“Bu, nanti kalau aku mati awet ya, ‘kan ada formalinnya,” ceplos seorang anak saat menonton tanyangan makanan berformalin kepada ibunya.
Spontan sang ibu menjawab, “Iya, karena semua yang kita makan pakai formalin. Jadi kalau kita mati nanti nggak akan dimakan ulet sampai berapa tahun ke depan.” Obrolan itu berakhir dengan usulan sang anak yang meminta ibunya membuatkan dimsum, camilan ringan khas China.
Ibu tersebut lantas memikirkan lebih jauh obrolan singkat itu. Sebagai seorang ibu, ia sangat peduli dengan makanan yang dikonsumsi sang buah hati. Makanan anaknya haruslah bergizi dan bebas bahan pengawet berbahaya. Selain itu, ia juga mengkhawatirkan kondisi anak Indonesia yang kurang asupan gizi lantaran jajanan sekolah didominasi camilan tidak sehat.
Menjawab keprihatinan itu, Jamilah El Fajriyah, sang ibu, memproduksi dimsum berdasarkan resep yang dimodifikasi. Awalnya, dua varian dimsum berbahan baku ikan kakap dan udang ia jajakan dengan gerobak di pinggir minimarket. Kini, gerai (outlet) dimsumnya menjelajah kota-kota besar di Indonesia.
Cerdaskan Bangsa
“Saya ingin memberi asupan gizi yang bagus membuat anak-anak sehat melalui jajanan sehat,” Jamilah, begitu ia disapa, mengawali perbincangan dengan AGRINA sore hari itu. Menurut lulusan Akademi Gizi Semarang 1989 ini, hadirnya dimsum berbahan baku ikan menjadi salah satu cara agar anak-anak gemar makan ikan. “Anak-anak itu kalau melihat ikan secara utuh males ya, repotlah, banyak durilah,” tambahnya. Padahal ikan terbilang makanan bergizi tinggi.
Demi mewujudkan idealismenya mencerdaskan bangsa melalui olahan ikan, Direktur UD Selaras yang berkantor di kawasan Perumnas Depok, Jabar, ini, giat membuat aneka dimsum tanpa tambahan bahan pengawet. ”Kita menggunakan bumbu dasar, rasa gurihnya menggunakan gula dan garam. Untuk mengawetkannya hanya dibekukan,” ujar Jamilah. Saat ini ada 22 varian dimsum yang dimodifikasi dari ikan, di antaranya soumay kakap, soumay udang, mantau udang wijen, soumay ayam, ceker saus tausi, dan aneka pao. ”Kalau ada yang saya bikin berbahan ayam itu sebagai pengembangan permintaan konsumen,” terangnya.
Tidak berhenti di situ, ibu dua anak ini juga mengajak pedagang keliling untuk menjajakan camilan sehat bakso tusuk buatannya di sekolah-sekolah. ”Saya juga prihatin dengan adanya bakso ikan colok (tusuk). Itu ’kan hanya bau esense ikan. Saya panggil orang-orang yang mau kerja. Saya bersyukur, saat ini ada beberapa pedagang bakso ikan saya yang jalan dengan gerobak dorong ke sekolah-sekolah. Tujuan saya menghilangkan bakso colok yang tidak sehat,” lanjut Jamilah bersemangat.
Merek Bakso Echo pun disematkan pada bakso colok buatannya. Bakso Echo sudah merambah kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek); Surabaya; Palembang; dan Padang. ”Di Depok (Jabar) aja hampir 15 gerobak,” ucapnya.
Lepas Jabatan Bergengsi
Awalnya, Jamilah hanya ingin berwirausaha di bidang makanan. Ia pun rela melepas jabatan bergengsi sebagai General Manager di PT Alif Rose, salah satu distributor produk Tupperware, wadah makanan terkemuka di dunia. “Saya berhenti sudah di posisi paling atas. Saya anggap sudah tidak bisa ambil posisi lebih tinggi, jadi saya memilih mundur,” ungkap istri Ahmad Facrudin ini.
Bahu membahu bersama sang suami ia pun merintis usaha Soumay Echo ala Dimsum di bawah bendera UD Selaras pada Februari 2008. ”Saya pikir produk apa yang tidak hanya menjadi tren semata dan tidak mencontek produk orang,” celotehnya.
Dimsum kreasi Jamilah ternyata mendapat sambutan di pasar. Dari lima gerai yang dibangunnya, kini bertambah menjadi 130 gerai di Sumatera (Aceh, Palembang, Babel), Jawa (Jabodetabek, Bandung, Malang, Purwokerto), Kalimantan (Banjarmasin, Balikpapan), Sulawesi (Makasar), dan Nusa Tenggara (Mataram, Kupang). Produksi awalnya sekitar 200-300 butir/hari menjadi 1.000 butir/hari.
Selain produknya beragam, harga jual dimsum cukup terjangkau. ”Awal 2008 saya jual Rp1.000/butir. Sekarang ini untuk wilayah Jabodetabek satu butir Rp1.500,” katanya. Kenaikan harga ini karena penambahan alat pengolah menu dan meningkatnya harga bahan baku ikan.
Usaha dimsum Jamilah dikembangkan dengan sistem kemitraan. Paket yang ditawarkan, yaitu booth berupa stan, island booth berupa stan dilengkapi beberapa kursi tamu, dan mini resto.
Menjalankan usaha pasti ada masa jatuhnya. Ini pun dirasakan Jamilah. Tahun lalu, mitra usahanya banyak yang menutup gerai dengan alasan tidak ada pegawai, mahalnya sewa kontrakan, hingga sudah balik modal. ”Saya sangat sedih melihat outlet yang sudah buka lalu tutup tanpa alasan. Kalau mereka bilang sudah BEP (impas, break event point), itu lebih menyakitkan lagi. Ternyata mereka hanya coba-coba,” ungkapnya.
Namun, Jamilah selalu berpikir positif di balik setiap musibah. ”Duka itu saya anggap sebagai hiburan,” katanya sambil tertawa. Musibah yang dihadapi dijadikan pemacu untuk lebih maju. ”Saya belajar dari kegagalan. Kalau kita nggak pernah mau mencoba, nggak akan pernah bisa. Kemudian kalau kita nggak punya kesabaran untuk melakukan suatu usaha, kita tidak akan pernah bisa,” tandasnya.
Windi Listianingsih