Minggu, 1 April 2012

LIPUTAN KHUSUS : Ketika Brasil Menantang

Di tengah ketidak-kompakan pelaku industri perunggasan Indonesia, berhembus kabar Brasil akan menembus pasar kita.

Kabar ini merebak usai kunjungan misi dagang Indonesia yang diketuai Menteri Perdagangan Gita Wiryawan ke Brasil dan Peru 12-16 Maret lalu. Bagaikan bunyi alarm sontak timbul berbagai reaksi dan kekhawatiran di kalangan industri perunggasan.

Bagaimana tidak, Brasil yang produsen unggas nomor wahid di dunia, sudah mengekspor produknya ke lebih 100 negara, termasuk negara-negara Timur Tengah. Fakta ini menandakan produk Negeri Samba itu sangat kompetitif dan bisa memenuhi syarat halal. Bagaimana daya saing produk Indonesia?

Beragam Reaksi

Secara tidak langsung, Don P. Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) mengakui, perunggasan nasional kita masih lemah daya saingnya. Bila dirunut mulai dari pakan, kesehatan, dan infrastruktur, di semua lini itu Indonesia masih perlu berbenah. Pakan yang menyedot 70% biaya produksi masih butuh impor. Tahun lalu, jagung misalnya, harus impor 55% dari total kebutuhan yang sekitar 3 juta ton. “Paling tidak pengaruh jagung sudah sepertiga dari biaya produksi,” papar Don P. Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI).

Hitungan Don, “Biaya produksi sekitar Rp12.500 (22/3) dengan harga day old chick (DOC) Rp4.500 - Rp5.000/ekor. Kalau biaya produksi saja segitu, harga jual Rp10 ribu, ‘kan tekor.”  Belum lagi ditambah infrastruktur kita yang kurang tertata rapi dan pasokan listrik yang masih “byar pet”. Dari sisi kesehatan unggas juga belum aman dari (AI). Hanya tersisa satu provinsi yang bebas AI, yaitu Maluku Utara.

Menghadapi ancaman produk Brasil, Syukur Iwantoro masih merasa aman. “Strategi kita, (Brasil) harus memenuhi kehalalan dan masalah penyakit. Yang lain-lain akan kita pikirkan kembali,” kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan ini. Pihaknya berbagi tugas dengan Lembaga Pengkajian Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang melakukan uji kehalalan. Sedangkan Kementan menguji masalah kesehatan hewan. Dan nanti, Kementerian Perindustrian yang akan menguji standarnya.

Mantan Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian ini yakin, “Rumah Potong Unggas yang ada di Brasil tidak ada yang halal dan butuh waktu tiga tahun menuntaskan prosedur untuk bisa ekspor (ke Indonesia).”

Syarat Halal

Sementara Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, Direktur LPPOM MUI menyampaikan, untuk mendapatkan sertifikat halal, “Slaughter house (RPU) itu harus full dedicated halal.” Artinya, rumah pemotongan tersebut harus 100% menyembelih hewan yang halal selama 7 hari seminggu, 365 hari setahun. “Jadi tidak boleh seminggu halal, seminggu tidak halal,” imbuh Lukman. Kemudian, penyembelihannya harus dilakukan orang Islam. Kalau menggunakan sistem pemingsanan, maka pemingsanannya tidak boleh menyebabkan hewan sakit bahkan mati.

Keyakinan Lukman tak setinggi Syukur. “(Sertifikat halal) untuk ayam dari Brasil memang belum ada yang kita keluarkan,” terangnya. Tetapi, proses penyembelihan di Brasil sudah berorientasi ekspor, termasuk ke negara-negara yang memperkarakan halal. Selain itu, di sana juga ada lembaga sertifikasi halal yang sesuai standar kita. “Jadi kemungkinan untuk menahan itu (impor) agak berat,” aku Lukman.

Persyaratan-persyaratan yang kita tetapkan akan cepat terpenuhi karena, menurut Lukman, halal bukanlah hal yang baru bagi para produsen di Brasil. Dia menekankan pentingnya kesiapan daya saing. “Kalau itu dibuka, ya memang kelihatan kita belum cukup bersaing karena efisiensi dan juga biaya ekonomi tinggi yang ada di Indonesia,” tambah Lukman prihatin.

