Tatacara produksi daging ayam Murah, Aman, Sehat, Utuh, Halal (MASUH) merupakan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi penyebaran virus Avian Influenza (AI).
Penderita flu burung di Jakarta terhitung cukup banyak sampai saat ini tercatat sebanyak 52 kasus, dengan 44 penderita yang meninggal. Kala ditemui dalam seminar Avian Influenza (AI) yang diadakan Keluarga Alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (Gamavet), 22 Februari lalu, Dr. Netry Listriani, MKM, Kepala Seksi Wabah dan Surveilans, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, tingginya kasus cenderung lantaran lingkungan yang tidak sehat.
“Faktor terbesar adalah lingkungan, 65% karena lingkungan, kontak unggas 24% dan tidak jelas 11%,” rinci Netry. Melihat tingginya faktor yang disebabkan lingkungan, kita harus lebih waspada, utamanya bagi daerah-daerah padat penduduk.
Tak hanya lingkungan, Tempat Penampungan Ayam (TPnA) yang seharusnya bebas, ternyata masih tercemar virus AI. Dalam acara yang sama, Djawil Hijah, Kepala Bidang Peternakan, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta mengatakan, “Pada 2009-2010, mengikuti kondisi cuaca, kita ditemukan bahwa 84,2% TPnA di Jakarta itu terpapar virus AI,” ungkap Djawil.
Mempertimbangkan parahnya kondisi tersebut, Perda DKI Jakarta No. 4 yang mengatur tentang pemeliharaan unggas di pemukiman, peredaran unggas yang ada di DKI, dan aturan pemeliharaan unggas kesayangan perlu segera dilaksanakan. Semangat yang ingin ditunjukkan dalam perda tersebut adalah membatasi Jakarta dari peredaran ayam hidup, dalam rangka memotong mata rantai penyebaran virus flu burung dari unggas ke manusia.
AI sebagai Penjegal
Masih berkecamuknya AI di sisi lain menyebabkan Indonesia tidak bisa mengekspor produk unggas. Padahal sebelum adanya kasus AI, Indonesia bisa mengekspor unggas. Ini jelas tugas bersama semua pemangku kepentingan untuk membebaskan AI dari bumi Indonesia. Tidak hanya menciptakan manajemen pemeliharaan yang baik, tetapi proses pemotongan harus benar. Kebijakan Perda DKI Jakarta No. 4 Tahun 2007 sepertinya sudah tepat, sayangnya sampai sekarang pelaksanaannya belum optimal.
Setiap hari kurang lebih satu juta ekor ayam dari beberapa daerah masuk ke DKI Jakarta. “Itu sebuah tantangan buat pemerintah bagaimana bisa mengubah sistem ini dari pemotongan tradisional ke sistem pemotongan yang lebih higienis,” kata Eric Brum, DVM, Chief Technical Advisor Control Implementation and System Development, Food and Agriculture Organization (FAO). Parahnya, ayam-ayam tersebut menyerbu 220 unit TPnA yang belum tentu aman dari virus AI.
Kondisi ini membuat Pemprov DKI berangan-angan pada 2014 nanti tidak akan ada lagi unggas untuk pangan yang masih hidup berkeliaran di DKI. “Sebanyak 220 unit tempat penampungan itu direlokasi menjadi sentra-sentra sebanyak 15 unit di Jakarta,” terang Djawil. Penampungan tersebut terdiri dari lima Rumah Potong Unggas (RPU) lama yang terletak di Rawa Kepiting, Petukangan Utara, Cakung, PT Kartika Darma Raya, Pulogadung, ditambah dengan lima RPU di Hek Kramatjati, Pintu Air Jakarta Timur, Kalideres, dan Lokbin Pasarminggu.
Karena fasilitas itu masih belum bisa menampung semua ayam hidup yang masuk ke Jakarta, maka pemotongan pun dilakukan di pasar. Walau kapasitas Tempat Pemotongan Ayam (TPA) yang terletak di pasar ini memang tidak terlalu besar. Enam pasar yang terpilih adalah Pasar Perumahan Klender, Ciracas, Sukapura, Cempaka Putih, Grogol, dan Pasar Senen.
Di RPU baru itu nantinya juga disediakan tempat pemotongan ayam sehingga diharapkan ayam hidup yang masuk, keluar pasar dalam bentuk karkas. “Jadi tidak ada lagi lalu lintas atau peredaran unggas hidup setelah diadakannya relokasi,” harap Djawil. Cocok dengan FAO, “Kerja kita adalah mencoba untuk membuat pasar ayam yang lebih aman dan bersih di Jakarta,” timpal Eric.
Mulai dengan ayam MASUH
Sebelum relokasi, infrastruktur untuk mempersiapkan pemotongan yang baik perlu disiapkan. Kalau tidak, DKI bisa terancam kekurangan pasokan daging ayam. “Jangan khawatir, sekarang ini ada pertumbuhan RPU, di daerah sudah mulai banyak,” kata Achmad Dawami, Ketua Umum Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (ARPHUIN) menenangkan.
Masalah tidak hanya bertumpu pada infrastruktur. Kurangnya pengetahuan konsumen tentang daging ayam ASUH dan adanya praktik-praktik tidak higienis yang dijalankan pedagang pada waktu-waktu sebelumnya juga menjadi ganjalan bagi suksesnya program ayam ASUH.
Sampai sekarang, masih banyak masyarakat yang menganggap daging beku adalah daging sisa kemarin (yang tidak laku) yang dibekukan. “Masyarakat Indonesia itu menganggap bahwa ayam hangat itu berarti segar, itu tidak benar. Justru ayam yang sudah diberi pendingin es, sebenarnya lebih baik kualitasnya,” terang Dawami.
