Pelaksanaan kebijakan empat pintu masuk ditunda. Produk impor bakal menghantui petani bawang lagi. Berani bersaing dengan produk luar?
Pemerintah, melalui Menteri Pertanian (Mentan) Suswono, akhirnya menunda pelaksanaan Permentan No. 89/Permentan/OT.140/12/2011 dan No. 90/Permentan/OT.140/12/2011. Seperti diketahui, kedua permentan itu menetapkan empat tempat pemasukan buah-buahan dan sayur serta hasil tumbuhan hidup berupa umbi lapis segar ke dalam wilayah Indonesia.
Keempat tempat pemasukan itu adalah Pelabuhan Laut Belawan, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Makassar, dan Bandara Soekarno-Hatta. “Dengan berbagai pertimbangan, pelaksanaannya ditunda tiga bulan menjadi 19 Juni 2012,” ujar Mentan di Jakarta (6/3).
Keputusan pemerintah itu dengan sendirinya membuat para petani buah dan sayuran, termasuk bawang merah, di Tanah Air harus lebih waspada. Sebab, di sisi lain, penundaan ini praktis bakal memberi jalan bagi pengimpor untuk leluasa memasukkan produk-produk hortikulturanya ke dalam negeri.
Penundaan ini, tak pelak, mestinya juga langsung mengubah atau memperlambat strategi yang rencananya bakal diterapkan Yul H. Bahar, Direktur Budidaya dan Pasca Panen Sayuran dan Tanaman Obat, Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian. Soalnya, Yul H. Bahar sebelumnya pernah menyampaikan salah satu harapannya untuk melindungi petani dalam negeri dengan pelaksanaan peraturan pintu masuk tersebut.
Namun, kala itu Yul memaparkan strategi lain berupa perluasan sentra bawang merah di luar sentra konvensional yang ada. Selama ini, menurut Yul, sentra bawang hanya ada di Jawa, Sulawesi Tengah, dan di Bima, NTB. “Selama ini, banyak konsumen tergantung pada daerah ini. Kalau ada masalah distribusi, transportasi, daerah lain langsung teriak,” paparnya.
Itu sebabnya Yul bertekad mengembangkan sentra produksi lain untuk bawang merah. “Toba, Samosir, Pesisir Selatan (Sumatera Barat), Rokan Hulu di Sumatera Selatan, Paser di Kalimantan Timur, Minahasa di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah termasuk daerah-daerah yang akan kembangkan. Ini akan menjadi solusi hambatan distribusi dari Jawa,” urainya.
Tiada Gentar
Toh, semua petani bawang merah yang dihubungi AGRINA mengaku tidak takut bersaing dengan produk impor yang selama ini telah menimbulkan kesulitan. Bagi Jamali B. Suheri, petani bawang berusia 45 tahun dari Desa Jatimakmur, Kec. Songgom, Brebes, Jawa Tengah, upaya meningkatkan produksi sangat tergantung pada dukungan teknologi budidaya dan dukungan pemerintah.
“Kalau dilatih teknologi budidaya yang baik, kami mampu. Termasuk memanfaatkan prinsip-prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Ini suatu tantangan bagi kami agar juga bisa mengekspor ke negara lain. Kita tak bisa menolak karena ini sudah aturan globalisasi. Selain teknologi budidaya ini, yang kami harapkan adalah juga adanya dukungan pemerintah,” papar Jamali. Menurut dia, bawang merah impor memang menang dalam bentuk, yaitu besar-besar, tapi untuk aroma, masih produk lokal yang unggul.
Pandangan serupa datang dari Abdul Jafar, petani bawang berusia 38 tahun di Desa Tuwel, Kec. Bolong, Tegal, Jawa Tengah. Bawang impor disebutnya sangat merugikan petani lokal. Selama ini, Jafar meyakini bawang merah impor bisa merajalela sampai ke pasar-pasar becek dengan harga Rp3.000-Rp4.000/kg lantaran disubsidi pemerintah di negeri asalnya.
“Untuk bersaing dengan bawang impor, pemerintah harus memaksimalkan teknologi budidaya di kalangan petani bawang. Mestinya ada juga subsidi harga dari pemerintah seperti dilakukan negara lain, macam India. Jadi, kalau harga jatuh, pemerintah yang menampungnya dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) seperti pada beras,” usul Jafar.
Buat Jafar, dukungan pemerintah ini amat penting. Pasalnya, untuk budidaya, ia sudah mampu menghasilkan panen 18 ton bawang merah basah per hektar. “Soal harga bawang impor yang murah itu yang menyulitkan kami. Jadi, kami berharap pemerintah membatasi impor bawang merah, katakanlah sampai 40%-50%,” tambahnya.
Sedangkan Agusman Kastoyo dari Dewan Bawang Indonesia dan Ketua Asosiasi Perbenihan Bawang Merah Indonesia meyakini jalan keluar dari kemelut bawang merah impor dan lokal ini adalah pembangunan fasilitas cold storage di wilayah-wilayah yang menjadi sentra bawang merah di Tanah Air.
