Ada sejumlah langkah efektif pengendalian tumbuhan pengganggu tanaman. Salah satunya, mendiversifikasi cara kerja herbisida yang digunakan.
Tumbuhan pengganggu alias gulma berpotensi menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) sebanyak 20%-40%. Mengutip data Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, di Provinsi Jambi kerugian akibat gulma jenis Mikania micrantha misalnya, sebesar Rp38 juta lebih dengan luas serangan 757,5 ha dan alang-alang hampir Rp60 juta dengan luas serangan 1.086 ha. Karena itu kehadiran gulma penting dikendalikan.
Seiring kebutuhan produksi yang berkelanjutan, cara pengendaliannya pun tidak boleh sampai menghabiskan sama sekali populasi gulma (clean weeding). Pasalnya, gulma juga menjadi tempat hidup musuh alami hama sehingga bila diberangus habis, musuh alami pun ikut mati.
Empat Aspek
“Kami punya konsep baru, cara bertani yang terbaik untuk kehidupan,” papar Ir. Kasirin dari PT Syngenta Indonesia, produsen pestisida dan benih di Jakarta. Lebih jauh Kasirin menjelaskan hubungan konsep tersebut dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida Gramoxone yang bersifat kontak dan Touchdown yang bekerja secara sistemik.
Herbisida tersebut dapat diaplikasikan sejak pratanam hingga masa produktif. Penyemprotan Gramoxone yang berspektrum luas ini dapat mempercepat waktu persiapan tanam dan ramah lingkungan. Bahan aktifnya, parakuat, membakar semua bagian gulma yang berklorofil. Proses pembusukan gulma berjalan lebih cepat, jumlah gas metan yang terbentuk lebih sedikit, dan menambah bahan organik di dalam tanah.
Pada masa pembibitan, menurut Key Account Manager NSH itu, pekebun mengendalikan gulma secara manual. Bila populasi gulma di antara polibag-polibag bibit sangat banyak dan skala pembibitannya luas, bisa dikendalikan dengan Gramoxone. Mereka cenderung mengendalikan tumbuhan pengganggu itu saat tanaman berumur setahun ke atas di lapangan.
“Pada tanaman belum menghasilkan (TBM) hanya bisa dengan Gramoxone. Kalau dengan glifosat, sampai terpercik, tanaman akan kerdil karena (herbisida) ditranslokasikan sehingga sistem dalam jaringannya rusak. Sedangkan Gramoxone kalau terpercik, ya hanya bagian itu saja yang terbakar. Jadi aman terhadap tanaman pokok,” papar alumnus Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB ini.
Mulai umur tiga tahun ke atas, selain secara manual, pengendalian gulma bisa dikombinasi dengan herbisida yang lain. Kasirin menganjurkan, aplikasi herbisida dilakukan tiga kali setahun, yaitu awal musim penghujan, pertengahan musim hujan, dan akhir musim hujan sebelum pemupukan. ”Supaya tidak terjadi resistensi, tidak ada suksesi gulma, harus ada diversifikasi mode of action (cara kerja) herbisida yang digunakan. Sebaiknya dua kali kontak, sekali sistemik. Gramoxone, Touchdown, Gramoxone,” urainya.
Aplikasi herbisida yang bersifat sistemik terus-menerus akan memicu terjadinya resistensi. ”Kalau pakai glifosat terus, yang muncul (bertahan) Asystasia, gulma berdaun lebar,” lanjut Kasirin.
Di samping efektif secara teknis, aplikasi Gramoxone juga efisien dilihat dari biayanya. Dengan harga hampir sama, herbisida yang ditemukan lebih 50 tahun lalu ini hanya diperlukan setengah dosis pada luasan yang sama.
Efektivitas dan efisiensinya itu juga ditunjang faktor keamanan bagi penggunanya. Formulasinya dibuat berwarna biru terang, berbau tajam, dan kalau sampai tertelan oleh pengguna, mudah dimuntahkan.
Peni Sari Palupi