Cinta, setiap orang pasti pernah merasakannya. Namun, bagaimana perjalanan kisah cinta Desi kepada sawit?
Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Sebagian besar CPO itu diekspor. Karena itu produksi sawit kita harus berkelanjutan (sustainable). Sustainability bisa menjamin akses pasar yang baik di kancah internasional dan membuka pintu ke arah pengelolaan sawit yang lebih efisien serta memberikan nilai ekonomi lebih besar kepada pengelolanya. Sustainability juga menjadi bagian dari competitive advantage sebuah bisnis. Jadi, Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam aspek ini.
Demikian pandangan Desi Kusumadewi, Direktur Rountable on Sustainable Palm oil (RSPO) Indonesia. Memimpin RSPO Indonesia, Desi berharap akan selalu memperjuangkan industri sawit dan membuka akses pasar sawit Indonesia yang lebih luas. “Saya ingin industri sawit Indonesia lebih maju dan tidak ketinggalan karena saya melihat produksi sawit Indonesia yang besar,” ucap lulusan Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB, angkatan 29, ini.
Menyimpan Segudang Masalah
Desi berpendapat, industri sawit Indonesia masih dicengkeram sejumlah masalah. Pertama, masih rendahnya volume produk hilir. Alangkah baiknya jika produksi CPO yang berlimpah itu diiringi pengolahan menjadi produk setengah jadi ataupun barang jadi sehingga ada nilai tambah untuk Indonesia, termasuk pengolahan limbahnya.
Kedua, masih belum maksimalnya pengelolaan perkebunan sawit swadaya sehingga produktivitasnya pun rendah. Padahal, perkebunan sawit mandiri ini menguasai 40% dari total luasan perkebunan sawit nasional. Akibatnya, produktivitas CPO rata-rata secara nasional rendah. Ketiga, minyak sawit masih dikenai label tidak ramah lingkungan di pasar internasional.
Solusi masalah itu, lanjut Desi, adalah edukasi dan sertifikasi produk-produk sawit petani swadaya. Diharapkan, sertifikasi RSPO jadi salah satu jembatan untuk mengantarkan petani swadaya menuju kesejahteraan yang lebih baik, di antaranya melalui penerapan good agriculture practices (GAP) dan penguatan kelembagaan.
Dengan organisasi yang kuat, akses petani akan lebih baik, misalnya ke pihak perbankan atau lembaga donor untuk mendapatkan pinjaman ataupun akses pelatihan GAP dan sarana produksi, seperti pupuk dan benih unggul bersertifikat. Sebab, guna mendapatkan benih unggul bersertifikat, anggota kelompok petani tadi harus dalam jumlah besar.
Ke depannya, ia berharap pengembangan perkebunan sawit juga bisa meningkatkan pendapatan petani. Sebab, bagaimanapun, harus diakui industri sawit adalah “berlian” bagi Indonesia. “Berlian ini harus digosok terus supaya lebih berkilau dan punya nilai jual lebih tinggi lagi, serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada yang mengelolanya, termasuk petani. Salah satunya melalui penerapan praktik-praktik yang sustainable,” tandas Desi.
Jatuh Cinta
Kilas balik Desi terjun ke persawitan terjadi begitu saja. Seperti kata pepatah orang tua, yang namanya cinta bisa datangnya secara tiba-tiba. Begitulah yang dialami ibu satu anak ini yang jatuh cinta kepada sawit secara tidak sengaja dan tanpa unsur paksaan. “Sebenarnya, saya jatuh cinta kepada sawit itu tidak sengaja,” ungkapnya sembari tersenyum.
Bagaimana awalnya kisah cinta itu? Semua bermula saat ia yang tengah bekerja di bidang mekanisasi pertanian untuk komoditas padi bersama suaminya hijrah ke Pontianak, Kalimantan Barat, pada tahun 2000. Di sana, ia mencoba melamar pada PT Lyman Group yang memiliki usaha di bidang sawit dan kayu. Kebetulan ia ditempatkan di bidang sawit. Di sinilah, benih-benih cinta itu mulai tumbuh. Dan kecintaannya pada sawit terus bersemi lantaran hingga saat ini produksi sawit Indonesia terus meningkat dan menjadi produsen sawit terbesar di dunia.
“Saya lihat potensi sawit masih sangat besar. Indonesia masih tetap berpotensi jadi produsen minyak sawit terbesar. Saya, sebagai orang Indonesia dan bersama-sama para stakeholders sawit, akan memperjuangkan sawit Indonesia disegani di tatanan internasional,” jelasnya.
Lebih dari itu, ucap Desi, seiring perjalanan waktu, semenjak RSPO berdiri pada 2004, ia selalu mengikuti perkembangan organisasi yang bergerak di bidang sawit ini. Dilihatnya RSPO selalu berupaya memperjuangkan citra sawit yang positif di pasar internasional melalui prinsip keberlanjutannya (sustainability). “Saya lalu coba masuk ke RSPO pada 2006 dengan jabatan RSPO Indonesia Liaison Officer karena tidak ingin sawit Indonesia ketinggalan dibanding negara lain dalam hal sustainability,” pungkas Desi yang menjabat Direktur RSPO Indonesia pada November 2010.
Yuwono Ibnu Nugroho