“Dengan adanya cold storage, bawang produksi petani lokal tak akan terlalu jatuh harganya. Sebab, dengan adanya cold storages, bawang produksi petani mampu disimpan cukup lama, bisa sampai 6 bulan tanpa penurunan kualitas,” tandas Agusman.
Tingkatkan Intensifikasi
Sementara itu, bagi Silviya Wiltin, Crop Specialist Chili, Shallot and Watermelon Bayer CropScience Indonesia, di samping masalah peraturan pintu masuk tersebut, yang perlu dilakukan untuk menahan impor adalah peningkatan produksi dalam negeri. “Salah satunya dengan intensifikasi pertanian. Pengolahan tanah, pemilihan bibit dan pengendalian penyakit harus benar-benar diperhatikan,” katanya.
Bibit yang berkualitas, tambah Silvi, akan menentukan tinggi atau rendahnya produksi. Bibit yang baik, misalnya, harus cukup tua umurnya, yaitu sekitar 70-80 hari setelah tanam, berpenampilan baik, dan berukuran sedang.
“Pengolahan tanah yang baik juga akan mempengaruhi pertumbuhan umbi dan penyerapan hara dan air. Jarak tanam mempengaruhi pertumbuhan umbi, penyerapan unsur hara dan cahaya matahari,” urainya. Jarak tanam yang dinajurkannya adalah 20 cm x 15 cm atau 15 cm x 15 cm.
Harus diperhatikan pula, lanjut Silvi, pemupukan yang berimbang antara unsur N (nitrogen), P (fosfat) dan K (kalium). “Pemberian unsur N yang terlalu banyak akan membuat tanaman lebih gampang terserang penyakit. Pastikan pula drainase yang baik, terutama saat musim hujan agar tanaman tidak terendam air,” tegasnya.
Mengenai budidaya intensif, menurut Murdiyanto, Marketing Manager PT BASF Indonesia, sebetulnya kondisi di Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain. “Budidaya di sana kalah dari kita. Pengolahan lahan sangat minimal, tanpa guludan, juga tanpa drainase yang baik,” ungkapnya.
Itu sebabnya, produktivitas India lebih rendah 20%–30% dibandingkan Indonesia. Tapi, luas daerah penanaman di India jauh lebih luas. “Kita hanya ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian kecil NTB, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di India, luasnya bisa 5 kali kita, bahkan bisa 8 kali jika lagi peak season,” urainya.
Tak jarang di India pun terjadi oversuplai. Namun di sana tak terjadi gejolak karena pemerintahnya membeli bawang petani lalu diolah dan diekspor dengan tingkat harga berapa pun. “Seolah-olah yang kita impor dari India murah, padahal itu kebijakan pemerintah India,” kilahnya.
Upaya meningkatkan produksi bawang merah di Indonesia, Murdiyanto menyarankan pemilihan varietas unggul. Lantas, penerapan teknik budidaya yang baik, mulai dari pengolahan lahan, pengairan, pengaturan jarak tanam, pemupukan. “Saat musim hujan pembuatan guludan mutlak untuk menghindari kelembaban tinggi. Umbi bawang yang terendam air mudah terserang busuk umbi,” ujarnya.
Dibanding ekstensifikasi lahan, lelaki ini lebih menyarankan intensifikasi. “Mungkin ada ekspansi tapi pertumbuhan kecil sekali. Sebab, harga komoditas ini sangat fluktuatif, butuh teknologi budidaya tinggi, dan modal besar sekitar Rp40 juta per ha,” paparnya.
Enyahkan Hama dan Penyakit
Soal pengendalian hama dan penyakit, bagi Murdiyanto, sangat penting untuk Indonesia yang merupakan daerah tropis. Problem utama petani bawang adalah serangan cendawan Alternaria yang menyebabkan penyakit bercak ungu. “Namun, sejatinya penyakit ini relatif mudah dikendalikan asal sejak awal dilakukan perlindungan,” ucapnya.
Pada musim hujan dengan kelembaban tinggi, tak kalah berbahaya adalah penyakit yang disebabkan cendawan Fusarium. Penyakit yang biasa disebut moler atau nginul ini bersifat soil born (menular ke tanaman sehat lain melalui tanah). “Jika ada spot penyakit ini di lahan dan tidak segera dikendalikan, mudah menyebar ke tanaman lain,” ujar Mur mengingatkan.
Silvi tak kalah tegas. Hama utama yang menyerang bawang merah seperti ulat grayak (Spodoptera exigua), hama thrips, dan pengorok daun (Liriomyza sp.) mesti diatasi secepatnya. “Kendalikan pula penyakit macam bercak ungu, moler, embun bulu (Peronospora destructor). Jadi, peningkatan produksi tak terganggu,” pungkas Silvi.
Syaiful Hakim, Renda Diennazola, Untung Jaya