar-akar baru menggantikan perakaran lapuk dimakan cendawan dan mempertahankan kekokohan tanaman sekaligus memberikan unsur hara. Batang dan akar yang terserang pun tidak meluas.
Aplikasi diawali dengan menarik bokoran ke dalam. Lalu abu ditebar melingkari batang seputar bokoran sampai menutupi pangkal batang setinggi 30-35 cm. Dosisnya lebih kurang 300 kg/batang. Setelah aplikasi abu DC, pH tanah bokoran yang tadinya 4,5-4,8 meningkat 6,58 dan pH abu menjadi 7. Kenaikan pH tanah hingga 5,5-7 membuat nitrogen dalam bentuk nitrat dan fosfor tersedia bagi tanaman. Setelah empat bulan, sela-sela pangkal pelepah yang tertutupi abu tumbuh akar-akar baru.
Sejak 2009 hingga awal 2012, UU Bekri sudah menebar abu DC hampir 11 ribu ton pada 266 ha areal perkebunan. Biayanya Rp367 juta. “Pengeluaran itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan produksi setiap tahun,” ungkap Syafrial. Namun ia menyarankan aplikasi abu DC dihindarkan pada musim kemarau karena kurang efektif.
Ibarat Kanker
Arnold Marpaung, Sinder Afdeling 3 UU Bekri menambahkan, tanaman yang sudah diaplikasi abu hingga dua tahun, bisa membaik dan berproduksi normal kembali. “Musuhnya adalah angin karena batang sudah tidak sekokoh tanaman yang tidak terserang. Sejak diaplikasi abu sejak 2009, jumlah pohon yang terserang sudah berkurang,” ujarnya.
Arnold menambahkan, pihaknya juga pernah memanfaatkan musuh alami Ganoderma berupa cendawan Trichoderma. Sayang, pertumbuhannya kalah cepat sehingga tidak mampu mengendalikan cendawan berbahaya ini.
Upaya pengendalian lainnya dengan memutus siklus hidup cendawan melalui penanaman jagung selama tiga musim pada areal yang akan diremajakan. Akar jagung mengandung mikoriza, musuh alami Ganoderma sehingga diyakini bisa menekan Ganoderma di dalam tanah. Pada tanaman yang diremajakan, Arnold mengakui, ada yang kembali terserang tetapi saat tanaman sudah menghasilkan (TM). “Persentasenya belum dihitung. Tapi yang jelas, ada yang kembali terserang dan ada yang aman,” tutupnya.
Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)