Sementara Don berpegang pada UU No.18 tahun 2009 yang tidak mengizinkan impor dalam bentuk utuh dan potongan paha selagi produksi dalam negeri cukup. “Kalau mereka mau menanam dalam bentuk investasi, kita tidak ada masalah,” ucapnya. Apakah Brasil mau berinvestasi begitu saja?

Ratna B.W, Yuwono I.N, Windi L.

 

 

Dubes Brasil untuk Indonesia

Investasi? Buka Dulu Pasar Anda

Ketika ditemui AGRINA 29 Maret lalu di kantornya, Dubes Brasil untuk Indonesia, Paulo Alberto da Silveira Soares terkesan tidak basa-basi. Diplomat kelahiran Rio de Janeiro ini langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan kalangan industri perunggasan di Tanah Air. Berikut petikan wawancaranya dengan Ratna Budi Wulandari dan Peni Sari Palupi.

Bagaimana kondisi industri perunggasan Brasil saat ini?

Saat ini Brasil menjadi produsen sekaligus eksportir terbesar produk ayam. Rahasia terbesar kami adalah know-how (ketrampilan) dan teknologi. Kita mengembangkan kualitas ayam kita melalui penelitian lebih dari 30 tahun. Jadi teknologi kita sangat efisien. Pemerintah tidak memberi subsidi lagi sejak 15 tahun lalu.

Bagaimana dengan kebutuhan bibit ayam (GPS)?

Ya, kami kembangkan sendiri di Brasil, tetapi itu membutuhkan waktu dan investasi yang sangat besar dari pemerintah dan swasta. Swasta sangat banyak dan kompetitif. Mereka berkembang, dari kecil, besar, lebih besar, dan super besar. Dan sekarang banyak produsen yang sangat besar. Kami mengekspor ke lebih 100 negara. Kami mengekspor dalam bentuk ayam utuh dan potongan.

Apakah semua beroperasi secara terintegrasi?

Ya, sangat banyak yang terintegrasi (pakan, peternakan, dan transportasi). Infastruktur sangat penting untuk membawa ayam ke pasar secepatnya dan juga ke pelabuhan. Negara Anda akan kehilangan daya saingnya bila infrastruktur tidak bagus. Jadi Anda harus membangun infrastruktur dengan sangat cepat dan berinvestasi lebih banyak lagi.  Sekarang Brasil ingin ekspor (ke Indonesia) juga mentransfer teknologi, tetapi pasar Anda harus dibuka dulu.

Apakah ada kemungkinan perusahaan Brasil menanamkan investasi di sini?

Ya, kami ingin berinvestasi, tapi perusahaan-perusahaan itu hanya mau berinvestasi jika Anda membuka pasar. Tanpa membuka pasar, (menunjukkan keengganan dengan mengangkat bahunya). Kami bukan donatur, kami pebisnis. Buka jendela pasar Anda, sehingga kami mendapat pasar di sini. Lalu kami datang (investasi), sedikit demi sedikit kami membagi teknologi, juga ketrampilan. Kami tidak ingin menginvasi pasar ayam Anda. Kalau Anda tutup ekonomi Anda, Anda tidak akan ke mana-mana, sekarang ini kondisinya makin global. Seperti kami butuh sawit dari Indonesia, kami impor.

Apakah sawit itu imbal beli dengan ayam?

Itu tidak hubungannya dan tidak perlu. Karena kami butuh, ya kami impor karena sawit Anda sangat kompetitif.  

Apakah sudah ada kesepakatan antara Menteri Perdagangan kami dengan pihak Brasil?

Belum ada kesepakatan. Tapi Menteri Gita (Wiryawan) akan mengundang Asosiasi Perunggasan Brasil ke Indonesia sekitar Juli mendatang.

Bagaimana menyangkut halal?

Tidak ada masalah dengan halal. Kami mengekspor ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, yang perlu ekspor halal. Mereka senang. Arab Saudi bahkan impor banyak dari Brasil. ***





 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain