Keberaniannya mengambil risiko mengantarkannya kepada kesuksesan. Kini dia menjadi “ratu ayam” di Pasar Pesing Koneng, Kedoya Utara, Jakarta Barat.
Merantau ke Jakarta bersama suaminya, Triyanto, sejak 1994, Yatinem mencoba beberapa bidang lapangan kerja, misalnya konveksi selama tiga tahun. Sebagai karyawan, Yati, begitu sapaan akrabnya, mengaku, jadwal kerjanya padat dan gaji pun pas-pasan. “Masuk jam delapan pagi, pulang jam tiga sore. Lemburan per jam Rp700. Namanya kerja, takut dipecat. Setiap hari harus masuk, capek banget,” kenang wanita asli Kebumen, Jateng, ini.
Tak betah dengan kondisi tersebut, ditambah keinginan berkumpul anak-anaknya yang masih di Kebumen, Yati pun sempat pulang kampung. Kembali lagi ke Ibukota pada 2006, ibu tiga anak ini akhirnya bekerja di rumah pemotongan unggas (RPU). Dua tahun berlalu, dia akhirnya memutuskan untuk beralih profesi dari karyawan menjadi pedagang daging ayam.
Dari Lima ke Dua Ribu
Beralih jadi pedagang diakuinya tak mudah. Mula-mula Yati membeli lima ekor ayam dari RPU tempatnya bekerja dulu. “Setelah (ayam) saya taruh di meja, ya malu, grogi, pokoknya aduh kayak tidak sanggup gitu untuk berdiri di pasar,” cerita ibu tiga putri ini kepada AGRINA.
Saat itu wanita kelahiran 9 Mei 1990 ini belum tahu cara memotong ayam yang benar. Kala diminta pembeli untuk membagi ayam menjadi 12 bagian, dia kebingungan, “Bingung ayam dipotong 12, sebelah mananya yang dipotong?” cetusnya. Pembelilah yang lalu memberinya petunjuk untuk memotong ayam, tapi potongannya hancur. “Tidak seperti sekarang. Sekarang pisaunya tajam, udah pasti tidak hancur. Tidak usah ditimbang, udah pas,” ucapnya menyiratkan kebanggaan.
Berkat promosi dari mulut ke mulut, dagangan Yati pun ludes dalam waktu 30 menit saja. Melihat tingginya minat konsumen, keesokan harinya jumlah dagangan ditambah. “Besoknya 10 ekor ayam, terus setelah satu minggu sudah menjadi 50 ekor ayam. Satu bulan bertambah menjadi 100 ekor ayam, sekarang 3.000 ekor ayam lebih,” ungkap Yati.
Tidak perlu jampi-jampi atau ritual khusus, rahasia bisnisnya terletak pada kualitas dan miringnya harga jual ayam. Kok berani jual murah? “Saya berpikir, cari untung banyak-banyak dosa, untung gopek (Rp500) saja kalau kali seribu ekor ‘kan banyak. Lama-lama, saya naikin (keuntungan) itu, saya ngambil untung Rp1.000 per ekor,” beber Yati. Jadi, keuntungannya berkisar Rp2 juta – Rp6 juta.
Tak butuh waktu lama, Yati sudah bisa menikmati “gurihnya” bisnis ayam. “Alhamdulillah saya langsung maju. Dalam satu tahun saya sudah bisa beli rumah, beli mobil,” katanya diiringi tawa. Saking banyaknya tanah yang dibeli, wanita ini pun kini bak tuan tanah.
Meyakinkan Pelanggan
Kendati tampak lancar, bisnis daging ayam bukannya tak ada masalah. Menurut Yati, banyak masyarakat masih belum terbiasa dengan daging ayam Aman Sehat Utuh Halal (ASUH) yang dipasarkan dalam bentuk dingin. Tak patah arang, wanita ini terus mencari cara untuk meyakinkan kualitas daging ayamnya lebih baik. “Ibarat judi deh, situ (pembeli) sekarang bawa ayam saya, besok kalau laku saya korting Rp5.000. Kalau tidak laku, ibu boleh ke sini. Dan dilihat matengnya, bakalan bagus mana, mimpesan (menyusut) mana, gedean mana ayam saya dengan ayam orang lain?,” tantangnya.
Setelah membuktikan sendiri, banyak pelanggan Yati yang terdiri dari pedagang sayur, pedagang sate, pedagang ayam goreng pinggir jalan, resto, hingga warteg percaya dengan kualitas daging ayam dagangannya. Bahkan saat dagangan habis, dirinya pernah menawarkan untuk mengambil di pemotongan lain yang tradisional, tapi pelanggan menolak.
Penasaran dengan penolakan itu, Yati lalu mengorek informasi dari pedagang langganannya tersebut. “Katanya, belum jam 9 sudah biru seperti ayam bangkai. Sementara ayam Mbak Yati sampai sore tetap saja masih bagus,” ujarnya menirukan ucapan pelanggannya.
Untuk menjaga kualitas daging ayamnya, tak segan-segan Yati memberikan bantuan kotak styrofoam untuk 200 pedagang sayuran yang menjadi langganannya. Bahkan untuk mewujudkan rantai dingin, dia rela membelikan es batu sehari lima balok atau sekitar 30 kg.
Dengan berbagai upaya itulah Yati berhasil menggaet sejumlah pelanggan di Pasar Pesing Koneng, di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, tempatnya berjualan saat ini. “Tadinya baru megang, (mereka bilang) kok dingin ya. Sekarang ayam kayak batu (masih beku), begitu saya buka dari karung, mereka sudah ngantongin sendiri,” pungkasnya.
Berkat daging ayam ASUH, hidup Yati pun berubah total, dari karyawan biasa menjadi pedagang luar biasa. Bahkan, walau Yati tak ke pasar pun saat anaknya sakit, pundi-pundinya tetap menggembung karena 20-an orang anak buahnya siap menjalankan bisnis. Apakah Anda berminat menjadi Yati-Yati berikutnya?
Ratna Budi Wulandari