Eric menyadari, “Butuh waktu untuk membuat konsumen percaya lagi kepada karkas (bagian tubuh ayam yang telah disembelih selain kepala, kulit, jeroan, kaki bawah, ekor, dan bulu). Kita harus menjaga rantai dingin agar bakteri tidak tumbuh.” Tantangan lain bisnis daging ayam ASUH terletak kepada harganya yang relatif mahal.
“Kami ingin membuat daging ayam ASUH kompetitif dengan pemotongan tradisional. Faktor harga inilah yang merupakan missing link. (Seharusnya) kita bisa bilang MASUH, Murah, Aman, Sehat, Utuh, Halal,“ tegas Eric. Pasalnya, daging ayam murahlah yang banyak diburu konsumen menengah ke bawah. Di sinilah FAO dan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta bekerja. “Kita tidak mau mengganti pedagang lama, ke pedagang baru. Kita hanya mengubah tata cara pemotongannya,” imbuhnya.
Melalui berbagai pertemuan yang melibatkan ibu-ibu PKK dan pedagang ayam, mereka mengadakan penyuluhan dan peninjauan langsung ke lapangan. Eric menambahkan, “Kita mulai dengan mencoba menunjukkan produk yang lebih sehat sehingga konsumen Indonesia ingin beli. Sehingga kami (FAO) bekerjasama dengan pemerintah Jakarta membuat percontohan.” Harapannya, dengan melihat langsung kondisi pemotongan yang benar di Rawa Kepiting, masyarakat jadi paham dan memilih daging ayam ASUH.
“Ini kunjungan angkatan ke 16 dan setiap kunjungan sekitar 60 orang. Kalau satu orang kader bisa mempengaruhi 10 orang ini akan bagus,” ungkap Edi Santoso, Kepala Rumah Potong Unggas Rawa Kepiting, Jakarta Timur, dalam acara Sosialisasi Ayam ASUH (6/3). “Penyuluhan ini lebih memperjelas lagi, bahwa ayam ASUH adalah ayam yang sehat, dan jalur untuk memperolehnya di sini,” ungkap Hasih Rasmiyani, Penyuluh KB Kelurahan Dukuh, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur saat mendampingi para kader Jumantik (Juru Pemantau Jentik), PKK, Posyandu, dan Keluarga Berencana.
Syukur-syukur pada masa mendatang pedagang langganan mereka pun ikut terprovokasi dan mengganti dagangan mereka dengan ayam ASUH. Edi menambahkan, “Kalau masyarakat sudah mau membeli daging ayam asuh, tentunya akan diikuti oleh penyuplai dan penjual.”
Bukti Nyata
Penyuluhan tentang keamanan pangan, khususnya ayam, kini mulai membuahkan hasil. Sudah cukup banyak contoh sukses yang bergerak di penjualan ayam ASUH. Dua di antara mereka adalah Suparno dan Yatinem.
Suparno atau akrab disapa Bang Nojeng, salah satu pelopor praktik pemotongan ayam ASUH. Pria yang menjabat sebagai Ketua Paguyuban Pedagang Ayam Potong (PPAP) ini telah menikmati keuntungan berjualan ayam ASUH. Omzetnya meningkat hampir tiga kali lipat. “Kalau rata-rata (penjualan) pasar sendiri 400 ekor karkas sehari,” akunya. Padahal sebelum memotong ayam ASUH Nojeng hanya mampu menjual 100-150 ekor karkas ayam.
Yatinem pun menikmati kemakmuran dari ayam ASUH. Yati memulai bisnisnya dari lima ekor ayam. Tidak perlu menunggu lama, kini karyawan tersebut telah berubah menjadi bos. Wanita ini mampu menjual tidak kurang 2.000 ekor ayam per hari. “Kalau tanggal tua bisa 2.300-2.400 ekor. Kalau tanggal muda benar-benar rame, lebih banyak lagi,” bebernya.
Rahasia keberhasilannya terletak pada miringnya harga yang dia tawarkan. “Saya berpikir cari untung banyak-banyak dosa kali, gopek (Rp500/ekor) sajalah kalau kali 1.000 ekor ‘kan banyak. Lama-lama, saya naikin (keuntungan) itu, saya ngambil untung 1000 per ekornya,” ungkap Yati. Apa yang dilakukannya mendapatkan apresiasi khusus dari Eric, “Dia menjual lebih murah daripada yang lain, itu karena dia pintar. Ini tujuan dari ayam ASUH.”
Dengan berbagai bukti yang disajikan, peserta penyuluhan merasa sangat tertarik. Hasih menyampaikan, “Mereka (para kader yang hadir) cukup antusias dan mereka merasa (penyuluhannya) bermanfaat. Banyak yang berkeinginan membuka link ke bawah, sehingga dilihat dari segi pendapatan akan meningkatkan pendapatan, dan ada kesibukan baru.”
Menanggapi tingginya animo dari masyarakat yang ingin berpartisipasi, Edi menjelaskan, “Mereka yang mau jadi agen dapat meminjam freezer, dan mereka hanya perlu membeli 50 ekor ayam dikalikan dengan harganya misalnya Rp25 ribu, yah itu modal dia.” Sangat mudah bukan?
Dengan berbagai usaha yang telah dilakukan, peredaran daging ayam yang MASUH dapat segera menyebar. Tidak hanya di DKI Jakarta, tetapi di seluruh Indonesia.
Ratna Budi Wulandari, Fitri, NP, Tri Mardi R.